Kisah Suram di Balik Kesuksesan Amazon, Toko Online Terbesar di Dunia (Bagian 2)

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya ( Kisah Suram di Balik Kesuksesan Amazon, Toko Online Terbesar di Dunia - Bag...


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Suram di Balik Kesuksesan Amazon, Toko Online Terbesar di Dunia - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Berdasarkan dokumen yang diterbitkan The Intercept, pasukan siber Amazon wajib menjunjung tinggi tiga prinsip utama, yakni "Katakan Kebenaran", "Pertahankan Kepercayaan Pelanggan", dan "Rasa Hormat". Ironisnya, segala prinsip tersebut hanya memiliki satu muara: mendorong pasukan siber untuk menggaungkan narasi betapa asyiknya bekerja di Amazon. Dengan kata lain, mereka dibayar untuk berbohong. 

Tatkala ada warganet di Twitter yang berbicara tentang kebusukan Amazon, pasukan siber segera membanjirinya dengan kicauan-kicauan pro-Amazon. Inilah yang terjadi, misalnya, pada Senator Bernie Sanders yang pernah mencuit tentang kenyataan bahwa ada pekerja gudang Amazon yang terpaksa harus kencing di botol karena dilarang ke toilet.

"Anda tidak benar-benar percaya tentang kisah kencing dalam botol, kan?" atau, "pekerjaan ini tidak pernah membuat saya merasa tidak nyaman secara pribadi. Jika Anda memiliki pekerjaan yang membuat Anda tidak nyaman, Anda bisa mengundurkan diri (dan cari pekerjaan lain)." Kira-kira begitulah bunyi serangan-serangan buzzer tersebut.

Aksi penggagalan pembentukan serikat buruh juga dilakukan melalui pemutusan akses pekerja gudang pada Amazon Phone Tool, alat yang disediakan Amazon untuk melihat identitas seluruh karyawannya. 

Selain itu, Amazon pun kini memberlakukan sistem moderasi dalam penggunaan email perusahaan. Ingat, ponsel dan email: dua alat yang dapat membantu penyebaran informasi antar-pekerja tentang pembentukan serikat buruh.

Perlakuan yang buruk Amazon terhadap karyawan gudang terjadi sejak Amazon mengaku sebagai perusahaan teknologi, bukan perusahaan ritel.

Perusahaan Teknologi, Titik

Pada 30 Juli 2005, Amazon merayakan ulang tahunnya yang ke-10 secara meriah di Benaroya Hall, Seattle, Amerika Serikat. Kala itu, pesohor Hollywood seperti James Patterson, Jim Collins, Lawrence Kasdan, Bob Dylan, dan Norah Jones ikut memeriahkan acara yang disiarkan melalui laman khusus di Amazon.com.

Namun, di tengah kemeriahan itu, Amazon menyimpan rasa kecewa. Musababnya, sebagaimana dicatat Brad Stone dalam The Everything Store, meskipun Amazon telah sah menjadi salah satu perusahaan tersukses di dunia, tetap saja internet dikuasai Google. 

"Ini zamannya Google, bukan Amazon," tulis Stone. Ini, tambah Stone, "era para ilmuwan komputer bergelar PhD, bukan era mereka yang memiliki gelar MBA dari Harvard atau hedge-fund dari Wall Street (alias Jeff Bezos)."

Google, melalui tangan dingin Larry Page dan Sergey Brin, sukses menulis ulang sejarah internet. Di sisi lain, Amazon hanya titik kecil dalam dunia internet, karena "kenyataan bahwa Amazon adalah perusahaan ritel, bukan teknologi."

Jeff Bezos, putra tiri imigran Kuba yang bisnis olah kayunya disita Fidel Castro pasca-Revolusi 1959, sulit menerima kenyataan itu. Berulang kali ia katakan bahwa "Amazon adalah perusahaan teknologi yang memelopori e-commerce, bukan perusahaan ritel". 

Sayang, hingga ulang tahunnya yang ke-10, Amazon memang lebih layak dicap perusahaan ritel, bukan sebaliknya. Kala itu, praktis tidak ada software-as-service yang dimiliki Amazon, sehingga segala keuntungan yang diperoleh perusahaan hanya bersumber dari laba jualan barang. Pengguna yang hendak mencari dan berbelanja bahkan pertama-tama melakukan pencarian melalui Google sebelum ke Amazon.

Amazon berbenah demi mendapat pengakuan sebagai perusahaan teknologi. Pertama-tama, Amazon mengangkat veteran teknisi user-interface (UI) asal Apple bernama Larry Tesler, sebagai "Vice President of Shopping Experience". Lalu, Bezos merekrut profesor machine-learning asal Stanford University bernama Andreas Wigend dan mendaulatnya sebagai "chief scientist." 

Terakhir, perusahaan ritel ini membajak profesor ilmu komputer asal University of Washington bernama Udi Manber. Amazon menjadikan penulis buku berjudul Introduction to Algorithms: A Creative Approach (1989) ini tangan kanan Bezos.

Melalui tangan para veteran teknologi ini, Amazon mulai bertarung dengan Google (dan perusahaan Silicon Valley lainnya) dalam memperebutkan anak muda lulusan STEM dari Stanford, MIT, Harvard, dan kampus Ivy League lainnya. 

Tak tanggung-tanggung, meskipun berkantor pusat di Seattle, Washington, Amazon membentuk divisi khusus di jantung Silicon Valley, California, demi menggaet talenta berkualitas. 

Akhirnya, tak lama usai perayaan ulang tahun ke-10, Amazon merilis sistem pencarian barang plus ad-buying system bernama Urubamba (diambil dari nama sungai di Peru agar sinkron dengan "Amazon", sungai yang mengalir di Brazil). Lalu, Amazon pun merilis alat bernama Look Inside the Book—teknologi yang membuat segala teks dalam buku dapat dicari melalui kolom khusus pada situs Amazon.

Sejak kemunculan Look Inside the Book, majalah Wired mendaulat Bezos sebagai "sosok penerus visi Alexandria"—perpustakaan Mesir Kuno yang mahsyur itu.

Berkat Larry Tesler, Andreas Wigend, dan Udi Manber, Amazon akhirnya sukses mengukir prestasi di dunia internetnya sendiri melalui Kindle, Amazon Echo, Alexa, dan yang paling penting, Amazon Web Service (AWS). 

Perlahan bisnis teknologi Amazon mencuat, meskipun jualan barang tetap menjadi segmen yang paling moncer. Pada 2020, misalnya, selain memperoleh pendapatan senilai USD 197,35 miliar dari berjualan barang, Amazon meraup pemasukan senilai USD 92,03 miliar dari produk teknologi atau software-as-service.

Amazon, yang mendaku sebagai perusahaan teknologi (dan mulai sukses dengan teknologi yang mereka jual), akhirnya menciptakan ketimpangan upah yang sangat besar. Para pekerja teknologi, misalnya teknisi software, rata-rata digaji USD 117.372 (sekitar Rp1,7 miliar) per tahun atau USD 9.781 per bulan atau USD 326 per hari atau USD 36,2 per jam (dengan asumsi bekerja selama 9 jam per hari).

Bandingkan dengan buruh-buruh gudang Amazon yang hanya diberi upah USD 12 per jam—dengan kemungkinan tertular COVID-19 dan tanpa asuransi kesehatan.

Related

Business 7862621303388663518

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item