Kisah Demonstrasi Terbesar Dunia Menentang Globalisasi (Bagian 2)

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya ( Kisah Demonstrasi Terbesar Dunia Menentang Globalisasi - Bagian 1 ). Untuk...


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Demonstrasi Terbesar Dunia Menentang Globalisasi - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Para pemrotes menuntut negara-negara G8 untuk menghentikan kebijakan yang merugikan negara kecil. Aksi protes itu berujung bentrok, yang menewaskan warga sipil bernama Carlo Giulani. Peluru polisi menembus tubuhnya.

Setahun berselang, giliran Sydney yang diterjang aksi demo menolak WTO. Para pemrotes meneriakkan “WTO harus pergi!” dan “WTO adalah teroris nyata di dunia saat ini.” 

Sebanyak 50 orang ditangkap polisi. Pada 2003 di Cancun, Meksiko, demonstrasi menentang WTO kembali memakan korban. Seorang petani tewas usai menikam dirinya sendiri di hadapan para polisi, sebagai bentuk kemuakannya terhadap WTO.

Bertahun-tahun berikutnya, aksi terus berlanjut: di Hong Kong (2005), Jenewa (2009), Moskow (2012), hingga Bali (2013). Musuh mereka tetap sama: korporasi rakus dan lembaga keuangan internasional yang kapitalis.

Charles Derber, sosiolog dari Boston College yang mengkaji isu kapitalisme dan globalisasi, dalam buku berjudul People Before Profit (2002), menjelaskan bahwa protes di Seattle muncul karena masyarakat dunia menentang globalisasi, dan menginginkan sistem alternatif yang lebih ideal untuk kehidupan mereka.

Inilah yang lantas membuat protes di Seattle dapat menarik massa dalam jumlah besar—selain karena faktor internet. 

Derber menjelaskan, protes di Seattle adalah gerakan yang mencerminkan kebutuhan untuk mengakomodasi kepentingan orang banyak. Mereka yang turut serta dalam protes di Seattle—serta protes serupa di wilayah lainnya—dipersatukan oleh keinginan untuk mempertahankan identitas mereka, dari dampak buruk kapitalisme global.

Protes Seattle boleh saja sudah lewat masanya. Namun, yang harus dicatat, globalisasi tetap bergerak dan meninggalkan lubang yang dalam di tiap aspek kehidupan. 

Noah Smith, di artikel yang ditulis untuk The Atlantic, berjudul “The Dark Side of Globalization: Why Seattle's 1999 Protesters Were Right” (2014), menerangkan bahwa dampak buruk globalisasi yang masih terasa antara lain meningkatnya pengangguran akibat persaingan tenaga kerja yang tak seimbang maupun otomatisasi industri, kerusakan lingkungan dan tingginya emisi gas karbon sebab pembangunan yang ekstraktif, hingga lemahnya perlindungan terhadap pekerja dengan upah murah seperti yang terjadi, misalnya di Bangladesh.

Walaupun jejak kelam globalisasi masih dapat dijumpai, tapi tidak dengan gelombang protes yang dilakukan massa-rakyat. Dalam "Where Did the Anti-Globalization Movement Go?" yang diterbitkan New Republic (2013), Mimi Dwyer memperlihatkan keadaan di mana gerakan anti-globalisasi tidak sedahsyat era Seattle dan setelahnya.

Beberapa pendapat menyebut bahwa protes anti-globalisasi melemah karena Bank Dunia beserta organisasi keuangan maupun perdagangan internasional lainnya telah memperbaiki regulasinya, demi terciptanya iklim yang lebih demokratis dan bertanggung jawab.

Alasan tersebut dibantah dengan tegas oleh Bruce Rich, pengacara cum aktivis lingkungan, sekaligus penulis Mortgaging the Earth (1994). Ia berpendapat bahwa organisasi-organisasi keuangan maupun perdagangan internasional terus berkontribusi terhadap kerusakan lingkungan melalui kombinasi korupsi proyek, dan apa yang disebutnya sebagai "amnesia kelembagaan".

Pada 2011, Bruce mencontohkan, Bank Dunia memotong dana untuk pembangkit batu bara dengan tujuan menanggulangi masalah perubahan iklim. Namun, kebijakan ini tidak berlaku di negara-negara berkembang karena, berdasarkan logika Bank Dunia, negara-negara tersebut membutuhkan sumber energi yang murah dan tersedia.

Bruce menyebut langkah Bank Dunia sebagai hal yang kontradiktif. Pasalnya, Bank Dunia tahu bahwa negara berkembang dan miskin menjadi pihak yang rentan dalam perubahan iklim. Tapi, mereka justru tidak memotong anggaran untuk pembangkit batu bara dengan alasan "negara-negara itu butuh sumber energi murah."

Penjelasan yang lebih masuk akal tentang mengapa resonansi protes anti-globalisasi menurun ialah fakta bahwa situasi dalam negeri AS tengah kolaps akibat serangkaian krisis ekonomi, seperti yang terjadi pada 2008 lalu. Lambatnya pertumbuhan ekonomi di tingkat global dan domestik telah membikin aktivisme anti-globalisasi juga turut kena dampaknya.

Alih-alih berfokus pada spektrum yang lebih luas, massa-rakyat justru memusatkan perhatian mereka terhadap masalah-masalah internal. Ini bisa dilihat lewat Occupy Wall Street, yang menentang keculasan sektor keuangan dan finansial di Wall Street, New York, pada 2011.

Faktor lain yang bisa juga menjawab perubahan itu adalah popularitas organisasi dan lembaga keuangan internasional yang menurun dalam beberapa dekade terakhir. Bank Dunia, IMF, maupun WTO, tidak lagi sekuat dulu. Kontribusi mereka dalam bantuan investasi sampai pengembangan ekonomi, misalnya, tergantikan oleh korporasi-korporasi swasta.

Meski begitu, kebencian terhadap globalisasi tidak serta merta luntur, sejalan dengan bangkitnya kekuatan populisme sayap kanan yang tengah melanda berbagai negara. Para elite politik mengeluarkan retorika yang menyatakan bahwa globalisasi telah menggerus identitas maupun kedaulatan mereka, dan oleh karenanya harus dilawan.

Di Perancis, AS, India, Inggris, sampai Indonesia, massa dibakar oleh demagogi bahwa globalisasi, yang kerap diasosiasikan dengan apa pun yang asing, telah menciptakan banyak pengangguran dan ketakutan. Jika di Seattle 1999 sasarannya adalah keserakahan korporasi beserta simbol-simbolnya, kini yang jadi target adalah imigran dan minoritas etnis, agama, atau seksual.

Globalisasi pra-Seattle dibangun di atas keruntuhan Tembok Berlin. Globalisasi populisme sayap kanan hari ini ingin membangun tembok di mana-mana, tanpa berani menyinggung keserakahan korporasi-korporasi dunia.

Related

International 8700629394135302584

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item