Fakta-fakta Great Reset, Teori Konspirasi yang Muncul di Masa Pandemi (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Fakta-fakta Great Reset, Teori Konspirasi yang Muncul di Masa Pandemi - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Salah satu yang jadi dasar bagi penggiat teori konspirasi di Sky News adalah iklan dari Great Reset yang memboyong slogan: Kamu tidak akan memiliki apa-apa dan tetap akan bahagia. Ungkapan ini dianggap sebagai petunjuk bahwa kaum elite global hendak merenggut semua yang dimiliki oleh individu. 

Ide yang ditawarkan oleh WEF tidak seperti itu. Konsep 'kamu tidak akan memiliki apa-apa dan tetap akan bahagia' dijelaskan oleh kontributor WEF asal Denmark, Ida Auken, di Forbes, sebuah media ekonomi terkemuka, pada 2016. Ya, tiga tahun sebelum Covid-19 ada. Yang Auken hendak katakan sebenarnya adalah angan-angan yang terlihat utopis. Tidak memiliki apa-apa–rumah, mobil, dan pakaian–tidak masalah karena semuanya menjadi bagian dari jasa yang dapat diperoleh secara gratis.

Rumah, dalam bayangan Auken, bisa dipakai orang lain ketika tidak sedang ditempati. Begitu juga dengan makanan dan pakaian yang bisa diperoleh secara gratis. Ketika penggunaan energi ramah lingkungan menjadi mainstream, dia berharap transportasi bisa menjadi gratis. 

Oleh sebab itu dia juga tak keberatan tak mempunyai mobil. Dia bepergian ke mana-mana dengan sepeda. 'Tidak mempunyai apa-apa' bukan berarti menyerahkan–baik dengan ikhlas atau paksaan–properti sepenuhnya pada kaum kapitalis dan kita tidak memiliki apa pun, karena dalam angan-angan Auken, semua orang dalam kondisi sama, termasuk kapitalis itu sendiri. 

Kehidupan dalam imajinasi Auken ini dia perkirakan akan terjadi pada 2030. 

Ciaran O'Connor, peneliti dari Institute for Strategic Dialogue (ISD), menemukan bahwa di Belanda tudingan ini bermula dari kelompok populis sayap kanan yang dipelopori Thierry Baudet. Dia menuding George Soros sengaja membuat Covid-19 untuk merenggut kebebasan warga dunia. 

The Guardian menjabarkan bagaimana Baudet menggunakan cara-cara tersebut untuk menguatkan posisinya jelang pemungutan suara di tahun ini. 

Senjata kedua yang juga sering dipakai oleh penganut teori konspirasi adalah buku The Great Reset Schwab dan Malleret sendiri. Dua orang ini dianggap hendak mengontrol seluruh dunia berkat satu petikan dalam buku tersebut: Jika tidak ada satu pun kekuatan yang mampu menegakkan ketertiban, maka dunia kita akan memasuki 'defisit tatanan global'. Kecuali masing-masing negara dan organisasi internasional mencari cara untuk berkoordinasi. 

Salah satu yang menggunakan ini adalah James Corbett. Dengan memanfaatkan salurannya, Corbett Report, ia mengatakan petikan di atas adalah bukti bahwa sedang ada usaha untuk menguasai dunia karena ketidakpatuhan itu buruk bagi kapitalis. Permasalahan di sini adalah hilangnya konteks dari kalimat tersebut. 

Kutipan tersebut sebenarnya tengah membicarakan hubungan Amerika Serikat dan Cina. Ketidakharmonisan mereka, negara dengan kekuatan ekonomi terbesar, bisa berdampak pada dunia dan bisa menimbulkan kekacauan di mana-mana. 

Tidak semua kejadian di dunia ini direncanakan, termasuk di dalamnya pandemi. Schwab hanya memanfaatkan momentum untuk merealisasikan pemikirannya yang selama ini belum terpenuhi. Ia sesungguhnya tidak berbeda dengan penganut teori konspirasi yang memanfaatkan pandemi untuk membuktikan dirinya benar: bahwa ada 'elite global' yang merancang seluruh kehidupan kita. 

Tapi meyakinkan penganut teori konspirasi yang sering menyebar teori James Corbett tanpa penjelasan mendetail, adalah hal sulit. Sebabnya beragam, mulai dari keras kepala, bias konfirmasi, hingga dasar teori yang dimulai dari kisah nyata–kemudian ditafsirkan secara liar seperti Great Reset. 

“Teori konspirasi membuat frustrasi karena rumit. Setiap jawaban atau sanggahan hanya akan menghasilkan teori yang semakin rumit. Pembuat teori konspirasi memanipulasi semua bukti secara terukur agar sesuai dengan penjelasan mereka; tetapi yang lebih buruk, mereka akan menekankan ketiadaan bukti sebagai konfirmasi yang lebih meyakinkan,” catat Tom Nichols dalam The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters (2017). 

Tambal Sulam Kapitalisme 

Terlepas dari fakta bahwa Great Reset menjadi bahan konspirasi, gagasan ini sendiri menarik untuk dibahas dari sisi ekonomi itu sendiri. Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan tawaran gagasan sebenarnya adalah hal yang biasa di tengah krisis ekonomi. 

Pada era Depresi Besar 1930, gagasan yang muncul adalah intervensi besar negara pada pasar karena mereka adalah satu-satunya pihak yang ketika itu punya kemampuan demikian. Kita mengenalnya dengan Keynesianisme. 

Lalu ketika negara justru memperlambat ekonomi, muncul gagasan neoliberalisme pada periode 1970-an, yang intinya adalah melepaskan peran negara seminimal mungkin. Wujud dari gagasan ini misalnya penghapusan subsidi dan privatisasi. 

Pada dasarnya Great Reset adalah upaya untuk menciptakan kapitalisme yang lebih sopan dengan cara-cara seperti memakai energi terbarukan dan berinvestasi lebih banyak pada lingkungan dan kesehatan, katanya. Namun bukan berarti kapitalisme itu menjadi tidak bermasalah seandainya konsep ini diterapkan. Pihak yang mendapat keuntungan paling banyak tetaplah si pemilik modal. 

“Itu usaha mereduksi ketimpangan saja,” ucap Bhima. 

Kapitalis khawatir jika ketimpangan terlalu lebar, yang sebenarnya dibuat oleh mereka sendiri, perekonomian juga tidak berjalan lancar. Belum lagi aksi-aksi unjuk rasa dan penjarahan yang mungkin terjadi. Dalam The Great Reset Schwab juga menyinggung soal itu. 

“Unjuk rasa berdampak negatif pada kesejahteraan ekonomi dan sosial, tetapi penting ditekankan bahwa kita bukannya tidak berdaya dalam menghadapi potensi kerusuhan sosial. Penyebab mendasar terbesar dari kerusuhan sosial adalah ketidaksetaraan. […] Kebijakan untuk melawan ketidaksetaraan ada dan sering kali itu ada di tangan pemerintah,” catat Schwab. 

Tidak mengherankan ia mendukung redistribusi kekayaan termasuk dalam bentuk pajak progresif: semakin kaya semakin tinggi pula harus membayar ke negara. Konsep ini, menurut Bhima, tidak hadir dari ruang kosong, melainkan ketakutan kapitalis akan adanya perlawanan dari kelompok sosialis. 

Patut dicatat bahwa selama pandemi, kelompok ekstrem kanan melemah, terutama di Eropa. “Banyak pengusaha khawatir [ekonomi] jadi dikuasai oleh kelompok ekstrem kiri,” kata Bhima.

Related

International 899425826154627331

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item