Kisah Sensor Pengetahuan dan Pengaburan Sejarah di China (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Sensor Pengetahuan dan Pengaburan Sejarah di China - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Berbeda dari CUP, beberapa penerbitan lain menyatakan sikap yang berani. Massachusetts Institute of Technology (MIT) Press berkata bahwa sensor politis adalah “antitesis untuk semua prinsip yang seharusnya dipegang oleh semua universitas dan penerbitannya.” 

Oxford University belum dan tidak akan memblokir konten ilmiahnya meski China, seperti CUP, adalah negara yang menjadi sumber pendapatan yang penting bagi kampus. 

Sayangnya sikap tegas ini tak diikuti institusi akademik lain yang masih abu-abu, antara berpegang pada prinsip kebebasan penerbitannya atau tunduk pada otoritas China untuk menghindari konsekuensi yang tak diharapkan di masa depan. SAGE Publications, misalnya, menyatakan belum memblokir konten akademisnya. 

Tapi itu pun karena belum diminta oleh otoritas China. Jika diminta, mereka akan berkonsultasi dengan pihak-pihak terkait untuk memutuskan sikap. 

University of Chicago Press, yang menerbitkan kanal prestisius Chinese Journal, mengatakan bahwa pihaknya belum memblokir konten-kontennya yang dibaca oleh para akademisi China. Namun mereka akan memotong akses ke institusi yang diawasi pemerintah sebuah negara. 

Michael Magoulias, direktur Chinese Journal, berujar bahwa mereka akan menuruti permintaan dari pemerintah manapun untuk menghapus materi yang “secara ideologis tidak dapat diatasi”.

Sensor dan pengaburan sejarah 

Sensor politik di China sesungguhnya bukan barang baru. Dalam sejumlah kasus, kebijakan yang diambil kadang terdengar lucu. 
 
Sejak awal menjabat, Jinping diolok-olok oleh warganet China dengan cara diidentikkan dengan karakter beruang madu fiksi keluaran Disney, Winnie the Pooh. Pooh dan Jinping dianggap mirip secara fisik. 

Ulasan politik yang kritis terhadap rezim kemudian mengganti foto Jinping dengan karakter ciptaan A. A. Milne tersebut. Tak tahan dengan pelecehan tersebut, pertengahan Juli lalu pemerintah China resmi memblokir segala bentuk visual Winnie the Pooh. 

Akibat perannya di Seven Years in Tibet (1997), film yang kritis kepada Partai Komunis China, Brad Pitt dilarang masuk teritori China—hingga larangannya dicabut akhir 2016 silam.

Pemerintah China juga melarang penggunaan aplikasi Facebook, Snapchat, Pinterest, Youtube, dan Twitter. 

Mereka tak membolehkan pemberian nama muslim bagi warga pemeluk agama Islam di Provinsi Xinjiang. Pada tahun 2011 pemerintah melarang distribusi maupun pemutaran film atau serial televisi tentang perjalanan mesin waktu karena penuh mitos, absurd, dan mempromosikan feodalisme serta takhayul.

Dengan menyensor kebebasan dalam mengakses jurnal ilmiah, banyak akademisi yang menilai pemerintah China telah melahirkan kekhawatiran level baru. Situasi tambah pelik sebab sejak beberapa bulan belakangan pemerintah China juga mulai menulis ulang sejarah negaranya dengan cara mengubah catatan arsip negara. 

Glenn Tiffert, peneliti University of Michigan, menyatakan pada Financial Times bahwa menurut penelitiannya pihak bewenang China kini mulai memanfaatkan digitalisasi dokumen sejarah untuk menghapus artikel tentang sejarah China secara sistematis dari tahun 1950-an, khususnya untuk narasi sejarah yang mengkritisi gaya pemerintahan ortodoks alias yang sekarang sedang dipraktikkan oleh Xi Jinping. 

Tiffert menunjukkan dua portal online utama yang tak lagi memuat artikel-artikel ilmiah yang menelanjangi pelanggaran hukum oleh para anggota PKC saat itu. Dua portal online tersebut adalah China National Knowledge Infrastructure yang dikelola secara komersil oleh Tsinghua University, dan National Social Sciences Database, sebuah platform arsip yang disponsori oleh pemerintah. 

Tiffert menyimpulkan bahwa pemerintah China sekarang mengambil pelajaran dari keruntuhan Uni Soviet bahwa pemerintahan komunis “tidak dapat bertahan dari pengawasan kritis.” 

Ia membandingkan dengan masa lalu di mana sensor dilakukan dengan membuang salinan atau halaman yang tak ingin diingat khalayak. Tapi di dunia yang serba digital dan online ini mereka cukup menekan satu tombol, semua data hilang atau berubah, dan penelitian yang baru akan didasarkan pada data yang salah atau menyimpang. 

Zhang Lifan, sejarawan Beijing yang telah diblok aksesnya ke seluruh aplikasi media sosial karena kritis kepada Mao Zedong, menganggap kebijakan mengubah konten arsip sejarah akan menjadi bumerang bagi pemerintah China sendiri. 

Pejabat negara, katanya, akan membuat kebijakan dan keputusan yang bodoh sebab didasarkan pada sejarah yang menyimpang. Ia menyayangkan situasi hari ini, sebab banyak akademisi diawasi pemikirannya atau dilarang bicara ke media asing. 

“Banyak dari mereka yang mengajarkan sejarah sesuai kebenaran, lalu dipecat atau dihukum. Tidak ada yang berani melakukan penelitian tentang gerakan sosial dan kebanyakan meluangkan waktu hanya untuk meneliti gagasan Xi (Jinping) dan Marxisme-Leninisme.”  

Related

International 3551006889943156178

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item