Panduan Lengkap Memahami Sertifikat Tanah Elektronik yang Akan Diterapkan di Indonesia


Naviri Magazine - Pemerintah mengklaim keamanan penyimpanan sertifikat tanah elektronik yang mulai diatur tahun ini dijamin mumpuni. Klaim itu diutarakan di tengah keraguan sejumlah warga yang mengaitkan digitalisasi dokumen ini dengan kasus e-KTP yang sempat ramai karena kebocoran data pribadi.

Di sisi lain, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) menilai semestinya digitalisasi sertifikat tanah lebih diposisikan sebagai dokumen cadangan yang tetap bisa digunakan warga ketika surat tanahnya rusak atau hilang.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/BPN, Sofyan Djalil mengeluarkan peraturan digitalisasi sertifikat tanah untuk diterapkan di Indonesia, baru-baru ini. Aturan ini dituangkan melalui Peraturan Menteri ATR/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik.

Beleid ini diteken sejak 12 Januari lalu, dan baru ramai diperbincangkan beberapa waktu kemudian.

Dalam Peraturan Menteri ini dijelaskan, surat tanah elektronik akan menggantikan surat tanah fisik, termasuk penggantian buku tanah, surat ukur/gambar denah. Kepala Kantor Pertanahan di wilayah masing-masing nantinya bertugas menarik Sertifikat untuk disatukan dengan buku tanah, dan disimpan menjadi warkah pada Kantor Pertanahan.

Warkah yang dimaksud adalah dilakukan alih media (scan) dan disimpan pada pangkalan data.

Seperti apa keamanan sertifikat tanah elektronik?

Dirjen Penetapan Hak dan Pendaftaran Tanah, Kementerian ATR/BPN, Suyus Windayana, mengatakan teknologi penyimpanan data sudah dipersiapkan dengan jaminan keamanan mumpuni. Kata dia, teknologi ini dirancang dengan melibatkan Badan Sandi dan Siber Nasional. 
"Nah, untuk teknologi dokumen elektronik itu secure. Badan Sandi Dan Siber Nasional itu sudah punya teknologi dan itu menjadi lebih secure," kata Suyus.

Suyus menambahkan pihaknya sudah memberlakukan hal serupa pada pelayanan Hak Tanggungan Elektronik (HT-el) tahun lalu. Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Terkait hal in, Kementerian ATR/BPN melibatkan 1.700 lembaga di antaranya perbankan, lembaga pinjaman, koperasi dan lainnya.

"Jadi sudah ada 500.000 sertifikat kita keluarkan, kalau mau pinjam uang ke bank, itu sertifikatnya sudah elektronik," kata Suyus yang mengklaim program ini semakin memberi manfaat selama pandemi.

Apa tujuan sertifikat tanah elektronik?

Menurut Suyus, digitalisasi surat tanah ini bertujuan untuk memudahkan pelayanan, mencegah pemalsuan, dan pengecekan yang lebih mudah. Ia mencontohkan dalam praktik jual-beli, seorang pembeli nantinya tidak harus mengecek langsung ke lokasi.

"Sekarang, misalnya begini, [seseorang] punya tanah di Bandung, terus mau jual tanahnya. Nah sekarang itu prosedurnya harus ke Bandung, karena semua dokumen itu analog. Dengan bentuk elektronik ini bapak bisa melakukan pengecekan secara elektronik, secara langsung ke sistem," katanya.

Nantinya, sertifikat tanah ini juga disertai barcode, yang setiap kali dibuka dikenakan biaya. "Itu memudahkan masyarakat, bapak bayangkan punya tanah di Sulawesi Selatan, mau jual cek dulu tanahnya ke sulsel. Dengan teknologi ini bisa lebih cepat," kata Suyus.

Akan dimulai dari mana?

Program sertifikat tanah digital tidak serta merta diterapkan seluruh Indonesia. Nantinya, dilakukan bertahap diawali dari kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya yang akan dijadikan proyek percontohan.

"Jadi tidak serta merta kita narik sertifikat, bukan seperti itu yang sekarang terjadi di media sosial. Jadi itu dilakukan dengan permohonan masyarakat. Kalau masyarakat ingin lebih nyaman, lebih mudah memprosesnya, nanti lebih private," kata Suyus.

Selanjutnya, prioritas digitalisasi sertifikat tanah akan menyasar ke instansi pemerintah, badan hukum "yang sudah mulai terbiasa dengan dokumen elektronik akan kita jalankan."

Kementerian ATR/BPN menargetkan program ini sudah mulai diterapkan hingga lima tahun ke depan.

"Kita berharap kalau siap di lima tahun ke depan. Kita bisa selesaikan. Kalau bisa seluruh Indonesia. Tapi untuk daerah yang secara infrastruktur sudah siap, masyarakat sudah siap, akan kita mulai pada tahun ini," jelas Suyus

Apa sanksi bagi yang menolak sertifikasi tanah elektronik?

Permen ATR/BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertifikat Elektronik tidak memuat sanksi. Tapi, menurut Suyus, "kemudahannya pasti akan dirasakan".

"Ini memang disiapkan untuk generasi yang akan datang, ke depan, teknologi kita siapkan untuk masa depan. Kalau semua layanan terhubung secara elektronik, transaksi-transaksi bisa dilaksanakan juga ke depan," katanya.

Seperti apa tanggapan warga?

Sejumlah warga yang sudah tinggal di atas tanahnya sendiri mengaku enggan melepas sertifikat tanahnya untuk diubah menjadi bentuk digital. Novaeny Wulandari, misalnya. Warga Banten ini justru menyandingkan program ini dengan KTP elektronik yang menurutnya amburadul.

"Karena sudah ada kasus-kasus sebelumnya, yang e-KTP-nya, selesainya lama atau di balik itu ada korupsi atau lain sebagainya. Tetap harus berpikir dua kali untuk diganti ke elektronik sertifikat," kata Novaeny.

Sementara itu, Eva Danayanti, warga Jawa Barat ikut menimpali. Eva yang sudah tinggal menetap selama lebih dari satu dekade, lebih memperhatikan keamanan data pribadinya.

"Data privacy di sini kan belum jelas perlindungannya. Nah, sejauh mana itu bisa diproteksi, bahwa itu tidak akan menyebar, bahwa itu tidak akan berpindah tangan dengan mudah. Kayak KTP aja yang bentuknya sekarang, online, tapi ada fisiknya, masih rentan tersebar, dan tak ada perlindungan," katanya.

Apakah langkah sertifikasi tanah elektronik sudah sudah tepat?

Sementara itu, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Sartika, mengatakan sertifikat tanah dalam bentuk fisik merupakan hak masyarakat untuk disimpan yang tak tergantikan dengan hal lain.

Keberadaan sertifikat tanah elektronik, menurutnya, harus difungsikan sebagai dokumen cadangan saat masyarakat kehilangan surat berharga itu karena musibah.

"Nah ini juga menjadi concern, misalnya masyarakat kena musibah kebakaran apa, itu masih ada backup-nya di pemerintah. Nah, itu sifatnya back up saja. Tetapi tidak boleh menggantikan sertifikat asli yang ada di tangan masyarakat," kata Dewi.

Ia juga menilai saat ini surat tanah elektronik masih belum diperlukan.

KPA saat ini menangani advokasi sengketa lahan di 520 desa, dengan total 665 ribu hektare lahan yang tersebar di 20 provinsi Indonesia.

Menurut Dewi, sebaiknya pemerintah menyelesaikan sengketa lahan ini dengan memberikannya kepada masyarakat sebelum melangkah membuat sertifikat tanah elektronik.

"Selama ini kita dorong ke pemerintah untuk dituntaskan dalam kerangka reforma agraria. Artinya, dilepaskan dari klaim-klaim BUMN, swasta atau dengan aset TNI dan lainnya, itu yang sudah puluhan tahun yang tak kunjung diselesaikan," kata Dewi.

Related

News 5856152479784950260

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item