Kisah Leonardo Fibonacci dan Sejarah Lahirnya Angka di Dunia


Naviri Magazine - Di dunia yang kita tinggali, ada sesuatu yang mungkin tampak tidak penting tapi selalu ada di setiap sisi kehidupan. Yaitu angka. Bisakah manusia menjalani kehidupan dengan terlepas sama sekali dari angka? Kemungkinan besar tidak, karena angka-angka selalu ada dan mengikuti ke mana pun atau di mana pun kita berada.

Saat bangun tidur, kita melihat jam, dan terlihat angka. Saat berangkat sekolah atau pergi ke tempat kerja, kita mengendarai motor atau mobil sambil sesekali melihat speedometer, dan terlihat angka. 

Di sekolah, ada sistem nilai, dan menggunakan angka. Di tempat kerja ada gaji, yang dihitung menggunakan angka. Tinggi dan berat badan kita dihitung memakai angka. Kapan kita lahir ditulis menggunakan angka. Bahkan kelak, ketika mati, usia kita pun ditulis menggunakan angka. 

Selama bertahun-tahun, Keith Devlin, seorang ahli matematika, pernah bertanya-tanya, “Bagaimana bisa kita, sebagai sebuah spesies dan masyarakat, menjadi amat akrab dan bergantung pada angka?” 

Pertanyaan Devlin itu berujung pada kegetolannya menelusuri jejak sistem angka yang secara universal digunakan saat ini–sistem angka India-Arab. Awalnya sistem ini berkembang di wilayah yang sekarang dikenal sebagai India. Bangsa Arab kemudian mengadopsinya. Pada abad ke-12 sistem angka India-Arab masuk ke Eropa lewat karya ilmuwan Muhammad ibn Musa al-Khwarizmi.

Namun, dalam The Man of Numbers: Fibonacci's Arithmetic Revolution, Devlin menjelaskan pada abad ke-13 hanya segelintir orang Eropa yang tahu dan mengerti sistem angka tersebut. Mereka terutama adalah kalangan akademisi yang berkecimpung di bidang matematika. Sementara itu dalam kehidupan sehari-hari, misalnya dalam perdagangan, sistem angka India-Arab hampir tidak dikenal.

“Pedagang mencatat data numerik mereka menggunakan sistem angka Romawi dan melakukan perhitungan dengan prosedur jari yang cukup rumit atau dengan sempoa mekanis,” ujar Devlin yang saat ini menjadi direktur lembaga penelitian H-Star Insitute di Stanford University.

Pola tersebut berangsur-angsur berubah setelah seorang anak perwakilan resmi pedagang Republik Pisa (saat ini masuk dalam wilayah Italia) di Afrika bagian utara menerbitkan sebuah buku berjudul Liber Abaci. Anak tersebut tidak lain adalah Leonardo Fibonacci.

Laki-laki yang dikenal juga dengan nama Leonardo da Pisa (Leonardo dari Pisa) itu lahir pada 1170 dan diperkirakan meninggal setelah 1240. Matematikawan sekaligus sejarawan sains Italia Baldassarre Boncompagni, dalam “Della Vita e delle Opere di Leonardo Pisano, matematico del secolo decimate”, menjelaskan nama Fibonacci adalah singkatan dari 'Filliorum Bonacci' atau mungkin 'Fillius Bonacci' yang dapat diartikan sebagai 'anak dari keluarga Bonacci'.

R. B. McClenon, dalam “Leonardo of Pisa and his Liber Quadratorum”, mengisahkan pada akhir abad ke-12 Fibonacci pergi ke Afrika bagian utara guna menemani ayahnya. Di sana dia mengunjungi pasar besar di Mesir dan Asia Minor, pergi ke Suriah dan kemudian kembali lagi ke Konstantinopel dan Yunani.

Ia tidak puas jika hanya melirik ke pemandangan aneh dan baru yang menemuinya. Di sana dia juga mempelajari dengan seksama adat-istiadat setempat, dan terutama mencari petunjuk dalam sistem perhitungan yang jamak digunakan oleh pedagang setempat yang notabene bangsa Arab. 

Saat berada di Bugia (sekarang masuk dalam wilayah Aljazair) ayahnya juga mendorong Fibonacci untuk menerima pengajaran di sekolah akuntansi.

“Dia mengenali keunggulan sistem angka India-Arab atas sistem angka Romawi yang digunakan di Barat, dan karena itu memutuskan untuk mempelajari sistem angka India-Arab secara menyeluruh dan bertekad menulis sebuah buku yang menjelaskan kepada orang Italia tentang penggunaan dan aplikasinya,” ungkap McClenon.

Tekad itu terwujud. Pada 1202, Fibonacci menerbitkan buku Liber Abaci. “Sembilan angka India antara lain: 9 8 7 6 5 4 3 2 1. Dengan sembilan angka tersebut dan dengan tanda 0, yang orang-orang Arab menamakannya Zephir (asal-usul kata Zero; nol) untuk setiap angka yang ditulis seperti itu, sebagaimana akan dijabarkan di bawah ini,” sebut Fibonacci dalam paragraf pembuka Liber Abaci.

Sejarawan spesialis kajian Eropa Abad Pertengahan, Frances Carney Gies, membeberkan tujuh bab pertama Liber Abaci membahas notasi serta menjelaskan prinsip nilai tempat. Posisi suatu angka menentukan apakah itu satuan, puluhan, ratusan, dan seterusnya. Fibonacci juga menunjukkan penggunaan angka dalam operasi aritmetika.

Dalam buku itu Fibonacci mengenalkan sistem angka India-Arab dengan lebih membumi. Dia menerapkan penggunaannya untuk masalah praktis seperti penghitungan marjin keuntungan, barter, perubahan uang, konversi bobot dan ukuran, kemitraan, dan bunga. 

Karena itu, karya Leonardo ini pun kemudian menjadi pondasi penulisan buku-buku dasar akuntansi, perbankan, asuransi dan pembukuan ganda di Pisa abad ke-13.

Namun Devlin mengamati edisi pertama Liber Abaci adalah buku padat dan rinci. Akibatnya, buku tersebut sulit dipahami orang rata-rata. Akhirnya, Leonardo merilis versi sederhana dari buku tersebut untuk menjangkau lebih banyak kalangan pedagang di Pisa.

"Selanjutnya, beberapa dekade setelah Liber Abaci muncul, ada 1.000 orang atau lebih yang berbeda, yang menulis buku teks aritmetika praktis," sebut Devlin kepada NPR, "Orang biasa yang ingin mendirikan bisnis, dan tidak memiliki banyak uang untuk membayar orang untuk melakukan pembukuannya, pun dapat melakukannya sendiri."

Aritmatika dasar dengan sistem angka India-Arab mungkin tampak sederhana hari ini, tetapi Devlin mengatakan bahwa perkenalannya ke dunia sebanding dengan penemuan komputer.

"[Fibonacci] adalah Steve Jobs atau Bill Gates. Ini adalah revolusi komputer yang kita jalani di tahun 1980an, dan kesejajarannya sebenarnya luar biasa," kata Devlin.

Related

Science 8695342729165466308

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item