Mengenang Gus Dur dan Pemikiran-pemikirannya Tentang Agama dan Negara (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengenang Gus Dur dan Pemikiran-pemikirannya Tentang Agama dan Negara - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Kecintaan Gus Dur kepada tradisi agama juga diapresiasikan dengan seringnya menyebut tokoh-tokoh dari berbagai belahan dunia dan agama lain. Ia, misalnya, sangat fasih menjelaskan gerakan Mahatma Gandhi yang berlatar Hindu atau Oscar Romero, padri El Salvador pejuang keadilan sosial, yang berbasis Katolik.

Gus Dur sendiri mentasarufkan sebagian tenaga dan pikirannya untuk membangun aliansi dengan tokoh-tokoh agama lain seperti Y.B. Mangunwijaya, Gedong Bagoes Oka, Bhante Pannavaro, dan Th. Sumartana. Hubungan para tokoh agama era 1980-an hingga 1990-an adalah persahabatan sejati yang dibangun lama secara kultural, bukan tumbuh dari sekadar pertemuan formal di acara jumpa pers atau ruang seminar.

Akibat seringnya menjalin dialog dengan kelompok-kelompok dari agama lain atau menginisiasi kerja sama antaragama (ia bahkan kerap bertandang ke gereja), Gus Dur dituduh "liberal" oleh banyak kalangan, terutama kaum islamis. Ia membela diri dari tuduhan macam itu dengan dalil dan argumentasi fikih, bukan dengan teori-teori sosial yang canggih.

“Perbedaan keyakinan tidak membatasi atau melarang kerja sama antara Islam dan agama-agama lain, terutama yang menyangkut kepentingan umat manusia. Penerimaan Islam akan kerja sama itu, tentunya akan dapat diwujudkan dalam praktik kehidupan, apabila ada dialog antaragama,” tulisnya pada 2002 dalam artikel bertajuk "Islam dan Dialog Antaragama" di harian Duta Masyarakat.

“Ma laa yatimmul wajib illa bihi fahua waibun, sesuatu yang membuat sebuah kewajiban agama tidak terwujud tanpa kehadirannya, akan wajib pula hukumnya,” lanjut Gus Dur menyandarkan keaktifannya dalam dialog antaragama.

Perhatian besar Gus Dur kepada khazanah fikih tampak saat ia mengapresiasi para kiai, salah satunya kala menulis biografi Kiai Bisri Syansuri, kakeknya dari garis ibu. Dalam buku Khazanah Kiai Bisri Syansuri: Pecinta Fiqh Sepanjang Hayat, Gus Dur menggambarkan secara antropologis bagaimana ilmu fikih dan ushul fikih dipraktikkan dan menjadi prinsip seorang kiai. 

Kiai Bisri, dalam pandangan Gus Dur, adalah representasi kehidupan pesantren yang tak bisa lepas dari cara berpikir fikih yang konservatif itu.

Tidak berhenti sampai di situ, Gus Dur membuat formulasi berpikir, yaitu “fikih sebagai etika sosial”. Formulasi ini lebih kompleks dibanding teori fikih sosial yang digagas Kiai Ali Yafie atau Kiai Sahal Mahfudh. Salah satu aspek yang ditekankan Gus Dur adalah dakwah Islam dengan cara kultural, seperti yang dilakukan para ulama pesantren selama bertahun-tahun.

“Jika ajaran Islam sudah dipraktikkan di dalam masyarakat dan menjadi etika sosial, buat apa membentuk negara Islam atau peraturan-peraturan syariah?” demikian para ulama pesantren berpendapat, yang kemudian dijadikan pedoman oleh Gus Dur.

Wajah Ganda Konservatisme

Maka demikianlah, Gus Dur, betapapun deras tuduhan liberal kepadanya, sebenarnya orang yang kukuh memegang teguh tradisi agama—termasuk fikih—yang dalam gambaran para pengamat disebut konservatif atau kolot. Benar bahwa ia sangat memahami nilai-nilai baru dan tradisi di luar Islam, tapi itu digunakan sebagai penguat basis berpikirnya yang beriorentasi agama.

Pertanyaan yang timbul kemudian, apakah berarti konservatisme punya wajah ganda?

Betul. Sama-sama konservatif; tapi ada yang inklusif, ada yang eksklusif. Sama-sama konservatif; namun ada yang setuju Pancasila, ada yang menolaknya. Sama-sama konservatif; tapi ada yang menghalalkan musik, ada yang mengharamkannya. Sama-sama konservatif; namun ada yang membolehkan bunga bank, ada yang melarangnya. Dan kita tahu, ada dalil yang mempersilakan ucapan selamat natal, ada pula yang mengutuknya.

Mengapa demikian?

Karena teks agama Islam memiliki banyak isi dan bermacam cerita. Ia bersifat multitafsir. Sejak zaman Nabi Muhammad hingga sepanjang 14 abad sejarahnya, Islam memiliki beragam praktik, berbagai pengalaman. Generasi sesudah Nabi Muhammad tinggal memilih.

Gus Dur memilih dan menangkap bahwa elan vital konservatisme agama adalah demi menjaga hidup bersama dan membuat kemaslahatan serta kemajuan umat manusia. Pembacaan Gus Dur atas Al-Qur’an, eksplorasinya atas khazanah ilmu fikih, dan perhatiannya kepada tasawuf merupakan upaya pencarian substansi ajaran Nabi.

Related

Indonesia 1132428443519843342

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item