Bahaya di Balik Aneka Hoax yang Menyebar Selama Pandemi Covid-19


Naviri Magazine - “COVID-19 hanya flu biasa”, “thermo gun berbahaya untuk otak” dan “vaksin COVID-19 membuat tubuh terkoneksi sinyal 5G” hanyalah tiga dari ratusan hoaks yang tersebar saat pandemi COVID-19. 

Penelusuran pada 2.360 artikel hoaks di situs Turnbackhoax.id menunjukkan hampir seperempat hoaks pada 2020 berhubungan dengan COVID-19. Menyebarnya misinformasi dan disinformasi terkait COVID-19 bukannya tak menimbulkan konsekuensi. 

Penyebaran masal informasi-informasi yang keliru bisa menghambat upaya penanganan COVID-19 dan dapat berakibat fatal. Bahkan terdapat sebuah istilah untuk fenomena ini, infodemi, yang oleh WHO diartikan sebagai meluapnya jumlah informasi, sebagian akurat dan sebagian tidak, yang menyebar bersamaan dengan wabah penyakit. 

“Kepercayaan publik terhadap sains dan bukti sangat penting untuk mengatasi COVID-19,” kata Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, mengutip siaran pers. 

“Oleh karena itu, menemukan solusi untuk infodemi sama pentingnya dalam menyelamatkan nyawa dari COVID-19 seperti halnya langkah-langkah yang diambil untuk kesehatan publik, seperti pemakaian masker dan kebersihan tangan, hingga akses yang adil terhadap vaksin, perawatan, dan diagnostik.” 

Solusi terhadap infodemi ini juga krusial, menimbang bahwa hampir 6.000 orang di seluruh dunia pada 3 bulan pertama tahun 2020 harus dirawat di rumah sakit karena misinformasi soal COVID-19 yang menyatakan bahwa mengonsumsi alkohol berkonsentrasi tinggi bisa membunuh virus, mengutip studi yang dipublikasikan di The American Journal of Tropical Medicine and Hygiene. 

Studi ini memperkirakan ada setidaknya 800 orang yang meninggal karena misinformasi terkait COVID pada periode yang sama. Penelitian tersebut mengungkap bahwa rumor, stigma, dan teori konspirasi berpotensi mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dan institusi kesehatan internasional. 

“Rumor-rumor ini dapat terlihat seperti sebuah strategi pencegahan dan pengendalian infeksi [COVID-19] yang kredibel [namun mereka] memiliki implikasi serius ketika dianggap lebih penting daripada petunjuk berbasis data,” ungkap studi yang sama. 

Ketidakpercayaan ini juga tercermin berdampak pada implementasi program vaksinasi yang masih lambat di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Data Johns Hopkins Centre for Communication Programs bahwa hanya 63 persen responden ingin menerima vaksin dari 23 negara di dunia. 

Di Indonesia, Kominfo menemukan 1.763 isu hoaks COVID-19 sepanjang 23 Januari 2020 hingga 18 Juli 2021. Hoaks ini tersebar dalam 3.817 unggahan media sosial dan setidaknya 3.356 unggahan di antaranya telah diturunkan. Kondisi ini memperburuk situasi di Indonesia, yang merupakan salah satu negara yang paling terdampak oleh COVID-19 di Asia. 

UNICEF Indonesia pada siaran persnya mengutip sebuah survei yang dilaksanakan Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Katadata Insight Center (KIC) pada 2020, yang menemukan bahwa antara 64 dan 79 persen responden tidak dapat mengenali misinformasi yang mereka temukan secara daring. 

UNICEF adalah organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diperuntukkan bagi kepentingan anak-anak sedunia. 

“Karena COVID-19 adalah penyakit baru, para ahli pun masih mempelajarinya,” kata Spesialis Komunikasi UNICEF Rizky Syafitri dalam artikel tersebut. “Akibatnya, banyak orang kesulitan menemukan informasi terbaru, [sehingga] memberikan beberapa individu kesempatan untuk mendapatkan keuntungan dari membuat klaim palsu.” 

Survei Jakpat juga menemukan bahwa masih banyak orang Indonesia yang menyepelekan COVID-19. Misalnya, hampir seperempat responden tidak percaya bahwa COVID-19 bisa menyebabkan gejala parah atau kematian. Mayoritas (39,9 persen) responden menyebut media sosial sebagai sumber informasi utama mereka terkait COVID-19. 

Maka dari itu, perlu adanya upaya untuk melawan misinformasi ini, salah satunya lewat verifikasi fakta (fact-checking). 

“Seperti virus [COVID-19], infodemik sangat menular dan tumbuh secara eksponensial. Hal ini pun mempersulit upaya respons pandemi COVID-19. Oleh karena itu, PBB telah mendeklarasikan perang untuk melawan disinformasi atau infodemik. 

“Dengan memanfaatkan semua sumber daya - termasuk kanal media sosial PBB, semua digunakan kembali sebagai alat utama untuk memerangi informasi melalui Verified – untuk melawan disinformasi, dan rumor selama darurat kesehatan COVID-19; memproduksi konten melawan mitos; menyampaikan informasi yang menyelamatkan jiwa, saran berbasis fakta, dan cerita nilai-nilai positif kemanusiaan.” kata Perwakilan PBB di Indonesia, Valerie Julliand.

Related

Corona 8666006440631683490

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item