Robert Wolter Mongisidi, Mati Muda Demi Perjuangan Indonesia
https://www.naviri.org/2021/02/robert-wolter-mongisidi-mati-muda-demi.html

Naviri Magazine - Robert Wolter Mongisidi lahir di Menado, 14 Februari 1925, dengan pendidikan HIS dan MULO. Ketika pendudukan Jepang, ia belajar bahasa Jepang dan lulus dengan sangat memuaskan, sehingga diangkat sebagai guru pada kursus bahasa Jepang di Minahasa.
Selanjutnya, ia pindah ke Luwuk Sulawesi Tengah. Saat Jepang menyerah, ia pergi ke Ujung Pandang dan bergabung dengan para pemuda pejuang lainnya.
Tanggal 27 Oktober 1945, seluruh kekuatan pemuda pejuang di Ujung Pandang dipusatkan untuk mengadakan serangan umum, dan merebut tempat-tempat yang strategis yang telah diduduki tentara Belanda.
Mongisidi dan kawan-kawannya bertugas menyerbu Hotel Empres dan menangkapi para perwira Belanda, serta membuat barikade di jalan-jalan. Dalam pertempuran tersebut, pasukan Australia ikut campur dan menyerbu markas pemuda pejuang. Banyak dari mereka yang gugur dan tertangkap, termasuk Robert Wolter Mongisidi. Namun karena kepandaiannya, ia dibebaskan.
Pasukan NICA terus melancarkan pengejaran terhadap para pejuang, sehingga mereka mengundurkan diri dari kota dan membentuk markas-markas di daerah sambil melancarkan perang gerilya.
Robert menggabungkan diri dengan pasukan Ranggong Daeng Romo yang bermarkas di Plongbangkeng, dan ditugasi sebagai penyidik karena mahir bahasa asing dan wajahnya mirip Indo Belanda.
Ia sering menyamar sebagai tentara Belanda, dan merampas kendaraan dan senjata, serta memasang plakat berisi ancaman, sehingga namanya bagaikan hantu yang sangat ditakuti pasukan Belanda.
Tanggal 17 Juli 1946, Robert bersama-sama pemuda pejuang lainnya mendirikan organisasi perjuangan bernama Laskar Pemberontakan Rakyat Indonesia Sulawesi (LAPRIS), dengan panglima Ranggong Daeng Romo dan Sekretaris Jenderal Robert Wolter Mongisidi yang langsung memimpin operasi.
Tanggal 3 November 1946, dalam suatu pertempuran di dekat kota Barombang, ia terluka dan terpaksa mengundurkan diri untuk sementara. Kemudian, tanggal 21 Januari 1947, di Kassikassi, terjadi pertempuran dan ia lolos dari kepungan tentara Belanda yang ketat.
Belanda semakin gentar menghadapinya, sehingga dikeluarkan pengumuman bahwa barang siapa dapat menangkap Wolter Mongisidi hidup atau mati akan diberi hadiah, namun Wolter tidak pernah tertangkap.
Belanda makin memperkuat tekanannya terhadap para pejuang. Banyak di antara mereka yang tertangkap gugur atau meninggalkan Sulawesi Selatan, namun Wolter tetap pada pendiriannya, bahkan sering berjuang seorang diri mengacaukan pasukan Belanda.
Untuk menekan perjuangan rakyat Sulawesi Selatan, Belanda melakukan pembunuhan besar-besaran, yang dipimpin oleh Kapten Raymond Paul Piere Westerling yang terkenal bengis. Tidak kurang dari 40.000 jiwa menjadi korban keganasan pasukan Westerling.
Tanggal 28 Februari 1947, Wolter tertangkap oleh pasukan Belanda, dan dimasukkan ke penjara di Ujung Pandang. Meskipun dibujuk oleh Belanda untuk melepaskan perjuangannya, dan akan diberi hadiah serta kedudukan yang menggiurkan, namun Wolter menolak.
Sementara itu, kawan-kawannya berusaha keras untuk membebaskannya dari penjara. Dengan bersenjata granat yang diselundupkan melalui makanan, Wolter dapat meloloskan diri pada 18 Oktober 1948.
Tanggal 28 Oktober 1948, selagi Wolter berada di Klapperkan lorong 22A No. 3 kampung Mricayya-Ujung Pandang, Wolter disergap oleh pasukan Belanda karena ada yang mengkhianatinya. Ia dimasukkan dalam penjara Polisi Militer Belanda dengan penjagaan yang sangat ketat, dan dipindahkan ke penjara Kis.
Tanggal 26 Maret 1949, ia diajukan ke pengadilan kolonial Belanda, dan dijatuhi hukuman mati. Berbagai pihak menyarankan agar Wolter meminta pengampunan kepada Pemerintah Belanda, namun ia menolak.
Tanggal 5 September 1949, Wolter menjalani hukuman tembak. Ia ditembak tanpa tutup mata dengan memegang kitab Injil di tangan kirinya, dan tangan kanannya mengepalkan tinju sambil berteriak "Merdeka atau Mati", lima menit sebelum ditembak. Wolter tewas pada usia 24 tahun.
Wolter masih dengan tenang menulis kalimat penghabisan, "setia hingga terakhir dalam keyakinan", dan ditandatangani pada 5 September 1949. Berkat jasanya yang luar biasa, pemerintah RI menganugerahi Gelar Pahlawan Nasional untuknya.