Mengenang Gus Dur dan Pemikiran-pemikirannya Tentang Agama dan Negara (Bagian 1)


Naviri Magazine - Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring mendefinisikan lema ‘kolot’ sebagai "tidak modern; kuno; tua". Jika kita mengetik lema 'konservatif', sebuah kata yang bersinonim kuat dengan 'kolot', kamus resmi ini mengartikannya dalam dua makna: (1) kolot dan (2) bersikap mempertahankan, keadaan, dan tradisi yang berlaku. 

Sementara itu Tesaurus Tematis Bahasa Indonesia memberi banyak sekali padanan kata untuk lema 'kolot'. Di antaranya: fundamentalis, tradisional, ortodoks, klasik, primitif, usang, dan purba.

Dalam konteks wacana keagamaan, secara sederhana 'kolot' atau 'konservatif' dimaknai sebagai cara beragama dengan menggunakan mazhab, metode berpikir yang telah dikodifikasi oleh para pendahulu. 

Orang-orang konservatif meyakini cara beragama kita saat ini sama dengan cara beragama yang telah dilakukan Rasulullah melalui jalur sanad yang amat ketat. Singkatnya, mereka bersandar pada pakem-pakem lama yang telah disepkati (ijma’), baik dalam urusan hukum, sejarah, hingga teologi.

Kebalikan dari kolot (jumud) atau konservatif (takhalluf) adalah modern (taqaddum) atau pembaharuan (tajdid). Orang-orang yang termasuk kategori golongan ini mendeklarasikan cara beragama nonmazhab, tidak melalui cara berpikir ijma’ atau kesepakatan generasi setelah Rasulullah. Mereka meyakini agama yang otentik itu dengan cara mengambil langsung dari sumber utamanya, Al-Qur’an dan hadis, tanpa perantara imam mazhab.

Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta bertajuk "Beragama di Dunia Maya: Media Sosial dan Pandangan Keagamaan di Indonesia" mengelaborasi lebih lanjut pengertian 'konservatif' dalam konteks keagamaan:

“Konservatisme merupakan aliran keagamaan yang menjadikan tradisi Islam awal (nabi dan sahabat) sebagai acuan berbagai sendi kehidupan yang harus diduplikasi secara literal. Dalam hal ini, konservatisme berarti pemahaman keagamaan yang tidak menginginkan adanya pembaharuan dalam beragama. 

“Para sarjana mendefinisikan konservatisme sebagai pemahaman yang menolak kehadiran modernitas, pemikiran liberal atau progresif dalam menjelaskan ajaran-ajaran agama, dan konservatif agama mempertahankan penafsiran dan sistem sosial yang baku.” (hlm. 4).

Jika kita berpijak pada definisi tersebut, maka semua ulama di manapun pada dasarnya memiliki sifat konservatif. Tugas pokok ulama memang sebagai penjaga (al-muhafidz). Ini sesuai dengan makna literal dasar dari kata tersebut yaitu to conserve—merawat. 

Rumusan ini juga berkaitan erat dengan diktum “Al-ulama waratsatul anbiya" (ulama itu pewaris para nabi). Dengan kata lain, ulama adalah mereka yang menjaga warisan, merawat tradisi, dan memelihara sesuatu yang baik dari masa lampau.

Maka, dari Ahmad Dahlan hingga Quraish Shihab, dari Hasyim Asy’ari hingga Nurcholish Madjid—orang-orang yang dikenal sebagai ulama—bila kita memakai pengertian di atas, merupakan sosok-sosok yang konservatif. Tidak lebih dan tidak kurang.

Lalu pertanyaannya, bagaimana dengan Gus Dur, Presiden RI ke-4, Ketua Umum PBNU (1984-1999) yang kerap dituding "liberal" dan nyeleneh itu? Apakah dia juga ulama yang kolot atau konservatif?

Basisnya Tetap Agama

Gus Dur bukan kekecualian. Ia satu baris dengan nama-nama ulama di atas. Keulamaan Gus Dur bukan saja dari sisi pendidikan yang ditempuh—pesantren lalu belajar di negeri muslim seperti Mesir dan Irak—atau karena ia tumbuh di keluarga dan lingkungan ulama lantas memimpin NU; tetapi juga dari cara pandang, metode berpikir, dan perspektifnya yang sangat ulama (baca: konservatif). 

Gus Dur, yang meninggal pada 30 Desember 2009, bukan orang sekuler atau liberal yang memisahkan agama dari dunia sosial, publik, atau bahkan politik.

Pernyataan Gus Dur yang menyebut agamawan berperan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi adalah salah satu bukti bahwa dia memang setia kepada agama.

“Dunia kita tidak bisa sendirian menangani masalah itu (kesenjangan)," tuturnya dalam wawancara dengan TVRI pada akhir 1980-an. "Maka diperlukan cultural properties, seperangkat budaya, termasuk juga diperlukan perangkat-perangkat agama untuk menangani kesenjangan ekonomi ini. Saya, umpamanya, dari dulu selalu minta kalangan agamawan: mbok kita bicaralah masalah-masalah ekonomi secara benar, apakah tentang strategi pembangunan ekonomi, apakah tentang konsep-konsep ekonomi teoritik yang digunakan atau tentang apa saja.”

Gus Dur tak saja menggunakan kacamata agama dalam urusan makro seperti kesenjangan ekonomi, gerakan sosial, atau perubahan masyarakat; namun juga menyangkut persoalan mikro yang praktis, misalnya bunga bank. Dia membolehkan bunga bank; bukan menghalalkan riba, tetapi menilai bank konvensional adalah sistem bagi hasil yang di dalam tradisi Islam (fikih) disebut qiradl.

Contoh lain dalam isu rekonsiliasi terkait tragedi 1965 yang mengakibatkannya dituduh antek PKI, Gus Dur pun memakai dalil-dalil agama. “Katanya agama mengajarkan maaf dan tidak mengenal dosa turunan, kenapa saya dianggap ateis karena mengusulkan rekonsiliasi dengan PKI?” demikian kira-kira argumen Gus Dur saat menghadapi para penantangnya.

Baca lanjutannya: Mengenang Gus Dur dan Pemikiran-pemikirannya Tentang Agama dan Negara (Bagian 2)

Related

Indonesia 715414789646409292

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item