Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 3)

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya ( Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa - Bagian 2 ). Untuk mendap...


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa - Bagian 2). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Daulat Rakjat adalah organ resmi Klub Pendidikan Nasional Indonesia. Nama-nama surat kabar dan wartawan serta penulis surat kabar yang tercantum di sini merupakan sebagian dari nama-nama media maupun mereka yang berkecimpung di bidang pers.

Pada 1920-an dan seterusnya, kaum pergerakan yang bergaris keras disebut ‘non-kooperator’ atau ‘golongan sini’. Pertentangan timbul antara mereka dengan golongan yang dinamakan ‘kooperator’ atau ‘golongan sana’ (Belanda dan pro-Belanda). Pada akhirnya, kedua pihak bersama-sama memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dari penjajahan, kendati cara-cara yang mereka tempuh berbeda. 

Penerbitan-penerbitan yang mencerminkan suara kaum ‘non-koperator’ menghadapi pengekangan-pengekangan polisi kolonial. Dan karena kebanyakan dari wartawan atau penulis surat kabar ‘non-kooperator’ tersebut adalah juga para aktivis pergerakan, kebanyakan dari mereka mengalami penahanan bahkan pengasingan. 

Tjipto Mangunkusumo, Sukarno, Iwa Kusumasumantri, Rasuna Said, dan lain-lain, serta nama-nama kurang dikenal waktu itu seperti I.F.M. Salim dan Abdul Karim Ms, termasuk di antara mereka yang menderita hukuman penjara atau pembuangan ke Digul, atau tempat-tempat pengasingan kolonial lainnya.

Tetapi, Kongres Pemuda 28 Oktober 1928, yang mencetuskan Sumpah Pemuda, justru semakin membulatkan tekad kaum pergerakan, termasuk pejuang-pejuang pers. Meluasnya penyebaran ide-ide kemerdekaan melalui media cetak memaksa penjajah untuk melembagakan pengekangannya. 

Pada pertengahan September 1931, Belanda memberlakukan Persbreidel Ordonnantie. Surat kabar-surat kabar pergerakan mulai saat itu menghadapi ranjau pemberangusan oleh penguasa kolonial, dan banyak wartawan serta penulis yang pernah dihukum pemerintah kolonial Belanda karena berita atau pikiran mereka dalam pers.

Wadah persatuan wartawan

Seperti masyarakat pergerakan politik lainnya, para wartawan tidak ketinggalan membentuk perkumpulan sendiri sebagai wadah persatuan dan advokasi pers nasional. Organisasi wartawan Indonesia pertama didirikan bagi kepentingan perjuangan dan profesi adalah Inlandsche Joernalisten Bond (IJB). Dasar dan tujuan IJB yang dibentuk tahun 1924 itu adalah:

“Melalui penyatuan semua wartawan pribumi di Indonesia berperan serta dalam kekuatan perjuangan, demi kepentingan nasional dan mempertahankan wartawan.”

Perintisnya adalah pemimpin redaksi berkala, Sarotomo, yang terbit di kota Surakarta, dan tokoh Sarekat Islam bernama Sumarko Kartodikromo. Sumarko meninggal di Digul pada 1932. 

Empat tahun kemudian, IJB berdiri pula di kota Medan atas prakarsa R.K. Mangunatmodjo, Mohammad Junus, dan lain-lain. Pada 1919, bertempat di Gedung Boedi Oetomo Medan, IJB diubah menjadi Inlandsche & Chinesche Journalisten Bond, dengan ketua Mohammad Joenoes, dan sekretaris Parada Harahap.

Tjipto Mangunkusumo, waktu itu redaktur majalah Panggoegah bersama Ki Hadjar Dewantara (menteri pendidikan 1945), memimpin Indische Journalisten Bond. 

Di Semarang, pada 1931, berdiri Persatoean Kaoem Journalis. Pengurusnya adalah Saerun sebagai ketua, Wigjadisastera (dari kantor berita Het Indonesische Pers Agentschaap, Bogor) sebagai wakil ketua, Parada Harahap (Bintang Timoer, Jakarta) sebagai sekretaris, dan anggota-anggota pengurus lainnya terdiri dari Bakri Suraatmadja, R.M.S. Kusumodirdjo (Darmo Kanda, Surakarta), Sujitno (Sin Tit Po, Surabaya), dan Mohammad Junus (Bahagia, Semarang).
 
Pada akhir Desember 1933, bertepatan dengan rencana penyelenggaraan Kongres Indonesia Raja kedua, yang ternyata dilarang oleh polisi kolonial, di Surakarta sejumlah wartawan Indonesia mengadakan rapat untuk membentuk Persatoean Djoernalis Indonesia (PERDI). 

Sejak itu, hingga masa pendudukan militer Jepang, PERDI sempat mengadakan kongres di Bandung, Jakarta, dan Kaliurang/Yogyakarta. Para tokoh PERDI waktu itu antara lain adalah Sutopo Wonobojo, Sudarjo Tjokrosisworo, M. Tabrani, Sjamsuddin Sutan Makmur, Parada Harahap, Sutomo, Saerun, dan lain-lain. 

Asas perjuangan PERDI adalah: “Menegakkan kedoedoekan pers Indonesia sebagai terompet perjoeangan.”

Para pendiri PERDI menegaskan bahwa wartawan ”mempoenjai kewadjiban soetji terhadap tanah air dan bangsa. Sebagai pembawa pikiran oemoem foengsi wartawan haroes terikat dengan kebangsaannja, bekerdja demi kepentingan bangsa dan persatuan bangsa. Dengan lahirnja PERDI, wartawan Indonesia mengarahkan diri mendjadi pendoekoeng tjita-tjita dan perjoeangan bangsa Indonesia.”

Berdirinya PERDI dengan asas perjuangannya tersebut menunjukkan bahwa wartawan Indonesia tidak mundur terhadap usaha pengekangan oleh pihak penjajah. 

Di antara tokoh-tokoh lain dan anggota PERDI tercatat nama-nama W.R. Supratman (pencipta lagu Indonesia Raya), Mohammad Yamin, A.M. Sipahutar, Sumanang, dan Adam Malik. Sipahutar dan Adam Malik adalah pendiri kantor berita nasional Antara, pada 13 Desember 1937. 

Peranan kantor berita Antara di masa pergerakan waktu itu diwujudkan melalui penyiaran berita-berita menyokong pergerakan nasional mencapai Indonesia merdeka. Karena itu, pihak penjajah tidak jarang melancarkan penggerebekan terhadap kantor-kantor Antara, dan menjebloskan wartawan-wartawannya ke dalam penjara.

Pendudukan militer Jepang

Jepang, sekutu negara-negara Axis pimpinan Jerman dalam Perang Dunia II, melancarkan pendudukan militer atas Indonesia sejak 1942. Pada masa pendudukan Jepang tersebut, dunia pers Indonesia dikendalikan berdasarkan Undang-undang Pemerintah (Osamu Seiri) No. 16 tentang “Pengawasan Badan-Badan Pengumuman dan Penerangan dan Penilikan Pengumuman dan Penerangan.” 

Pada kenyataannya, peraturan militer Jepang tersebut mematikan koran-koran pergerakan, atau mengubahnya dengan nama lain, dan diawasi secara ketat oleh polisi militer Jepang. 

Jepang menerbitkan koran-koran seperti Soeara Asia (eks Soeara Oemoem, Surabaya), Tjahaja (gabungan beberapa koran seperti Sipatahoenan, Kaoem Moeda, dan lain-lain di Bandung), Sinar Matahari (Yogyakarta), Sinar Baru (Semarang), Asia Raja (Jakarta) yang dipimpin Sukardjo Wirjopranoto (menteri negara RI 1945) dan R.M. Winarno. 

Jepang memberangus koran-koran di Jakarta dan menerbitkan koran-koran baru, seperti Pemandangan dan Pembangoen. Kantor berita Antara menjadi Yashima, berikutnya digabung dengan Domei, tetapi kemudian oleh Adam Malik (menteri koordinator perekonomian RI 1963, wakil perdana menteri 1966, menteri luar negeri 1967, ketua MPR/DPR 1977, wakil presiden 1978) diganti menjadi Domei bagian Indonesia. 

Di Medan, terbit koran bernama Kita Sumatra Shimbun, di bawah asuhan Adinegoro. Di Padang, terbit Padang Nippo. Di Palembang, terbit Palembang Shimbun. Dan di kota Tanjung Karang, terbit Lampung Shimbun. Di Ambon, penguasa Jepang menerbitkan Sinar Matahari.

Tentara pendudukan Jepang menjalankan kekuasaannya secara fasis, antara lain dengan membubarkan atau mengubah organisasi-organisasi yang ada, serta menangkap atau membunuh tokoh-tokoh pergerakan yang melawan. 

Di bidang pers, selain koran-koran yang diizinkan Jepang, kaum pergerakan membuat siaran-siaran ilegal. Tetapi, wartawan–wartawan Indonesia yang dicurigai atau dituduh melakukan gerakan bawah tanah langsung ditangkap tentara Jepang atau dibunuh. 

Perlawanan terhadap pendudukan militer Jepang untuk mencapai kemerdekaan Indonesia, baik dengan gerakan terbuka atau pun di bawah tanah, di masa sebelum Proklamasi serta dalam perjuangan mempertahankan Proklamasi, adalah satu mata rantai pergerakan nasional untuk menegakkan Indonesia yang merdeka dan berdaulat. 
Pers nasional sejak Proklamasi

Tepat tanggal 17 Agustus 1945, Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan oleh Sukarno-Hatta dari rumah Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Sejak tiga hari sebelumnya, pihak Sekutu (pasukan Inggris, Amerika, Australia, dan Belanda) telah menyiapkan diri untuk memasuki wilayah Indonesia dengan tujuan melucuti militer Jepang, dan langsung memulihkan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. 

Guna melincinkan jalan bagi kembalinya pemerintah jajahan, Sekutu lebih dulu memerintahkan pasukan Jepang untuk mempertahankan status quo, atau dengan kata lain menolak proklamasi kemerdekaan Indonesia dan berdirinya Republik Indonesia. Akibat keputusan Sekutu tersebut, terjadi bentrokan fisik besar dan kecil antara Jepang dan rakyat Indonesia di berbagai tempat.

Dengan latar belakang ini, tugas wartawan nasional tidak bisa lain adalah ikut berjuang mempertahankan Proklamasi. 

Baca lanjutannya: Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 4)

Related

Indonesia 6368535737839397047

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item