Fakta-fakta Great Reset, Teori Konspirasi yang Muncul di Masa Pandemi (Bagian 1)


Naviri Magazine - “Aku ingin berpidato tahun ini di Davos. Penting,” kata Bill Gates melalui sambungan telepon. “Aku ingin bicara soal peran korporasi di masyarakat.” 

Ucapan miliarder filantropis terbanyak kedua di dunia itu–bersama istrinya, Melinda Gates–ditujukan kepada Klaus Schwab, pendiri World Economic Forum (WEF) pada 2008. Sementara Davos yang dimaksud adalah tempat acara tahunan tersebut diadakan, sebuah kota di Pegunungan Alpen, Swiss. 

“Subjek ini adalah inti dari kegiatan WEF. Jadi aku bilang tentu saja, silakan, kamu punya setidaknya 30 menit,” kata Schwab mempersilakan Gates mengambil panggung. 

Gates masih dapat kesempatan tanya jawab bersama Schwab selama kurang lebih 15 menit. Apa persisnya yang dibicarakan Gates dalam forum itu? 

“Seperti yang kalian tahu, pada Juli mendatang saya akan melakukan perubahan besar dalam karier saya,” kata Gates membuka pidato. “Ini terakhir kalinya saya tampil di Davos sebagai karyawan Microsoft.” 

Sejak 2006, laman resmi Microsoft telah memberikan pengumuman penting bahwa Gates akan “mencurahkan waktu lebih banyak untuk pekerjaan kesehatan global dan pendidikan” lewat Bill & Melinda Gates Foundation. 

Materi Gates pada hari itu terkait erat dengan rencana tersebut. Gates mengingatkan bahwa ada miliaran orang di dunia yang belum punya air bersih, makanan yang cukup, juga akses terhadap listrik. Mereka tidak mendapat efek dari kemajuan ekonomi global, bahkan malah dirugikan karena perubahan iklim yang merupakan dampak tak terelakkan dari sistem ekonomi berorientasi profit. 

Ia lantas mempertanyakan tanggung jawab sosial kaum kapitalis. Dia mendorong adanya 'kapitalisme kreatif' yang bukan hanya memberi keuntungan bagi perusahaan, tapi juga orang-orang yang memang membutuhkan bantuan. 

“Kita harus mencari cara bagaimana aspek kapitalisme yang melayani orang kaya bisa ikut melayani orang yang lebih miskin juga,” kata Gates. 

Dalam bagian akhir diskusi, Schwab berbicara kepada Gates: “Terima kasih karena telah mencerahkan kami malam hari ini tentang kapitalisme. Aku harap orang-orang akan mengikutimu. Kami akan memfasilitasi bagaimanapun caranya, karena itulah misi dari WEF dan aku sangat menunggu gagasan barumu tahun depan.” 

Misi WEF yang dimaksud merupakan gagasan yang juga terus Schwab pegang hingga sekarang: stakeholder capitalism atau kapitalisme pemangku kepentingan. 

Pada Januari lalu, ia baru saja menerbitkan tentang itu berjudul Stakeholder Capitalism: A Global Economy that Works for Progress, People and Planet. WEF juga pada tahun lalu membuat laporan tentang ukuran-ukuran stakeholder capitalism. 

Schwab berusaha mematahkan argumen dari ekonom Milton Friedman yang memandang perusahaan hanya bertanggung jawab kepada sang pemilik dan bertujuan meraih keuntungan sebesar-besarnya. 

Gagasan umum dari stakeholder capitalism adalah bahwa kaum kapitalis–para pemilik alat produksi, bukan sekadar orang kaya–tidak boleh melulu bicara soal keuntungan untuk para pemegang saham, tapi juga harus mengambil keputusan yang menguntungkan kelompok yang kepentingannya beririsan dengan perusahaan, misalnya karyawan, masyarakat setempat, dan lain-lain. 

Dengan begini, akumulasi modal bisa berjalan dalam jangka panjang. 

The Great Reset... 

Ketika Covid-19 menyerang, Schwab tahu bahwa dia, seorang pemimpin forum yang diisi hampir 3.000 partisipan dari 117 negara, bukan hanya para kapitalis tapi juga pemimpin negara, perlu berbuat sesuatu. Ia memanfaatkan pandemi demi menyebarkan pandangannya tentang stakeholder capitalism. Sayangnya itu menjadi bumerang. Gagasannya justru jadi bahan teori konspirasi. 

Ceritanya begini. Pada Juni 2020, Schwab bersama kepala pertemuan tahunan Davos, Pangeran Charles, menelurkan gagasan bahwa pandemi adalah kesempatan untuk melakukan Great Reset terhadap perekonomian dunia. Ada buku setebal 280 halaman yang ditulis Schwab bersama ekonom asal Perancis, Thierry Malleret, yang terbit sebulan kemudian, juga berjilid-jilid podcast dari WEF untuk menjelaskan konsep tersebut. 

Rancangan Great Reset lebih seperti perluasan konsep stakeholder capitalism ala Schwab. Cakupannya sangat luas, mulai dari teknologi, perubahan iklim, keamanan internasional, dan tema-tema lain. 

Dalam Covid-19: The Great Reset (2020) Schwab dan Malleret mengatakan, dengan ekonomi yang lebih inklusif, adil, dan lebih menyayangi bumi, masa depan setelah pandemi Covid-19 akan lebih baik. 

Apa saja yang perlu diubah? Ada lima kategori dalam Macro Reset: ekonomi, sosial, geopolitik, lingkungan, dan teknologi. Untuk Micro Reset ada bisnis dan industri. Kemudian ada pula Individual Reset. 

Pangeran Charles dalam pembukaan pertemuan virtual WEF Juni tahun lalu juga memaparkan lima poin rencana. Poin pertama abstrak betul: menangkap imajinasi dan kemauan dari manusia. Poin-poin berikutnya berpusar pada ekonomi berkelanjutan dan penciptaan lapangan kerja. 

Meski panjang lebar, BBC mengatakan rencana tersebut sebetulnya “sedikit pada detail yang spesifik.” Terlalu banyak topik juga membuatnya menjadi makin sulit dimengerti, ruwet, dan njelimet. 

Schwab berargumen penggambaran penataan ulang setelah pandemi tidak dapat terlalu detail karena memang masih terlalu dini untuk melakukan itu. Namun setidaknya nanti perlu ada perubahan kontrak sosial antara pemerintah dan masyarakat. Seperti apa? 

Jawaban Schwab (dan Malleret) lagi-lagi membuat kita mengernyitkan dahi: “Tidak ada acuan model karena setiap solusi tergantung kepada budaya dan sejarah negara itu sendiri.” 

“Ketidakjelasan ini, dikombinasikan dengan rencana yang diluncurkan oleh organisasi berpengaruh,” tulis BBC, “memberikan lahan subur bagi teori konspirasi untuk berkembang.” 

Menjadi Bahan Teori Konspirasi 

Konsep yang sangat cair ini sebenarnya tidak mendapat banyak tanggapan pada Juni-November 2020. Tapi, pada November 2020, tiba-tiba Great Reset dibicarakan setelah video Perdana Menteri Kanada Justin Trudeau yang mendukungnya viral. 

Dia berucap bahwa Covid-19 adalah saat yang tepat untuk dunia membayangkan ulang “sistem ekonomi yang benar-benar menjawab tantangan global seperti kemiskinan, ketidakadilan, dan perubahan iklim.” 

Great Reset berubah wajah. Ia dianggap sebagai strategi konspiratif elite global. Tudingan-tudingan ini dilakukan oleh kelompok ekstrem kanan yang dalam pandemi ini berlaku anti vaksin dan anti karantina, salah satunya adalah Alex Jones, penyiar radio yang juga pendukung fanatik Donald Trump. 

Situs yang memuat teori konspirasinya seperti InfoWars sudah dilarang di mana-mana, tapi Jones tidak habis akal. Dia menggunakan Sky News Australia sebagai media propaganda dan tentu saja didukung oleh media arus utama tersebut. 

Baca lanjutannya: Fakta-fakta Great Reset, Teori Konspirasi yang Muncul di Masa Pandemi (Bagian 2)

Related

International 1498732851016615018

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item