Menurut Ilmuwan, Seratus Tahun Lagi Dunia Menuju Kiamat (Bagian 1)


Naviri Magazine - Sejak kecil kita diberitahu guru-guru di sekolah, bahwa kehidupan manusia kelak akan berakhir ketika kiamat datang. Kiamat digambarkan sebagai hari kehancuran, ketika air laut meluap dan membanjiri daratan, sementara tanah bumi retak, bersama gunung-gunung yang meletus, langit menurunkan hujan asam, dan umat manusia pontang-panting kebingungan.

Gambaran mengerikan kiamat menandai akhir kehidupan dunia yang dikenal manusia, dan kehidupan manusia pun berakhir setelah kiamat terjadi, karena mereka semua akan mati. Yang agak mengkhawatirkan, gambaran mengerikan semacam itu mulai menunjukkan tanda-tandanya saat ini. Bahwa bumi yang kita tinggali sekarang, sedang menuju masa-masa kehancuran yang bisa jadi merupakan kiamat.

Stephen Hawking, ilmuwan terkemuka abad ini, juga menyatakan bahwa kiamat akan terjadi tak lama lagi. Ia pernah memprediksi bahwa hancurnya kehidupan manusia akan terjadi dalam 10.000 tahun lagi. Namun, itu berubah menjadi hanya 1.000 tahun ke depan. Baru-baru ini ia meralat lebih cepat, kepunahan akan terjadi dalam waktu 100 tahun lagi. 

Ahli fisika teoritis kelahiran Inggris tersebut hadir dalam film dokumenter yang dirilis BBC dengan tajuk “Ekspedisi Bumi Baru”. Ia makin pesimistis soal kondisi bumi yang makin disesaki beragam masalah, mulai dari pemanasan global, ancaman tabrakan dengan asteroid, penyakit endemik, hingga pertumbuhan populasi manusia yang tak normal. Bumi yang menjadi rumah manusia sejak ribuan tahun ini sedang dalam kondisi yang genting. 

Hawking sesungguhnya pernah menyatakan keluh kesah serupa pada awal Desember 2016. Kepada The Guardian, ia mengirimkan sebuah artikel berjudul “Ini adalah saat yang paling berbahaya bagi planet kita”. 

“Sekarang, lebih dari kapan pun, dalam rentangan sejarah manusia, spesies kita perlu mempererat persatuan dan kerja sama. Kita sedang menghadapi tantangan lingkungan yang tak biasa, meliputi perubahan iklim, produksi pangan, kelebihan populasi, penipisan jumlah spesies (selain manusia), penyakit epidemik, hingga pengasaman samudera,” tulisnya. 

“Bersama-sama ancaman-ancaman itu adalah pengingat bahwa kita berada pada saat paling berbahaya dalam perkembangan kemanusiaan kita. Kita sekarang memiliki teknologi yang justru bisa menghancurkan planet tempat kita tinggal, tapi belum sampai pada mengembangkan kemampuan untuk lepas darinya,” jelas Hawking. 

Poin-poin yang disampaikan Hawking tak ada yang tak akurat maupun dilebih-lebihkan. Sebagai contoh, dalam “Global Climate Report – Annual 2016” yang disusun National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) dan National Aeronautics and Space Administration (NASA) disebutkan bahwa 17 tahun terpanas terjadi sejak 2000, dan tahun 2016 tercatat sebagai tahun terpanas. 

Dalam penelitian Peter U. Clark dan kawan-kawan berjudul “Consequences of twenty-first-century policy for multi-millennial climate and sea-level change” yang dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change 8 Februari 2016 mengungkapkan hal yang tak jauh berbeda.
 
“Dalam beberapa dekade mendatang ada kesempatan singkat untuk meminimalisir perubahan iklim skala besar dan yang berpotensi menimbulkan bencana dalam peradaban manusia. Keputusan dan kebijakan yang dibuat selama ini harus difokuskan pada bagaimana cara menyelamatkan spesies manusia. Risiko sosio-ekonomi dan ekologis yang dibawa sungguh amat buruk bagi masyarakat dan ekosistem di abad 21 ini.” 

Perkara produksi pangan yang disinggung oleh Hawking tapi pernah dikritik oleh sejumlah ilmuwan, menyoal sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa manusia akan memproduksi lebih banyak makanan dalam 50 tahun ke depan ketimbang sejak zaman Pleistosen. 

Namun, keyakinan ini bertentangan dengan proyeksi ledakan populasi manusia yang dalam catatan Pew Research akan membludak hingga 9,3 miliar jiwa pada 2050.
 
Populasi padat tanpa didukung kondisi penunjang hidup yang layak hanya akan meningkatkan angka pengangguran, kemiskinan, lalu muncul kriminalitas yang membuat ketidakstabilan dan kekacauan di mana-mana.

Dalam “2016 Living Planet Report” yang disusun WWF menyatakan manusia kini mengonsumsi sumber daya alam di Bumi dalam proporsi 1,6 kali lipatnya. Artinya, kini manusia sedang dalam fase kelebihan konsumsi, dan dalam jangka waktu tertentu akan mencapai titik nadir, alam bisa berbalik membunuh manusia. 

Bersamaan dengan skenario di atas, para ilmuwan sangat setuju bahwa aktivitas manusia telah mendorong kepunahan massal keenam dalam sejarah, sejak bumi terbentuk 4,5 miliar tahun yang lalu. 

Dalam kasus yang paling optimistik sekalipun, kini kepunahan spesies selain manusia terjadi dalam tingkat 10.000 kali lebih cepat, demikian laporan Center for Biological Diversity. Kepunahan spesies adalah dasar goyahnya ekosistem di Bumi, yang ujung-ujungnya akan merugikan manusia. 

Penyakit manusia kini dan di masa depan akan menghadapi efek samping dari temuannya sendiri. Di kalangan peneliti klinis, sejak dua tahun belakangan telah ditemukan sumber permasalahan baru bernama superbug, yakni bakteri jahat yang tak bisa terbunuh meski sudah ditangani dengan lebih dari satu macam antibiotik. 

Baca lanjutannya: Menurut Ilmuwan, Seratus Tahun Lagi Dunia Menuju Kiamat (Bagian 2)

Related

Science 1434548524542426326

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item