Orang Amerika Benci Nonton Film Pakai Subtitle, Ini Alasannya (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Orang Amerika Benci Nonton Film Pakai Subtitle, Ini Alasannya - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Kekeliruan terjemahan menjadi pemandangan yang sering dijumpai di film-film berbahasa asing. Ini, tulis Shulevitz, memperlihatkan betapa serampangannya perusahaan-perusahaan di Hollywood dalam memperlakukan film berbahasa asing. 

Mereka tak ingin mengeluarkan sedikit lebih banyak uang untuk mempekerjakan penerjemah yang kompeten. Keadaan tersebut kemudian berimbas pada turut berubahnya persepsi penonton terhadap suatu adegan maupun film secara keseluruhan, hanya gara-gara kesalahan penerjemahan.

Selain soal teknis, alasan lain yang kerap dijadikan justifikasi ialah keberadaan subtitle merusak esensi dan orisinalitas film bersangkutan. Oleh para penggemar film puritan, eksistensi subtitle dinilai tak ubahnya seperti dosa yang mesti dijauhi. 

Jonas Mekar, Direktur Artistik Anthology Film Archives, New York, mengatakan kepada Shulevitz bahwa subtitle “benar-benar mengubah pandangan Anda tentang film.”

Padahal, mengutip penelitian David Orrego-Carmona, pengajar studi alih-bahasa di Aston University, penonton lebih suka subtitle, termasuk di negara-negara yang punya tradisi panjang soal film. 

Penggunaan subtitle lebih praktis ketimbang sulih-suara, subtitle tak ‘merusak’ film sebab suara asli pemain tetap dipertahankan, serta terjemahan bahasa membuka kesempatan para penonton untuk menikmati film-film di luar negara asalnya. Pendeknya, fasilitas terjemahan bahasa menawarkan kesempatan yang lebih luas bagi audiens—dan produser.

“Semua bentuk terjemahan menawarkan peluang untuk meningkatkan aksesibilitas. Upaya distributor dalam menyediakan banyak pilihan [bahasa], selain masuk akal secara komersial, juga merupakan langkah positif untuk sosial maupun budaya. Tetapi, upaya tersebut tak boleh sekadar karena kepentingan komersial. Kalau begitu, upaya yang ada berisiko tak membuahkan hasil,” demikian tulis Orrego-Carmona.

Kurangnya minat terhadap film-film berbahasa asing rupanya turut merembet ke kompetisi sekelas Oscar. Sejarah mencatat, belum pernah ada film berbahasa asing yang menang di kategori Film Terbaik (Best Picture). Paling-paling film-film tersebut hanya masuk nominasi, seperti yang terjadi pada Amour, Crouching Tiger, Hidden Dragon (2000), Roma (2018), dan yang terbaru, Parasite (2019).

Tak jarang, situasi tersebut melahirkan perdebatan di kalangan penikmat film. Mereka mengkritik standar penilaian Oscar yang kelewat abai akan film-film berbahasa asing yang—jika boleh diadu—tak kalah kualitas ketimbang film bikinan Hollywood.

“Anda bisa menonton film-film hebat dari sutradara dunia seperti Godard, Ozu, Fellini, atau Bergman, dan bertanya: ‘Apakah tidak ada film mereka yang memenuhi persyaratan ‘bagus’ dari Hollywood?’” tulis Steve Rose dalam artikel di The Guardian (2019).

Asal tak bikin remake

Untungnya, kesadaran untuk menyebarluaskan film-film berbahasa asing mulai tumbuh di kalangan pelaku industri Hollywood. Di era kiwari, bermunculan nama-nama baru yang reputasinya cukup mentereng. Selain Sony Picture Classics, ada IFC Films, Magnolia, Annapurna, hingga A24, yang konsisten dalam menggarap ceruk pasar film-film berbahasa asing.

“Film berbahasa asing itu penting dan layak untuk dilihat di AS,” tegas Arianna Bocco, petinggi IFC Films, kepada Variety (2019). IFC sendiri, sejauh ini, telah mendistribusikan film-film garapan Olivier Assayas (Perancis), Alfonso Cuaron (Meksiko), Susanne Bier (Denmark), sampai Mia Hansen-Love (Perancis).

Meski demikian, hitung-hitungan laba tetap menjadi pertimbangan distributor. Yang paling kentara: mereka tidak terlalu banyak menyebarkan film berbahasa asing.

“Film berbahasa asing tidak pernah menjadi bisnis besar. Tapi, kami masih percaya pada film berkualitas, apa pun bahasanya,” terang Michael Barker, Wakil Presiden Sony Picture Classics. “Ada publik yang ingin melihat film-film itu. Anda hanya harus berhati-hati soal berapa banyak yang Anda beli, dan apa yang Anda belanjakan.”

Ya, setidaknya upaya yang diambil tidak melulu dengan jalan remake. Ingat bagaimana Oldboy (2003) garapan Park Chan-wook dibikin ulang oleh Spike Lee, satu dekade berselang dan hasilnya luar biasa jelek?

Related

Film 7716836706890254304

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item