Memahami Hak-hak Konsumen Internet di Indonesia


Naviri Magazine - Internet telah menjadi kebutuhan sehari-hari sebagian masyarakat Indonesia, dan ada beberapa provider yang menyediakan layanan internet. Dengan adanya pilihan tersebut, orang-orang pun bisa memilih provider mana yang ingin digunakan, dengan beberapa pertimbangan tertentu. Salah satu pertimbangannya tentu karena mengharapkan jaringan internet yang stabil, dan minim gangguan.

Tetapi, harapan kadang tidak seindah kenyataan. Tanpa ada pemberitahuan, tiba-tiba koneksi internet jadi lemot, muncul gangguan tertentu yang menjengkelkan, dan lain-lain. 

Untuk kejadian semacam itu, konsumen pun biasanya menghubungi provider yang digunakan, untuk melakukan komplain sekaligus mempertanyakan koneksi internet yang bermasalah. Kadang hal semacam itu cepat beres, kadang pula lambat selesai, diiringi aneka macam alasan.

Apapun alasannya, terputusnya koneksi internet jelas merugikan konsumen. Konsumen, khususnya pelanggan internet di Indonesia, dilindungi payung hukum. Pertama, Undang-Undang (UU) Nomor 8 tahun 1999 tentang perlindungan konsumen. Kedua, Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang telekomunikasi.

Pada UU perlindungan konsumen, secara umum mengatur kaidah bahwa tanpa memandang jenis barang/jasa yang dibeli/dilanggan, konsumen dilindungi Pasal 4 huruf (b) yang berbunyi “hak untuk memilih barang dan/atau jasa serta mendapatkan barang dan/atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.” 

Artinya, pelanggan atau konsumen wajib diberi produk/jasa yang sesuai dengan apa yang telah dibayar kepada perusahaan penyedia. Saat koneksi terputus, dalam konteks berlangganan internet, maka sama saja ada ketidaksesuaian antara yang dibeli dan didapat. 

Apalagi layanan internet termasuk TV berbayar yang disediakan provider umumnya memakai tarif paket per bulan yang besarannya sudah ditentukan, dan waktu pembayaran dengan jatuh tempo.

Koneksi Internet Jelek, Konsumen Berhak Menuntut Provider

Pada permasalahan ketidaksesuaian semacam itu, dalam UU perlindungan konsumen, pada pasal 7 huruf (f) dan (g) disebutkan bahwa perusahaan penyedia barang/jasa “memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan. Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.”

Pasal 23 UU perlindungan konsumen secara tegas mengatur bila pelaku usaha yang menolak dan/atau tidak memberi tanggapan dan/atau tidak memenuhi ganti rugi atas tuntutan konsumen, maka dapat digugat melalui badan penyelesaian sengketa konsumen atau mengajukan ke badan peradilan.

Pada UU telekomunikasi, sebagai payung hukum khusus yang mengatur telekomunikasi, juga diatur hal yang tak jauh berbeda. Pada pasal 15 ayat 1 UU No 36 tahun 1999, mempertegas soal ganti rugi yang disebabkan oleh kelalaian penyedia jasa. 

Pada ayat lanjutan pasal itu, ganti rugi bisa tidak dikeluarkan saat perusahaan penyedia jasa bisa membuktikan bahwa mereka bukan penyebab kerugian yang dialami pelanggan. Penyelesaian ganti rugi dapat dilaksanakan melalui proses pengadilan atau di luar pengadilan (mediasi) seperti diatur dalam PP No 52 tahun 2000 tentang penyelenggaraan telekomunikasi.

Sularsi, Koordinator Bidang Pengaduan dan Hukum Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), mengungkapkan bahwa sebelum berbicara soal ganti rugi, pada suatu kasus terganggunya layanan, seperti koneksi internet, perusahaan penyedia pertama-tama harus segera menginformasikan permasalahan yang terjadi pada pelanggannya.

“Wajib bagi pelaku usaha adalah menginformasikan pada pelanggannya. Permasalahan teknisnya apa? Dan akan berapa lama perbaikan dilakukan. Itu adalah kewajiban yang harus diberikan, dan haknya konsumen mendapatkan kejelasan informasi,” jelas Sularsi.

Sularsi memberi contoh kasus terputusnya koneksi internet Smartfren pada 2013. Jaringan utama internet Smartfren submarine putus antara Bangka-Batam, terkena jangkar kapal. Dampaknya, layanan internet hanya bisa mencapai 60 persen saja.

Merujuk kasus Smartfren, Sularsi memberi contoh bagaimana kurang pekanya perusahaan memberikan informasi kepastian pada pelanggannya. “Ingat kasus Smartfren yang waktu itu blankspot karena jangkar, mereka baru satu minggu (kemudian) melakukan konferensi pers. Harusnya pada saat terjadi, kasih informasi agar konsumen tidak kebingungan,” kata Sularsi. 

Persoalan kurangnya informasi yang diberikan pihak perusahaan penyedia jasa hanya sejumput masalah dari hak konsumen yang terabaikan. Belum lagi soal hak pengguna terhadap barang/jasa tak sesuai dari yang telah dibelinya. Konsumen memang bisa meminta ganti rugi, termasuk melalui pengadilan, tapi jadi penyelesaian yang panjang. Ihwal semacam ini tak perlu terjadi bila penyedia jasa/barang tak mengabaikan hak-hak konsumen. 

Namun, pada dasarnya konsumen punya hak untuk menuntut pihak penyedia jasa bila merasa dirugikan.

Related

Internet 6187340514218627969

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item