Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 5)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa - Bagian 4). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Pers Republiken mendukung upaya diplomasi internasional atas dasar kemerdekaan penuh, baik menghadapi Persetujuan Linggarjati (15 November 1946) maupun Persetujuan Renville (17 Januari 1948). Apalagi terbukti pihak Belanda telah menginjak-injak persetujuan tersebut dengan melancarkan agresi militer pertamanya pada Juli 1947, dan agresi militer kedua pada Desember 1948.

Selain itu, selama perundingan Indonesia-Belanda berlangsung di Den Haag, pers Republiken secara tegas menolak pembentukan negara-negara kecil yang didukung Belanda, seperti Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947), Negara Madura (1948), Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Djawa Timur (1948) dan lain-lain. 

Dan tatkala Partai Komunis Indonesia memberontak terhadap pemerintahan republik, pers nasional mengutuk pengkhianatan tersebut. Pengalaman dan pengorbanan para pejuang pers sejak Proklamasi, mulai dari perlawanan terhadap pendudukan tentara Sekutu hingga berakhirnya Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada 2 September 1949, yang menghasilkan pengakuan Belanda atas kemerdekaan dan kedaulatan RI, telah meneguhkan perjuangan mereka menentang pelanggaran terhadap prinsip-prinsip nasional, yang melandasi berdirinya Republik Indonesia.

PWI dan SPS didirikan

Pada 9 Februari 1946, sewaktu pasukan Inggris dan Belanda sedang meningkatkan operasi pendaratan dan pendudukan di berbagai daerah republik, serta terus meningkatkan strategi pengekangannya, wartawan-wartawan Republiken mengadakan kongres pertama di Surakarta, untuk membentuk Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). 

Pada pertemuan mendirikan PWI itu, selain wartawan dari daerah republik, juga hadir wartawan-wartawan yang berhasil lolos dari daerah-daerah pendudukan dan dari incaran serdadu Sekutu/Belanda. 

Pada masa perang kemerdekaan sejak deklarasi kemerdekaan sampai saat berlangsungnya perundingan KMB, para tokoh PWI berhasil melangsungkan tiga kali kongres. 

Kongres pertama di Surakarta, 9-10 Februari 1946, menghasilkan pengurus yang diketuai Mr. Sumanang, diperkuat Sudarjo Tjokrosisworo, Sjamsuddin Sutan Makmur, B.M. Diah, Sumantoro, Ronggo Danukusumo, Djawoto dan Harsono Tjokroaminoto. 

Kongres kedua di kota Malang, 23-24 Februari 1947, menetapkan pengurus baru, terdiri dari Usmar Ismail sebagai ketua, dibantu Djamal Ali, Sudarjo Tjokrosisworo, Sumanang, dan lain-lain. Usmar Ismail mengundurkan diri tidak lama kemudian, diganti Sumanang. Sumanang juga kemudian mundur, diganti Djawoto, waktu kepala kantor berita Antara pusat di Yogyakarta. 

Pada kongres ketiga di Yogyakarta, 7-9 Desember 1949, Djawoto terpilih kembali sebagai ketua, dibantu Djamal Ali, Darsjaf Rachman, Mashud, dan lan-lain.

Pada kongres PWI pertama di Surakarta, para wartawan pergerakan sudah memikirkan pentingnya upaya di bidang pengusahaan pers, demi kelangsungan hidup pers sebagai alat perjuangan dan pembangunan bangsa. Mengingat kepentingan inilah, peserta kongres sepakat untuk membentuk panitia berjumlah 10 orang. 

Dibentuknya panitia tersebut mendorong lahirnya Serikat Perusahaan Suratkabar (SPS) di Yogyakarta, pada 8 Juni 1946 (namanya kemudian menjadi Serikat Penerbit Suratkabar). Anggota pengurus SPS pada saat pembentukannya termasuk wartawan-wartawan pergerakan, seperti Sjamsuddin Sutan Makmur, Djamal Ali, Ronggo Danukusumo, dan Sumanang.

Dari liberalisme ke demokrasi terpimpin

Perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB) antara Indonesia dan Belanda di Den Haag menciptakan negara Indonesia yang lain dari yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan konstitusi RIS. 

Undang-undang Dasar RI yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945 hanya berlaku di wilayah republik, yang meliputi sebagian pulau Jawa dan Sumatera, dengan ibu kota Yogyakarta. 

RIS bertentangan dengan prinsip persatuan dan kesatuan bangsa, dan tidak sesuai dengan jiwa Proklamasi. Sebagian rakyat Indonesia menilai RIS adalah siasat kolonial Belanda yang harus ditolak.

Karena itu, segera setelah pengakuan kedaulatan, rakyat menuntut pembubaran RIS yang berjumlah 16 negara bagian, dan kembali ke negara kesatuan RI. 

Mula-mula, negara-negara Jawa Timur dan Madura tumbang dan menggabungkan diri dengan RI, disusul negara-negara lain, sehingga pada April 1950 di luar RI hanya tinggal tiga negara bagian, yakni Negara Sumatera Timur, Negara Indonesia Timur, dan Daerah Istimewa Jakarta. 

Kemudian, daerah Minahasa memisahkan diri dari Indonesia Timur untuk bersatu dengan RI. Hal ini diikuti negara-negara bagian lainnya. Selanjutnya, atas desakan rakyat yang meningkat, Negara Sumatera Timur bubar dan bergabung dengan RI. Tepat 17 Agustus 1950, RIS resmi dihapus, dan hanya ada satu RI.

RI yang diumumkan pada 17 Agustus 1950 tersebut menggunakan Undang-undang Dasar Sementara (UUDS), yang juga lain dari UUD 1945. Menurut UUDS 1950, sistem pemerintah yang dianut adalah sistem parlementer, yang berdasar pada pemikiran demokrasi liberal. 

Dalam RI yang berlandaskan UUDS 1950, presiden dan wakil presiden adalah jabatan konstitusional, sedangkan pemerintah eksekutif berada pada para menteri yang bertanggung jawab kepada parlemen. 

Selama periode antara 1950 dan 1957, tercatat sebanyak enam kali perubahan kabinet, yaitu kabinet Perdana Menteri Muhammad Natsir (September 1950-Maret 1951), kabinet Sukiman (April 1951-Februari 1952), kabinet Wilopo (April 1952-Juni 1953), kabinet Ali Sastroamidjojo I (Juli 1953-Juli 1955), kabinet Burhanuddin Harahap (April 1955-Maret 1956), dan kabinet Ali II (April 1956-Maret 1957). Usia rata-rata keenam kabinet tersebut adalah 13 bulan.

Pada masa itu terjadi banyak pergolakan bersenjata, antara lain pergolakan Darul Islam di bawah pimpinan Kartosuwirjo di Jawa Barat, dan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Pemberontakan Daud Beurueh di Aceh, kemudian pergolakan dewan-dewan militer di beberapa daerah menjurus pada perlawanan bersenjata di Sulawesi (Maret 1957), dan PRRI di Sumatera (Februari 1958). 

Untuk mengatasi kemelut politik dalam negeri itu, pemerintah memberlakukan keadaan darurat perang sejak 14 Maret, dan melaksanakan operasi militer untuk menumpas berbagai aksi pemberontakan tersebut.

Perkembangan politik liberalisme saat itu, dengan sendirinya tercermin pula dalam kehidupan pers nasional. Pada tahun pertama, 1950, surat kabar-surat kabar  menentukan pilihan masing-masing dalam menyikapi pertentangan politik seputar hasil-hasil KMB, dilanjutkan pada tahun-tahun berikutnya dengan pertentangan partai-partai, baik di parlemen maupun dalam kabinet. 

Suasana dan keadaan politik yang liberalistik ini terpantul dalam pola pemberitaan, garis editorial atau tajuk rencana, bentuk karikatur dan isi pojok penerbitan pers. Terutama penerbitan pers masing-masing partai. 

Setelah pengakuan kedaulatan, struktur pers di Indonesia merupakan kelanjutan masa sebelumnya, terdiri dari pers nasional, surat kabar-surat kabar Belanda, dan Cina. Kebebasan dalam menyelenggarakan isi dan penampilan surat kabar mencerminkan kebebasan bagi setiap pihak untuk memasuki bidang pers. 

Tetapi, usaha penerbitan tanpa penggarapan aspek-aspek manajemen dan ekonomi secara saksama, cepat atau lambat, akan mendapat kesulitan. Dan dalam kenyataannya, pada waktu itu, kebanyakan pers nasional berada dalam posisi lemah di bidang pengusahaan, dibanding dengan koran-koran Belanda yang dicetak di percetakan-percetakan milik Belanda yang mutakhir, dan koran-koran milik pengusaha Cina yang didukung kapital kuat. 

Di antara sejumlah kecil pers nasional yang mampu membangun peralatan grafika yang baik tercatat Merdeka, Pedoman, dan Indonesia Raja.

Menurut data tahun 1954, di seluruh Indonesia terdapat 105 surat kabar harian, dengan total oplah 697.000 lembar. Pada 1959, jumlah harian menurun jadi 94, tetapi jumlah total oplah mencapai 1.036.500 lembar. Separuh oplah koran-koran Jakarta juga beredar di luar wilayah ibu kota. 

Pada saat itu, harian yang beroplah di atas 30.000 lembar per terbit tidak banyak. Koran-koran yang melebihi oplah tersebut adalah Harian Rakjat (koran PKI), Pedoman (pro-PSI), Suluh Indonesia (koran PNI) dan Abadi (pro-Masyumi), semuanya terbit di Jakarta. 

Selain empat harian tersebut, di Jakarta tercatat harian Merdeka, Pemandangan, Bintang Timur, Duta Masjarakat, Keng Po, Sin Po, dan majalah-majalah seperti Siasat, Mimbar Indonesia, serta Star Weekly. 

Di Bandung, ada Fikiran Rakjat. Di Semarang, terdapat Daulat Rakjat, Utusan Nasional, Tempo, Tanah Air, dan Suara Merdeka. Di Yogyakarta, selain Kedaulatan Rakjat, juga terbit Harian Hidup. Di Surabaya ada Harian Umum, Suara Rakjat dan Surabaya Post. Di Sumatera, koran-koran yang tergolong beroplah besar adalah Waspada dan Mimbar Umum, keduanya terbit di Medan.

Baca lanjutannya: Sejarah Lengkap Pers Indonesia dari Masa ke Masa (Bagian 6)

Related

Indonesia 6028946394916572893

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item