Kisah Sensor Pengetahuan dan Pengaburan Sejarah di China (Bagian 1)


Naviri Magazine - Bagi sebagian pihak, khususnya kalangan penguasa, pengetahuan sering kali bisa dianggap berbahaya. Penguasa yang mendapatkan kekuasaannya dengan cara kudeta, misalnya, tentu berusaha meyakinkan rakyatnya bahwa ia mendapatkan kekuasaan secara sah. 

Untuk hal itu, sang penguasa akan menulis sejarahnya sendiri yang sesuai keinginannya, sekaligus akan memberangus pengetahuan sejarah lain yang bertentangan dengan keinginannya.

Latar belakang semacam itulah yang menjadikan kaisar pertama China, Qin Shi Huang, sampai mengubur hidup-hidup 460 cendekiawan bersama buku-buku mereka yang dianggap terlarang. Belakangan, Mao Zedong pernah menyatakan bahwa ia melakukan represi yang lebih keras terhadap kalangan akademisi di era kepemimpinannya.

Kini, Presiden Republik Rakyat China (RRC) sekaligus Sekretaris Jenderal Partai Komunis China (PKC) Xi Jinping sedang memulai manuver serupa setelah baru-baru ini konstitusi negara direvisi dan mengangkat statusnya menjadi setara dengan Mao dan Deng Xiaoping. 

Jinping memerintahkan universitas dan penerbit artikel ilmiah sedunia, terutama dari Barat, untuk menghilangkan konten-konten terkait isu-isu politik yang sensitif bagi rezim. 

Isu-isu tersebut meliputi status dan intrik dalam dimensi sosial-politik RRC dengan Taiwan, Tibet, Hong Kong, diskriminasi terhadap muslim Uighur di Provinsi Xinjiang, pembantaian di Lapangan Tiananmen (1989), Revolusi Kebudayaan yang dituduh melahirkan kelaparan massal, atau sejarah kelam anggota PKC masa lampau. 

Financial Times melakukan riset mandiri dengan menelusuri artikel-artikel ilmiah di Springer Nature, penerbit akademik yang mengklaim diri sebagai yang terbesar di dunia. Mereka merilis laporan bahwa penerbit asal Jerman yang menyajikan konten-kontennya di kanal terkemuka seperti Nature dan Scientific American itu telah menghapus minimal 1.000 artikelnya. 

1.000 artikel tersebut menyebutkan isu-isu yang dianggap sensitif oleh Beijing, seperti ulasan tentang Tibet, Hong Kong, dan Taiwan. Artikel-artikel Springer Nature ditarik dari dua kanal jurnal ilmiah Journal of Chinese Political Science dan International Politics. Keduanya memang dikhususkan untuk pasar China dan kerap diakses oleh peneliti serta akademisi Negeri Tirai Bambu tersebut. 

Institusi sekelas Cambrige University bahkan mengikuti jejak ini beberapa bulan sebelumnya. Sebagaimana diberitakan pada 18 Agustus kemarin, Cambridge University Press (CUP) memblokir akses untuk lebih dari 300 artikel ilmiah yang memuat topik sensitif tentang China. 

Penerbit tertua di dunia tersebut memang merilis banyak artikel kritis melalui kanal China Quarterly. Topik pembahasannya merentang dari isu pelanggaran hak asasi manusia terhadap muslim Uighur di Provinsi Xinjiang hingga penduduk Tibet. 

Tim Pringle, editor dan dosen di University of London School of Oriental and African Studies, berkata bahwa CUP mengambil kompromi dengan alasan otoritas China akan melarang terbitan-terbitan ilmiah CUP lainnya jika permintaan rezim tak diperhatikan. 

Rupanya kekhawatiran yang sama juga dinyatakan oleh Springe Nature. Mereka ingin patuh dengan “undang-undang distribusi lokal” dan menghindari ancaman pemblokiran konten-konten ilmiah lainnya. 

Keputusan CUP segera menuai dualisme sikap di kalangan akademisi. Ada yang menilainya sebagai langkah yang tepat, namun banyak pula yang mengecam dengan keras—terutama dari lulusan Cambridge maupun orang-orang yang artikelnya diblokir. 

John Sullivan, anggota komite eksekutif China Quarterly mengatakan langkah CUP tergolong pragmatis. Sullivan kecewa sebab tulisan tentang kemerdekaan Taiwan yang diunggah China Quarterly pada 2010 tak bisa diakses lagi oleh pembaca China daratan. 

“Kehilangan 300 artikel adalah pukulan besar, dan kami menentangnya... Keputusan lembaga akademik untuk menerima penyensoran ini mengkhawatirkan sebab membantu memperbesar pesan Beijing kepada peran akademisi,” katanya pada Financial Times. 

Sikap serupa ditunjukkan James Leibold, profesor sejarah China di La Trobe University di Melbourne, Australia. CUP “mengirim pesan yang salah ke China”, ujar Leibold, sebab menghalangi akses ke artikel-artikel ilmiah justru “membenarkan pandangan Partai (Komunis China) mengenai berbagai isu, mulai dari etnis minoritas hingga hak asasi manusia.” Singkatnya, “sebuah tindakan yang memalukan.” 

Leibold prihatin sebab CUP tak membela prinsipnya dan hanya menuruti insting komersilnya karena lima tahun belakangan sedang meraup pertumbuhan yang menjanjikan di pasar pembaca China. 

Louisa Kim, akademisi penulis buku laris soal tragedi Tiananmen 1989 mencuit kritik yang sama. Ia menilai CUP memberikan contoh yang “mengerikan” atas “motif keuntungan ... ketimbang kebebasan akademis.” 

CUP tak kuat menghadapi gelombang kecaman ini. Empat hari setelahnya atau tanggal 22 Agustus, mereka memutuskan untuk membuka kembali akses 300-an artikel ilmiah yang diblokir. Tim Pringle menyadari bahwa pemblokiran semestinya tidak dilakukan oleh penerbit dengan reputasi dunia seperti CUP.  

Baca lanjutannya: Kisah Sensor Pengetahuan dan Pengaburan Sejarah di China (Bagian 2)

Related

International 2057246455124443640

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item