Donald Rumsfeld, Penjahat Perang Amerika yang Mati Tanpa Pernah Diadili (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Donald Rumsfeld, Penjahat Perang Amerika yang Mati Tanpa Pernah Diadili - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Laporan Pentagon berlawanan dengan pernyataan Rumsfeld yang pada 2002 pernah bilang bahwa badan intelijen CIA punya bukti tentang keberadaan Al-Qaeda di Irak. Selain itu, Rumsfeld juga pernah berbohong pada 21 September 2002 bahwa dia telah memperingatkan Saddam Husein tentang penggunaan senjata kimia pada pertemuan 1983, ketika diutus Ronald Reagan sebagai perwakilan AS di Timur Tengah. 

Rekaman kabel AS tentang pertemuan tersebut membuktikan bahwa Rumsfeld tak pernah mengatakan itu. 

Rumsfeld juga disorot karena andilnya dalam penganiayaan yang dilakukan anggota militer AS terhadap tawanan perang di Penjara Abu Ghraib di Baghdad pada penghujung 2003. 

Menurut laporan dari Komite Layanan Militer Senat AS yang dirilis 2008, Rumsfeld juga pernah memberikan izin penggunaan teknik-teknik interogasi agresif di Kamp Detensi Teluk Guantanamo, Kuba, pada Desember 2002. Metode ini di antaranya menelanjangi tawanan, mengerahkan anjing penjaga untuk mengintimidasi, dan memaksa mereka berdiri selama berjam-jam. 

“Saya berdiri selama 8-10 jam per hari. Kenapa berdiri [untuk para tahanan] harus dibatasi selama 4 jam?” kata Rumsfeld tentang metode penyiksaan. 

Sutradara Errol Morris berusaha melihat sejauh mana Rumsfeld menjustifikasi aksi militernya, dalam dokumenter berjudul The Unknown Known. Film tentang karier politik Rumsfeld ini berisi wawancara dan pembacaan ratusan memo 'serpihan salju'. Salah satu momen menarik dalam film ini adalah ketika Rumsfeld membacakan catatan-catatan tentang otorisasi penyiksaan tawanan penjara. 

Di tengah pembacaan, ia terkejut, “Astaga—banyak juga, ya.” Otorisasi tentang metode penyiksaan tersebut akhirnya dicabut enam pekan kemudian. Akan tetapi, menurut laporan Komite Layanan Militer, izin dari Rumsfeld sudah terlanjur diketahui luas di lingkup militer AS dan “memengaruhi serta berkontribusi pada penggunaan teknik-teknik kejam… di Afganistan dan Irak.” 

Rumsfeld sempat mengajukan pengunduran diri dua kali kepada Presiden Bush, tapi selalu ditolak. Bush baru melepasnya pada Desember 2006. Kala itu, Republikan sudah kehilangan suara di Kongres, baik di tingkat DPR dan Senat, seiring kritisisme terhadap Perang Irak yang semakin menguat. 

Sejumlah pensiunan jenderal yang terlibat dalam invasi awal di Afganistan dan Irak lebih vokal mengkritik Rumsfeld dan menyerukannya untuk mundur. Salah satu eks-jenderal, John Batiste, menuding Rumsfeld bersikap arogan. 

Sebelumnya, pada satu sesi wawancara dengan televisi PBS, eks-Letjen Paul Van Riper pernah menyebut kesamaan Rumsfeld dengan Menhan AS era Perang Vietnam, Robert McNamara, adalah sama-sama “bebal dalam operasi militer, dalam strategi dan kebijakan.” 

Akibatnya mereka jadi suka memandang hina orang lain dan bersikap arogan, tak mau menerima pendapat berbeda. Melansir New York Times, para eks-jenderal menentang Rumsfeld karena dia berupaya membangun kontrol sipil lebih kuat di Pentagon, di samping terkadang terlalu jauh terlbat dalam perencanaan perang—melebihi menteri-menteri pertahanan sebelumnya. 

Para eks-jenderal juga tampaknya prihatin terhadap korban jiwa militer AS di tengah ketidakpastian sampai kapan perang berkecamuk. Saking jengahnya lingkaran Pentagon, sampai ada guyonan begini: apabila Rumsfeld diculik oleh teroris ketika tengah rapat bersama petinggi militer di dalam ruangan, tak satu pun jenderal mau bergerak untuk menyelamatkannya. 

Tak Menyesal Meski Korban Berjatuhan 

Invasi ke Irak menimbulkan kerugian sampai 800 miliar dolar AS. Tapi sebanyak apa pun uang, itu tetap saja tidak sepadan dengan jumlah korban jiwa yang melayang: 4.400 dari militer AS dan ratusan ribu warga Irak. 

Selain itu, dampaknya pun global, demikian disampaikan Tallha Abdulrazaq, peneliti kajian strategi dan keamanan Timur Tengah di University of Exeter, Inggris di Al Jazeera. 

Demokratisasi yang dicita-citakan AS di Irak pasca lengsernya Saddam Hussein tidak terwujud. Malah ideologi ekstrem yang muncul: mulai dari gerakan Negara Islam (ISIS) sampai grup-grup militan yang berinduk pada Islamic Republic of Iran’s Revolutionary Guard Corps (IRGC). 

Lebih jauh lagi, kata Abdulrazaq, invasi AS ke Irak pada akhirnya ikut mendorong masifnya gelombang pengungsi dari Timur Tengah yang dalam satu-dua dekade ini bikin Eropa kewalahan, dan pada waktu yang sama menghidupkan kembali politik sayap kanan di benua biru. 

Lalu, dengan segala akibat yang ditimbulkan, pernahkah Rumsfeld menyesali keputusan-keputusannya? 

Dalam wawancara dengan Steve Inskeep dari radio NPR dan Diana Sawyer dari ABC News, Rumsfeld memandang Perang Irak sepadan dengan usaha yang dikeluarkan, dan tak sekalipun mengucap kata sesal dalam peran-sertanya di Afganistan dan Irak. Meskipun demikian, kepada Sawyer, Rumsfeld mengakui betapa insiden di Abu Ghraib menjadi “noda” bagi AS. 

Dalam memoar Known and Unknown (2011), Rumsfeld bersikukuh bahwa, “Membersihkan wilayah [Irak dan Timur Tengah] dari rezim brutal Saddam sudah menciptakan dunia yang lebih stabil dan aman.” 

Sementara dalam cuplikan The Unknown Known (2014), ketika ditanya apakah invasi ke Irak seharusnya tidak terjadi karena tidak ditemukannya senjata pemusnah massal di sana, Rumsfeld merespons, “Saya kira waktu akan menjawabnya.” 

Dokumenter The Unknown Known (2014) juga tidak menimbulkan mea culpa—momen penyesalan atau permintaan maaf, sebagaimana diutarakan Menteri Pertahanan era Kennedy dan Lyndon (1961-68), Robert McNamara, terkait Perang Vietnam. 

Ungkapan penyesalan itu pernah McNamara sampaikan dalam film dokumenter tentangnya yang dibuat Morris pada 2003, The Fog of War. Ringkasnya, Rumsfeld memang tak pernah menyesali perbuatannya. Yang paling menyedihkan dari itu semua: ia tak sempat diadili sebagai penjahat perang di Den Haag, meski kasus penyiksaan di Abu Ghraib sudah diajukan ke Pengadilan Kejahatan Internasional. 

Beberapa hari setelah meninggal, muncul berbagai obituari untuk Rumsfeld dari media arus utama AS, yang berusaha mencitrakan perjalanan hidupnya secara berimbang. Washington Post menyebutnya sebagai figur “berpengaruh tapi kontroversial”. New York Times memujinya sebagai seorang “pejuang garang” yang mau melawan musuh-musuh di kabinet dan ortodoksi militer. 

Jon Allsop di Columbia Journalism Review mengatakan “obituari figur-figur politik sering bersifat menjilat”, demikian pula tulisan-tulisan tentang Rumsfeld, karena terkait dengan penghormatan media AS terhadap orang-orang besar dan dorongan kultural untuk tidak menjelek-jelekkan mereka yang sudah meninggal. 

Di balik itu semua, Allsop menekankan bahwa konsekuensi dari perang-perang yang disokong Rumsfeld dapat ditemui dalam konten-konten berita hari ini. Maka kematiannya perlu dijadikan pengingat akan kebijakan-kebijakan buruk yang menimbulkan penderitaan bagi rakyat Irak dan Afganistan sampai sekarang.

Related

International 4247912014496989108

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item