Kisah Tan Malaka dan Fakta Sejarah di Balik Kematiannya (Bagian 1)


Naviri Magazine - Pada 21 Februari 1949, Tan Malaka tewas dieksekusi tanpa pengadilan oleh pasukan militer Indonesia di Selopanggung, Kecamatan Semen, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Eksekustor yang berasal dari Brigade Sikatan bertindak atas perintah petinggi militer Jawa Timur. 

Tan Malaka dihabisi karena perlawanannya yang konsisten terhadap pemerintah Republik Indonesia yang dia anggap bersikap lunak dan kompromis terhadap Belanda.

Dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia Jilid 4: September 1948-Desember 1949 (2014: 214-24), Harry A. Poeze mengungkapkan perintah eksekusi datang dari Letda Soekotjo. 

Setelah 1950, Sukotjo melanjutkan kariernya di Divisi Brawijaya dan selanjutnya ditahbiskan sebagai Wali Kota Surabaya pada 1972-1974, dan mengakhiri kariernya dengan pangkat Brigadir Jenderal. Menurut Poeze, ia adalah orang kanan yang paling lantang beropini bahwa Tan Malaka harus dibunuh.

Semula, Tan Malaka telah terlebih dahulu disergap oleh Tentara Republik Indonesia (TRI) saat berada di markasnya yang terletak di Pace, Jawa Timur. Namun, penangkapan itu urung dilakukan, hingga akhirnya Tan Malaka dan enam puluh orang pengikutnya dibebaskan, lalu melarikan diri ke selatan Jawa Timur. 

Tapi, selama perjalanan, rombongan ditembaki oleh kelompok bersenjata, hingga akhirnya mereka memecah diri menjadi empat kelompok. Tan Malaka bersama keempat pengikutnya lantas menyusuri kawasan Tulungagung untuk mencari batalyon tentara yang sekiranya masih bersimpati kepada mereka. 

Akan tetapi, selang dua hari perjalanan, tiba-tiba mereka disergap di suatu desa kecil bernama Selopanggung. Tan Malaka pun ditembak mati di tempat ini. Ia dimakamkan di tengah hutan (Poeze 2014: 219).

Tan Malaka, Sang Revolusioner

Menurut Oliver Crawford dalam disertasinya, berjudul “The Political Thought of Tan Malaka” (Desember 2018), Tan Malaka (Sutan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka) [1897-1949] adalah telatah revolusioner Indonesia dan teoretikus Marxis. Tan Malaka lahir dan dididik di Sumatera Barat sebelum sekolah di negeri Belanda (1913-1919). 

Sekembalinya ke tanah air, ia terlibat dalam aktivitas serikat pekerja dan kemudian Partai Komunis Indonesia (PKI) pada Desember 1921. Setelah membuat aksi mogok buruh pegadaian, Tan Malaka diasingkan ke Belanda hingga Maret 1922. Ia mengikuti pertemuan Partai Komunis Belanda di negeri kincir angin, kemudian berangkat ke Moskow untuk bergabung dengan staf Komintern. Tan Malaka sangat mendukung aliansi komunisme dengan nasionalisme dan Pan-Islam.

Dari pengasingan, Tan Malaka menentang keras keputusan PKI yang meninggalkan aliansi dengan Sarekat Islam dan meluncurkan revolusi prematur. Setelah insureksi PKI 1926-1927 gagal, partai menuduh Tan Malaka melakukan sabotase. Elite PKI menuduh Tan Malaka sebagai “Trotskyis”. 

Pada 1 Juni 1927, Tan Malaka mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok, sebuah partai kladenstin yang tersebar di banyak wilayah di Indonesia (khususnya Sumatra dan Jawa) selama dekade berikutnya, meskipun dia sendiri tetap berada di Cina selatan sampai 1937 dan setelah itu lebih sering bersembunyi di Singapura. 

Di tengah pendudukan Jepang pada 1942, Tan Malaka secara sembunyi-sembunyi kembali ke tanah air. Dia kemudian melakukan perjalanan melalui Sumatra ke Banten dan bekerja sebagai juru tulis di sebuah tambang batu bara di Banten selatan.

Pada pecahnya Revolusi tahun 1945, Tan Malaka menentang kebijakan yang terlalu hati-hati dari kepemimpinan Republik Indonesia, yakni Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. Ia lebih menyukai mobilisasi massa sebagai bentuk perubahan revolusioner. Tan Malaka menjadi tokoh sentral dalam Persatuan Perjuangan radikal menuntut “Kemerdekaan 100 persen”. 

Dituduh berusaha menggulingkan negara, ia dipenjara sejak Maret 1946 hingga September 1948. Ketika Bung Hatta membebaskannya untuk memperkuat kekuatan anti-PKI, Tan Malaka tetap menjadi pengkritik lugas atas praktik negosiasi Republik dengan Belanda. 

Pada November 1948, dia menjadi “promotor” partai baru bernama Murba. Tan Malaka terus berkampanye melawan pemerintah Republik setelah Agresi Militer Belanda ke-II.

Tan Malaka dan “Revoloesi Pemoeda”

Seperti dianggit oleh Osman Raliby dalam Dokumenta Historica (1953: 341-5), pemerintah RI mengeluarkan pernyataan resmi tentang Peristiwa Tiga Juli dan mengecam tindakan Tan Malaka sebagai suatu bentuk perebutan kekuasaan yang bersifat pengkhianatan. Kampanye sistematis pun dilancarkan untuk mencap Tan Malaka sebagai petualang lihai dan kejam dengan ambisi-ambisi tak terpermanai. 

Tokoh revolusioner yang sudah lanjut usia itu tidak diberi kesempatan membela diri menghadapi fitnah yang diatur sedemikian rapi. Tan Malaka tidak pernah dibawa ke sidang pengadilan, dan bagian akhir dari otobiografi yang ditulisnya dalam tahanan dan dengan brilian diberi judul Dari Pendjara ke Pendjara, baru diterbitkan jauh sesudah dia dibunuh.

Menurut Benedict Anderson dalam karyanya, Revoloesi Pemoeda: Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946 (2018: 471-7), para pemimpin Republik mafhum benar Tan Malaka tidak bersalah, dan karena itulah tidak pernah berani menghadapkannya ke muka pengadilan. Akan tetapi alasan “kepentingan negara” membuatnya diperlakukan sebagai kambing hitam. 

Terkuaknya perpecahan mendalam di kalangan elite dan tentara yang menyulut krisis 27 Juni hingga 3 Juli 1946 dianggap akan sangat melemahkan semangat perjuangan bangsa dan membahayakan kedudukan Indonesia di dunia internasional. 

Apalagi, terkuaknya rahasia politik dari Peristiwa 3 Juli akan menghancurkan kompromi yang telah dicapai dengan begitu susah payah setelah berakhirnya krisis itu—kompromi yang justru dibuat demi kemungkinan adanya sedikit kerja sama antara pemerintah dan komando tinggi tentara untuk selanjutnya. 

Dengan maksud untuk menyelamatkan ‘saling pengertian’ yang longgar ini, Tan Malaka, yang selamanya menjadi orang luar, bisa saja dikorbankan.

Akan tetapi ada alasan lain mengapa tokoh revolusioner pengembara itu dibungkam dan difitnah. Tan Malaka adalah satu-satunya pemimpin besar yang berkomitmen sepenuhnya terhadap perjuangan dan memiliki wibawa untuk membuat hal ihwal itu menjadi suatu alternatif yang masuk akal. 

Baca lanjutannya: Kisah Tan Malaka dan Fakta Sejarah di Balik Kematiannya (Bagian 2)

Related

Indonesia 2118430711253133954

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item