Urusan WC yang Mengubah Dunia dan Peradaban Manusia


Naviri Magazine - Ribut-ribut sentimen SARA terjadi di Australia pada tahun lalu. Keberisikan itu disebabkan hal sepele: kakus. Kericuhan bermula saat Senator Pauline Hanson mengeluhkan keputusan kantor Pajak Australia yang akan membangun toilet jongkok pada gedung baru di Melbourne.

Kepala Kantor Pajak, Justin Untersteiner, kepada Herald Sun, mengatakan lebih dari 20% karyawan kantor pajak kebanyakan berasal dari Asia, Timur Tengah dan Afrika. Kakus jongkok memang melekat dengan regional itu dan tabu bagi masyarakat Barat, khsusnya Eropa. 

"Kami berkomitmen untuk menjaga tempat kerja yang inklusif dan mendukung semua karyawan kami, apa pun latar belakang mereka," katanya.

Pauline kecewa dengan kebijakan ini. Baginya, dengan memberikan akses kakus jongkok pada imigran, secara tidak langsung membuat kultur Australia akan terkikis. “Jadi sebuah pernyataan adalah jika mereka tidak bisa menggunakan toilet secara kebarat-baratan, bagaimana mereka diharapkan untuk bekerja mengelola sistem pajak kita dan memberikan nasihat kepada warga Australia biasa?”

Pernyataan kontroversial merembet jadi alat untuk menyerang kaum imigran. Dan sialnya, banyak orang Australia mendukung pernyataan Pauline. Mereka mengidentikkan penggunaan kakus jongkok sebagai tindakan primitif, dan hanya pantas dipakai di negara berkembang.

Diskriminasi itu semakin memanas pasca komentar sekretaris perpajakan Australia, Jeff Lapidos, yang menuturkan poster anjuran cara memakai kakus duduk tidak begitu efektif. Kata dia, masih banyak yang berjongkok di kursi kakus dan malah membuat feses berceceran. 

“Ini jadi menyusahakan staf lain yang kemudian datang memakai toilet itu. Banyak yang mengeluh soal ini,” katanya.

Di saat Australia merasa risih dengan kehadiran kakus jongkok, di beberapa negara Asia mereka malah mulai meninggalkan kakus jongkok dan beralih ke kakus duduk, Thailand misalnya. 

Dikutip dari Bangkok Post, Kementerian Kesehatan Thailand sedang gigih mengkampanyekan anjuran berganti dari kakus jongkok ke kakus duduk. Survei tahun lalu menemukan bahwa 86 persen rumah tangga di Thailand menggunakan toilet jongkok, 10 persen penggunaan kakus duduk, dan 3,1 persen memiliki keduanya.

Pemerintah Thailand berencana untuk mendorong angka pengguna kakus duduk jadi 100 persen dalam waktu tiga tahun ke depan. Kampanye itu dimulai dengan pemasangan kakus duduk pada 90 persen fasilitas umum. Alasan kampanye ini karena kakus jongkok ditengarai jadi sebab sendi degeneratif atau osteoarthritis, yang saat ini dialami sekitar 6 juta warga Thailand.

Jika Thailand memakai dalih kesehatan, maka Korea Selatan dan Cina mengganti kakus jongkok dengan alasan pariwisata. Korsel memulainya pada tahun 1988 saat Seoul ditunjuk jadi penyelenggara Olimpiade, kala itu pemerintah mengganti 90 persen fasilitas umum dengan kakus duduk. 

Saat Piala Dunia 2002 digelar, perombakan dilakukan di 9 kota besar lainnya, Daegu, Busan, Icheon, Ulsan, Suwon, Gwangju, Jeonju, dan Jeju. Saat ini penggunaan kakus jongkok di Korsel tidak lebih dari 30 persen.

Di Cina, Kementerian Pariwisata mereka memberikan aturan standarisasi toilet di kawasan wisata, termasuk hotel harus menyediakan kakus duduk. Li Shihong, perwakilan pemerintah Cina, mengakui banyak keluhan dari wisatawan khususnya turis Eropa tentang kakus ini.

Kampanye ini dilakukan selama tiga tahun, bertujuan untuk membangun 33.000 kakus duduk dan merenovasi 24.000 kakus yang sudah ada. Total 1,25 juta yuan ($ 192.000) telah diinvestasikan untuk membangun atau merenovasi 25.000 kakus di kawasan wisata. Li Shihong mengatakan renovasi ini bahkan dilakukan sampai daerah pelosok.

Related

News 6592006548055253781

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item