Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 4)
https://www.naviri.org/2021/02/sejarah-lengkap-pers-indonesia-dari_37.html

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa - Bagian 3). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Menyusul deklarasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, wartawan-wartawan pergerakan yang tetap berkerja di pers semasa pendudukan militer Jepang segera melancarkan kegiatan pemberitaan dan penerangan mendukung Proklamasi. Mereka mengambil alih surat kabar-surat kabar dan percetakan-percetakan yang dikuasai Jepang.
Surat kabar Indonesia pertama yang terbit di Jakarta adalah Berita Indonesia (6 September). Dalam susunan redaksinya, tercantum Suraedi Tahsin, Sidi Mohammad Sjaaf, Rusli Amran, Suardi Tasrif, dan Anas Ma’ruf.
Surat kabar berikutnya adalah harian Merdeka (1 Oktober), yang dipimpin B.M. Diah (menteri penerangan 1966), dan Rakjat di bawah pimpinan Sjamsuddin Sutan Makmur (menteri penerangan 1955) dan Rinto Alwi.
Di Aceh, Ali Hasjmy, Abdullah Arif, dan Amelz, menerbitkan Semangat Merdeka (18 Oktober 1945). Di Medan, Pewarta Deli terbit kembali, kali ini dipimpin Mohammad Said dan Amarullah Ombak Lubis. Itu terjadi bulan September 1945. Kemudian Mimbar Oemoem, dengan redaktur Abdul Wahab Siregar, Mohammad Saleh Umar, dan M. Yunan Nasution (bulan November).
Di Medan juga terbit Sinar Deli, Buruh dan Islam Berdjuang. Di Padang, terbit Pedoman Kita, di bawah Jusuf Djawab dan Decha, serta Kedualatan Rakjat pimpinan Adinegoro, dengan dibantu Anwar Luthan, T. Sjahril, Zuwir Djamal, Zubir Salam, Sjamsuddin Lubis, Darwis Abbas, Maisir Thaib, dan lain-lain. Di Palembang, terbit Soematra Baroe, dipimpin Nungcik Ar.
Di Bandung, terbit surat kabar Tjahaja (yang kemudian berganti nama jadi Soeara Merdeka), dengan susunan redaksi terdiri antara lain Burhanuddin Ananda, Ruhdi Partaatmadja, Djamal Ali, Ace Bastaman, Hiswara Dharmaputra, Mohammad Kurdi, dan Pitojo Darmosugito.
Di Yogyakarta, terbit Kedaulatan Rakjat, dengan tim redaktur Bramono, Sumantoro, Samawi, dan M. Madikin Wonohito, serta surat kabar Nasional yang dipimpin Sumanang (menteri perekonomian 1952), dibantu Moh. Supardi dan Mashud Harjakusuma. Di Surakarta, terbit Merah Poetih, Lasjkar, dan Banteng. Di Surabaya, terbit Soeara Asia, dengan pimpinan redaksi terdiri dari R. Tukul Surohadinoto dan R.M. Abdul Azis.
Harian Soeara Asia, seperti halnya Tjahaja Bandung, menyiarkan berita Proklamasi dalam edisi 18 Agustus 1945.
Kantor berita Domei cabang Surabaya diambil alih menjadi Berita Indonesia pada 1 September 1945, dengan tim redaktur terdiri dari R.M. Bintarti, Bung Tomo (menteri negara 1955), Wiwiek Hidajat, Mashud Sosrojudho, dan lain-lain. Atas prakarsa Abdul Azis dan Suleiman Hadi, Soeara Asia berganti nama menjadi Soeara Rakjat.
Di Ujung Pandang, waktu itu masih bernama Makassar, terbit harian Soeara Indonesia, di bawah Manai Sophiaan. Di Manado, terbit Menara (Desember 1945), atas prakarsa G.E. Dauhan. Di Ternate, Arnold Mononutu (menteri penerangan 1949, 1951, 1952), menerbitkan mingguan Menara Merdeka (Oktober 1945), dibantu Hassan Missouri.
Di samping surat kabar-surat kabar swasta, pihak pemerintah RI menerbitkan koran sendiri, seperti Soeloeh Merdeka di Medan (Oktober 1945), yang diasuh Jahja Jakub dan Arif Lubis, serta Negara Baroe di Jakarta, yang dipimpin Parada Harahap.
Inggris mengekang pers Republik
Sejak pasukan pendudukan Inggris mendarat di Indonesia dengan membawa satuan-satuan tentara Belanda, pers nasional dan para wartawannya terus menghadapi rupa-rupa tindakan kekerasan pihak musuh, karena tulisan-tulisan dan berita-berita mereka selalu mendukung kepentingan RI.
Di Medan, harian Sinar Deli dipaksa Inggris untuk berhenti terbit. Juga di Medan, Pewarta Deli diberangus pada Maret 1946, sementara A.O. Lubis dan pemimpin percetakan Syarikat Tapanuli, Rachmat, ditahan selama tiga minggu. Begitu pula, Wahab Siregar dari Mimbar Oemoem ditahan, dan percetakan Soeloeh Merdeka diduduki oleh pasukan Inggris.
Di Padang, percetakan yang menerbitkan Oetoesan Soematra diledakkan oleh serdadu Inggris. Di Jakarta, kantor Berita Indonesia diserbu serdadu Belanda sehingga terpaksa pindah percetakan. B.M. Diah dan Herawati Diah dari harian Merdeka sempat pula meringkuk dalam tahanan Inggris.
Di Makassar, Manai Sophiaan selalu menjadi incaran serdadu Belanda, dan terpaksa mengungsi ke Jawa. Di Bandung, kantor Tjahaja dirusak tentara Jepang, dan sejumlah wartawannya disekap.
Di antara wartawan-wartawan Republiken yang pernah ditangkap Belanda adalah Sajuti Melik, Wonohito, P. Wardojo, Sudarso Warsokusumo, Anwar Tjokroaminoto, Siauw Giok Tjan, Tabrani, dan Adam Malik.
Akibat pendudukan pasukan Sekutu dan aksi teror serdadu Belanda di Jakarta, pemerintah Republik memutuskan pindah ke Yogyakarta, pada 4 Januari 1946. Sejak itu, perjuangan pers nasional terbagi antara mereka yang beroperasi di wilayah kekuasaan efektif Republik dan mereka yang terus bertahan di daerah pendudukan Sekutu/Belanda yang rawan.
Pers Republiken yang melaksanakan misi perjuangan di kota-kota yang diduduki musuh, selain yang sudah disebut di atas dan masih terbit, adalah sebagai berikut:
Di Jakarta, tercatat Sumber, Pemandangan dan Pedoman. Di Medan, Waspada (terbit mulai Januari 1947). Di Padang, Tjahaja Padang. Di Bukit Tinggi, Detik. Di Palembang, Obor Rakjat (eks Soematra Baroe), yang terbit 1 Juli 1946, Fikiran Rakjat, dan Soeara Rakjat (eks Obor Rakjat).
Di Bandung dan beberapa kota lainnya di Jawa Barat, ada Gelora Rakjat, Neratja, Perdjoangan, Sinar Priangan, Perdjoangan Rakjat, Toedjoean Rakjat, dan Patjoel. Di Semarang, Warta Indonesia. Di Makassar, Pedoman, Proletar, dan beberapa mingguan serta berkala. Di Minahasa, Soeara Pemoeda.
Beberapa koran Republiken, seperti Merah Poetih pimpinan Abdul Azis, melakukan gerilya setelah mengungsi dari Surabaya dan pindah ke Modjokerto. Merah Poetih kemudian terpecah tiga: satu terbit di Modjokerto, satu di Kediri, dan satu lagi di Malang.
Di Malang selatan, terbit Siaran Daerah atas upaya Sunarjo Prawiroadinoto. Di Sumatera tengah, terbit Menara Rakjat di bawah pimpinan Sutan Usman Karim (Suska). Di sekitar Yogyakarta, Sumantoro dan adiknya, Sugijono dan Muljono, menerbitkan Gerilja Rakjat dan Berita Gerilja.
Perkembangan pers Republiken yang secara teguh menyokong kemerdekaan Indonesia telah memaksa Belanda untuk menerbitkan pula medianya sendiri sebagai tandingan. Kantor berita Aneta, yang sudah ada sejak masa kolonial, diterbitkan kembali.
Di masa lalu, Aneta terkenal dengan pola pemberitaan yang merugikan perjuangan kemerdekaan. Karena pengalaman ini, Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), dewan perwakilan republik waktu itu, pernah mengeluarkan keputusan hanya mengakui Antara sebagai satu-satunya kantor berita nasional Indonesia.
Salah satu basis penerbitan pers Belanda adalah Makassar. Dari kota ini, surat kabar-surat kabar pendukung Belanda diedarkan ke daerah Indonesia Timur. Di Maluku kemudian terbit Soeara Rakjat Maloekoe dan Siwa Lima.
Ada pun koran-koran pro Belanda yang pernah terbit di Makassar waktu itu adalah Oost Indonesie Bode (kemudian berganti nama menjadi Makassarse Courant), Negara Baroe (kemudian bernama Indonesia Timoer) dan Noesantara. Koran-koran Belanda lainnya adalah Het Midden (Semarang), De Courant (Bandung), De Lokomotief (Semarang), Het Dagblad voor Soematra (Medan), Java Bode, Het Nieuws van de Dag dan De Nieuwsgiers (Jakarta).
Sebagian surat kabar-surat kabar Belanda tersebut dapat tetap terbit, sampai dilarang oleh pemerintah Indonesia menjelang kampanye menentang penjajahan Belanda atas Irian Jaya (waktu itu disebut Irian Barat) pada 1958.
Terbitnya surat kabar-surat kabar Belanda tersebut, bahkan tindakan-tindakan pengekangan militer Inggris dan Belanda sekali pun, tidak berhasil membendung pers nasional untuk terus menyiarkan berita/tulisan perlawanan terhadap kolonialisme dan menentang siasat Belanda untuk memecah belah bangsa Indonesia.
Baca lanjutannya: Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 5)