Hasil Penelitian: 30 Tahun Lagi, Kota Pekalongan Akan Tenggelam di Laut


Naviri Magazine - Rob dan banjir masih menghantui wilayah Kota Pekalongan. Bahkan diprediksi Kota Batik bakal tenggelam dalam 30 tahun yang akan datang. Pasalnya, tiap tahun wilayah ini terjadi penurunan tanah mencapai 10 sentimeter hingga 17 sentimeter. Tak heran, jika kini banjir dan rob hampir merata di seluruh wilayah Kota Pekalongan. 

Salah satu titik yang saring dilanda banjir adalah wilayah belakang Rutan Kelas 2A Pekalongan. Banjir di wilayah Bugisan, Kelurahan Panjang Wetan itu bisa terjadi kapan saja. Setiap hujan deras, lokasi ini tidak pernah absen dari banjir. 

Dekan Fakultas Perikanan Universitas Pekalongan (Unikal) Hadi Pranggono menilai, banjir di wilayah Kota Batik tidak mudah diatasi. Perlu kesadaran masyarakat dan kebijakan yang tepat dari pemerintah.  

“Saat ini, karena musimnya hujan, banjir terjadi di mana-mana. Rob juga terjadi di sejumlah kawasan,” ujar Hadi Pranggono. 

Menurut dia, tanggul penahan rob sepanjang 7,2 kilometer di utara Kota Pekalongan hanya mampu menanggulangi air laut pasang di sekitar tanggul. Sedangkan di wilayah yang tidak ada tanggulnya, masih terkena banjir rob. Seperti di kawasan Slamaran. Dahulu daerah tersebut pernah tidak terkena rob. Namun sekarang langganan rob. 

Selain disebabkan semakin tinggi muka air laut, rob juga akibat penurunan muka tanah. Ia menceritakan, berdasarkan penelitian Dr Heri Andreas, pakar geodesi dari Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung (ITB), penurunan muka tanah di Kota Batik sangat cepat. Tiap tahun rata-rata penurunannya mencapai 10 sentimeter. Bahkan ada yang menyentuh angka 17 sentimeter. 

Penelitian itu dilakukan dengan pengambilan data dalam dua periode di Kota dan Kabupaten Pekalongan. Pada 2007 sampai 2011 melalui data satelit, dan 2013 dengan kombinasi pengukuran alat global positioning system (GPS). 

“Menurut penelitian itu, 30 tahun lagi Kota Pekalongan akan hilang, tenggelam jadi laut. Semoga prediksi dari penelitian itu tidak tepat,” tandasnya. 

Penyediaan Air Minum dan Sanitasi Berbasis Masyarakat (Pamsimas) juga dianggap sebagai penyebab. Muka tanah semakin cepat amblas karena pengambilan air bawah tahah berskala besar. Program dari pemerintah itu tersebar di setiap kecamatan, memenuhi sumber air bersih warga. 

Menanggapi persoalan tersebut, Pemerintah Kota Pekalongan sudah membuat regulasi. Menghentikan pembuatan Pamsimas baru, dan hanya menggunakan sarana yang telah ada. 

“Amblesan permukaan tanah banyak disebabkan oleh air bawah tanah yang disedot. Terutama oleh Pamsimas. Beruntung sudah ada regulasi, memperketat pengambilan air tanah. Terutama untuk hotel dan pabrik es dalam pembuatan sumur artesis,” ucapnya. 

Intrusi air laut membuat sumur dan sumber milik air warga payau. Sehingga tidak dapat dikonsumsi, dan tidak bisa dimanfaatkan untuk keperluan rumah tangga lain. Walaupun kadar garamnya dianggap masih rendah, mencapai 10 per mil. Semakin jauh dengan laut, kadarnya semakin rendah, sementara kadar garam di laut berkisar 32 per mil. 

Warga pesisir terus meninggikan rumah dan halamannya. Mereka mendatangkan tanah dari pegunungan untuk menguruk rumah. Ketinggiannya sudah mencapai 2 meter. Bagi warga yang tidak mampu, tentu rumahnya akan tenggelam. Imbas penurunan muka tanah, naiknya air laut, dan tetangga yang meninggikan rumahnya. 

Beberapa ruas jalan juga terus ditinggikan, baik di perkampungan ataupun jalan di permukiman. Keadaan itu memaksa warga ikut meninggikan rumahnya. Jika tidak, rumah akan tenggelam. 

“Meninggikan jalan itu juga bukan solusi. Perbaikan terhadap drainase secara total bisa menjadi solusi. Namun itu tidak menjamin. Kondisi pesisir sekarang lebih tinggi daripada di pusat kota,” tuturnya. 

Menurut dia, pemerintah saat ini hanya melakukan perbaikan drainase secara parsial. Satu titik dilakukan pengerukan, sementara titik lain tidak mendapatkan penanganan. Saat titik lain dikeruk, titik yang awal dikeruk sudah dangkal kembali. 

Ia menjelaskan, daerah pesisir semakin tinggi karena adanya pengurukan. Baik dari inisiatif warga, maupun dari pemerintah. Kondisi itu membuat Kota Pekalongan seperti mangkuk. Cekung di tengah. Drainase dan sungai tidak mengalir ke laut saat hujan deras. Air tertahan di tengah kota, sementara air laut malah mengalir ke selatan. 

“Seperti Kali Loji, pas air laut pasang, sungainya mengalir ke selatan,” katanya. 

Pada 1990-an, Pemkot Pekalongan membuat sodetan di Kalibanger untuk mengatasi banjir. Solusi tersebut berhasil, namun tidak dalam jangka waktu yang lama. Hanya beberapa tahun, banjir kembali terjadi. 

Sampai saat ini, banjir rob juga mempengaruhi hubungan antartetangga. Dahulu warga semangat iuran melakukan peninggian. Lama-kelamaan mereka jenuh, harus iuran terus-menerus. Alhasil warga saling mengorbankan, yang berkecukupan melakukan pengurukan secara mandiri. Warga lain yang berekonomi rendah menjadi korban. Air tertahan di rumahnya, karena tetangga sudah meninggikan rumah dan halamannya. 

Semua sektor terkena dampak rob tersebut. Masyarakat tidak bisa leluasa menjalankan roda perekonomian. Kendaraan warga juga mudah berkarat, hingga jalan mudah rusak saking seringnya terendam rob. 

“Banjir hampir merata di seluruh Kota Pekalongan,” ucapnya. 

Menurutnya, perlu kesadaran masyarakat untuk lebih peduli terhadap lingkungan. Hal sepele yang selalu diremehkan adalah membuang sampah. Warga senang membuang sampah dan limbah di aliran sungai. Mereka sedang merasakan akibat buang sampah di sungai, tapi masih terus melakukan rutinitas tersebut.  

“Masyarakat jangan merasa dimanjakan dengan alam yang gemah ripah loh jinawi, jadinya lupa dan sembarangan dalam membuang sampah,” tandasnya. 

Related

News 819703799441779471

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item