Menurut Ilmuwan, Seratus Tahun Lagi Dunia Menuju Kiamat (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Menurut Ilmuwan, Seratus Tahun Lagi Dunia Menuju Kiamat - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Faktornya yakni penggunaan antibiotik yang berlebihan untuk penanganan medis, dan menurut situs WebMD kini ada dua juta korban superbug setiap tahunnya.
 
Barangkali tantangan terberatnya adalah sebab antibiotik adalah fondasi dari semua obat modern, dan manusia memiliki ketergantungan yang tinggi terhadapnya. Kemoterapi kanker, transplantasi organ, beragam operasi dan persalinan, bergantung pada antibiotik agar infeksi tak menyebar. 

Badan Kesehatan Dunia (WHO) telah menyadari bahaya ini melalui direktur jenderalnya, Margaret Chan, berucap bahwa superbug adalah ancaman nyata di masa depan tak hanya untuk kesehatan manusia, tapi juga pembangunan dan keamanan. 

Penyakit-penyakit endemik skala global pun makin mengkhawatirkan akibat pola urbanisasi yang tiap tahun makin naik, terutama di kota-kota di negara berkembang. 

Menurut data PBB, “66 persen dari total populasi global akan hidup di kota pada 2050.” Persoalannya, penyakit-penyakit endemik akan lebih mudah menyebar di sebuah populasi yang dipadati manusia, sebab kontak satu manusia dengan yang lain makin dekat.
 
Pemanasan global, dalam catatan WHO, akan memproduksi gelombang panas dan banjir yang akan menciptakan “lebih banyak kesempatan bagi penyakit yang ditularkan melalui air seperti kolera, dan penyakit endemik seperti nyamuk-nyamuk pembawa bibit penyakit berbahaya, di daerah-daerah yang selama ini bebas dari serangga tersebut. Banyak peneliti kesehatan yang sepakat bahwa kini manusia sedang terancam wabah skala besar. 

Ancaman terakhir yang disebutkan Hawking menyangkut malapetaka yang berasal dari samudera. Lautan kini menyerap karbondioksida dalam jumlah yang sangat besar dari atmosfer, dan mengakibatkan level pH-nya turun secara drastis. 

Efek yang sudah terlihat yakni proses “bleaching” yang menyerang 60 persen terumbu karang dunia, dan 10 persennya sudah berada dalam tahap kematian. Level pengasaman lautan kini berlangsung lebih cepat ketimbang selama kepunahan massal “Permanian-Triassic” yang terjadi 252 juta tahun lalu, dan memusnahkan 95 persen spesies di lautan kala itu. 

Jurnalis sains Eric Hand menulis di ScienceMag, bahwa selama kepunahan massal “Permanian-Triassic”, karbondioksida yang disuntikkan ke atmosfer kurang lebih sebesar 2,4 gigaton tiap tahun. 

Kini, masyarakat modern melepaskan 10 gigaton karbondioksida ke atmosfer tiap tahun. Selain ekosistem laut yang terganggu, laut di masa depan bisa jadi tempat yang beracun dan harus dihindari oleh manusia—bahkan hanya sekadar menyentuh permukaannya atau terciprat airnya. 

Barangkali Hawking telah lelah dengan upaya manusia meracuni Bumi. Dalam acara “Ekspedisi Bumi Baru”, ia kemudian mengusulkan bahwa solusi alternatif yang terbaik untuk menyelamatkan spesies manusia adalah dengan mencari planet baru. Hasrat ini pun telah diupayakan oleh NASA sejak lama. 

Sejak penemuan Mars, misalnya, ada harapan baru bahwa exoplanet yang diharap-harapkan akhirnya ditemukan. Walaupun akhirnya keyakinan mulai luntur setelah penelitian lanjutan menyatakan permukaan planet merah tersebut sangat panas, dan tak mungkin bagi manusia tinggal di sana tanpa bantuan teknologi tinggi. Selain panas, planet ini juga memiliki radiasi yang tinggi dan tingkat ketebalan atmosfer yang rendah. 

Hingga saat ini, penemuan planet alternatif bumi yang berpotensi dihuni sudah hampir mencapai sekitar lebih dari selusin. Planet Kepler-452b, misalnya, juga pernah digadang-gadang sebagai planet yang paling mendekati sistem Bumi. Sebelum temuan ini, ada planet lain yang ditemukan, antara lain Kepler-186f dengan jarak 500 tahun cahaya, Kepler-62F, Kepler-62F, Kepler-69c, Kepler-22b, dan Gliese 667Cc. 

Thomas Zurbuchen, Associate Administrator Science Mission Directorate NASA di Washington, pada Kamis (23/2/2017) mengumumkan penemuan tujuh planet seukuran Bumi yang tersusun di sekitar bintang tunggal, dan tiga di antaranya berada di zona layak huni, memiliki atmosfer, sehingga kemungkinan memiliki air sebagai sumber kehidupan.

Planet-planet ini diprediksi berjarak 40 tahun cahaya (235 triliun mil) dari Bumi. Susunannya relatif dekat dengan bumi, berada di konstelasi Aquarius. Exoplanet ini kemudian dinamai TRAPPIST-1, berasal dari The Transiting Planets and Plantesimals Small Telescope (TRAPPIST) yang berada di Cili. 

Pada Mei 2016, dengan menggunakan TRAPPIST tersebut, para peneliti menemukan tiga planet ini. Menggunakan data Spitzer, ukuran dan kerapatan ketujuh planet itu diperkirakan berupa batuan. 

Harapan penyelamatan spesies manusia bisa dilihat dari film Interstellar, makin besar dengan penemuan planet-planet ini. Namun pekerjaan rumah ke depan masih amat sangat panjang, sebab lalu muncul rentetan pertanyaan baru, semisal, kapan bisa dipastikan bahwa planet-planet itu bisa untuk hidup? Bagaimana cara untuk menjangkaunya? 

Dan yang terpenting: masihkah kita punya cukup waktu sebelum Bumi benar-benar rusak dan kepunahan manusia mulai terjadi? 

Related

Science 7514715370858893635

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item