Ini Komentar Psikolog Terkait Tren ‘Ikoy-ikoy’ yang Populer di Instagram


Naviri Magazine - Selain gempita Olimpiade Tokyo 2020, rupanya media sosial diramaikan pula dengan 'ikoy-ikoy'. Content creator Arief Muhammad mempopulerkan 'ikoy-ikoy' sebagai cara dia berbagi pada para pengikutnya.

Ikoy sendiri diambil dari panggilan karib sang asisten pribadi, Rizqi Fadhilah. Ikoy jadi orang yang didapuk untuk memproses hadiah atau bantuan pada pengikut terpilih.

'Ikoy-ikoy' cukup berbeda dengan tren giveaway atau bagi-bagi yang biasa dilakukan para selebgram atau content creator. Di sini, para pengikut tidak diharuskan memenuhi sejumlah persyaratan khusus. Mereka cukup mengirimkan pesan singkat via Direct Message (DM) berisi kebutuhannya.

Tren viral ikoy ikoy ini juga merembet ke selebgram lainnya. Netizen banyak mengirimkan pesan ke akun selebgram dan meminta ikoy-ikoy. Banyak yang akhirnya ikut serta memberikan giveaway, tapi banyak juga yang menolak dengan berbagai alasan, salah satunya adalah karena tak suka dengan permintaan netizen yang terkadang suka kelewat batas, misalnya rumah, atau uang ratusan juta.

Melihat fenomena ini, psikolog klinis Nuzulia Rahma Tristinarum berkata, 'ikoy-ikoy' tidak masalah dilakukan sebab tidak ada yang dirugikan dan tidak melanggar hukum atau norma tertentu. Pun yang memberi melakukannya sukarela dan yang diberi senang menerimanya.

"Dan alangkah lebih baik jika dana yang tersedia dibagi juga pada orang-orang yang benar-benar membutuhkan," kata Rahma.

Menurut Rahma, 'ikoy-ikoy' yang dilakukan Arief atau kegiatan berbagi seperti ini biasanya bertujuan:

* Branding, baik diri sendiri, tim atau produk tertentu. Dalam fenomena 'ikoy-ikoy', bisa jadi merupakan branding akun Arief Muhammad. Lewat kegiatan ini, si pemilik akun jadi dikenal sebagai orang yang suka berbagi.

* Menambah jumlah pengikut, ketika ramai diperbincangkan bahkan jadi tren, bukan tidak mungkin ada pengikut-pengikut baru. Meski gratis, kata Rahma, tetap saja ada manfaat yang diperoleh.

* Kesenangan pribadi, bisa saja tujuan kegiatan hanya untuk mencari perhatian atau kesenangan. Berbagi pada siapapun memang menyenangkan.

"Kalau dilihat dari kacamata psikologi, aktivitas ini biasanya didorong oleh motivasi tertentu. Motivasi ini bisa karena ingin viral, untuk branding, untuk menaikkan jumlah followers atau motivasi lainnya, dan bagusnya dilakukan dengan cara yang baik dan unik. Tujuannya biasanya memang untuk mengumpulkan massa, menarik perhatian dengan cara yang unik dan tidak biasa," kata Rahma.

Kebutuhan bukan Keinginan

Pandemi jadi momen penuh tantangan dan perjuangan. Tak sedikit orang yang memerlukan bantuan. Rahma mengatakan momen pandemi pun layak dijadikan kesempatan untuk mengasah empati dan keinginan untuk berbagi. 

Sebenarnya cara ini juga bisa dijadikan cara baik untuk berbagi kepada orang yang benar-benar membutuhkan. Hadiah yang diberikan bukan berdasar kebutuhan tetapi keinginan.

Hal ini yang kerap jadi polemik. 'Kebutuhan' sering jadi kambing hitam dari 'keinginan.'

"Kalau ikoy-ikoyan ini lebih pada bagi-bagi biasa, bukan bagi-bagi sosial. [Bagi-bagi biasa] misalnya, kita pernah traktir teman yang sebenarnya masih bisa makan enak. Kita juga pernah kasih hadiah ulang tahun sama teman yang mampu. Kalau bagi-bagi sosial itu biasanya pada yang enggak mampu," ujarnya.

"Jadi ikoy-ikoyan ini bukan bagi-bagi dalam sudut pandang sosial tapi lebih ke kesenangan pribadi aja. Karena itu jika masih ada dana lebih, sebaiknya disalurkan juga untuk berbagi sosial."

Rahma menyarankan, jika ingin berbagi yang lebih bijak, terlebih di masa pandemi seperti sekarang, bisa berbagi lewat komunitas, lembaga atau terjun langsung ke lapangan. Bantuan akan lebih menyasar pada yang memerlukan. Sebagai contoh, pemenuhan kebutuhan pangan, kesehatan atau untuk anak yang kesulitan sekolah.

"Jika mau berbagi handphone alangkah baiknya jika berbagi pada anak anak yang terpaksa tidak sekolah atau kesulitan belajar karena tidak mampu membeli handphone untuk sekolah online," imbuhnya.

Apa ikoy-ikoy bikin orang jadi pemalas atau mental pengemis?

Ada yang beranggapan kegiatan memberi hadiah tanpa syarat khusus seperti giveaway pada umumnya membuat orang jadi memiliki mental pemalas atau bahkan pengemis. Cukup minta lalu diberi tanpa mengeluarkan usaha. Namun Rahma tidak melihatnya seperti itu.

Pasalnya, dia mengatakan bahwa dalam kegiatan ini ada banyak orang yang berpartisipasi dan dilakukan pada orang berbeda. Artinya, orang yang mendapatkan hadiah bukan satu atau dua orang yang sama terus-menerus, sehingga tidak akan sampai membentuk sifat atau kebiasaan tertentu. 

"Untuk membentuk sifat atau sikap tertentu, tentu bukan hanya dari satu peristiwa saja. Selama ini tidak dilakukan secara terus-menerus, hanya sesekali saja, maka masih aman. Tidak sampai menimbulkan mental mengemis," katanya.

Hanya saja, dalam hal ini, netizen juga perlu bersikap bijak dan tak berbohong hanya demi mendapatkan hadiah dari sang selebgram. 

Related

Psychology 6036873729266163401

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item