Marak Mafia Tanah, Masyarakat Harus Pahami Prosedural Agraria


Naviri Magazine - Persekongkolan mafia tanah menjadikan aktivitas ilegal di bidang pertanahan kian terstruktur dan masif. Bahkan, dalam beberapa kasus, praktik lancung itu turut melibatkan aparat pemerintahan dan penegak hukum. Tak pelak, pemberantasan mafia tanah seolah berjalan di tempat.  

Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika menilai, keterlibatan aparat dan birokrat dalam jaringan mafia tanah menyebabkan hal yang ilegal menjadi legal.  

"Karena keterlibatan orang dalam, baik dari kantor pertanahan tingkat kabupaten, kanwil BPN tingkat provinsi ataupun di pusat, kemudian penegak hukum juga terlibat, PPAT, notaris. Jadi, banyak keterlibatan orang pemerintahan itu menyebabkan apa yang ilegal menjadi legal," ujarnya.  

Karena itu, masyarakat diminta untuk mampu mencermati dan memahami hal-hal prosedural agar terhindar dari mafia tanah. Namun tak sedikit pula masyarakat yang tak tahu mengenai kesahihan dokumen tanah yang dibeli, alias tanah sengketa.  

Dalam konteks itu, kata Dewi, bila pembeli tanah telah melakukan pembelian sesuai prosedur, tata cara, dan aturan yang berlaku, maka pembeli itu dikategorikan sebagai pembeli beritikad baik. Berdasarkan keputusan Mahkamah Agung, pembeli beritikad baik dilindungi oleh hukum.  

"Pembeli beritikad baik tentu akan dilindungi hukum. Karena dia beli tanah sudah dengan prosesnya, maka tidak ada yang melemahkan," terang Dewi.  

Lain halnya bila pembeli tanah sedari awal mengetahui bahwa tanah itu merupakan aset sengketa, atau membeli sonder mengikuti ketentuan dan prosedur yang berlaku. Dalam hal ini, pembeli tersebut dikategorikan sebagai pembeli beritikad buruk.  

Namun, tak selalu pembeli beritikad buruk merupakan jaringan dari mafia tanah. Sebab, dalam beberapa kasus, ditemukan pula pembeli beritikad buruk lantaran tergiur dengan harga tanah yang jauh lebih murah. Bisa juga, kata Dewi, pembeli tak memahami prosedur dan menginginkan proses jual beli yang instan.  

"Dia murni pembeli tetapi dia tidak hati-hati, tidak cermat, tidak mengikuti prosedural, ingin prosesnya cepat, pengennya dapat yang murah. Ketidakhati-hatian itu akan dikategorikan sebagai pembeli beritikad buruk," terangnya.  

Pembeli beritikad buruk, sambung Dewi, dapat digugat oleh pihak ketiga, dalam hal ini pihak yang sebetulnya memiliki aset terkait dan sah. Karenanya, dalam konteks ini diperlukan keterlibatan aparat penegak hukum seperti kepolisian, kejaksaan, hingga KPK untuk mencari titik terangnya.  

"Si korban yang tanahnya hilang itu bisa melakukan gugatan apabila ditemui indikasi bahwa si pembeli itu punya itikad tidak baik, tahu bahwa tanah itu tidak sah, transaksi tetep dilakukan. Atau bisa digugat sebagai jaringan mafia tanah," jelas Dewi.  

Dia menambahkan, praktik mafia dan korupsi agraria makin subur, terjadi hingga pelosok Nusantara. Untuk menekan hal itu, kata Dewi, diperlukan keterbukaan informasi agraria yang hingga saat ini tampak timbul tenggelam.  

Keterbukaan informasi atau transparansi masih sukar ditemui di sektor pertanahan. Hal tersebut dapat dilihat dari minimnya keterlibatan masyarakat dalam aspek pengawasan. Maraknya mafia tanah juga dikarenakan minimnya penegakan hukum.  

Dihubungi terpisah, Pakar Hukum Agraria dari Universitas Gadjah Mada Nurhasan Ismail mengatakan mafia, tanah kerap memanfaatkan celah yang ada di sisi hukum, administrasi dan keabaian.  

"Semua celah, baik yang terdapat dalam ketentuan hukum dan administrasi pertanahan maupun sikap abai dari pemegang hak atas tanah terbuka, dijadikan peluang untuk melaksanakan kinerja ilegalnya untuk memperoleh keuntungan dan merugikan pihak lain," ujarnya.  

Nurhasan bilang, menutup atau memperbaiki celah-celah tersebut menjadi langkah yang mesti diambil dan tak dapat dinegosiasikan. Pasalnya, selama celah tersebut terbuka dan dibiarkan, maka selama itu pula jaringan mafia tanah leluasa menjalankan kegiatannya.  

Celah yang kerap dijadikan peluang oleh mafia tanah yakni, pertama, belum terintegrasinya administrasi pertanahan yang dikelola oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) beserta jajarannya ke bawah, dengan administrasi pertanahan yang ada di dalam buku Letter C. Hal tersebut disebabkan tidak ada ketentuan hukum yang mengharuskan pengintegrasian administrasi pertanahan.  

"Kondisi ini semakin diperparah oleh kebijakan yang diberlakukan oleh daerah-daerah tertentu yang memungkinkan desa-desa dan ketua adat menerbitkan surat keterangan tanah (SKT) atau surat keterangan tanah adat (SKTA)," kata Nurhasan.  

Menurut Nurhasan, adanya beberapa sumber administrasi pertanahan yang belum terintegrasi merupakan peluang bagi mafia tanah untuk melaksanakan jaringan kinerja ilegalnya. Itu dilakukan melalui penggunaan berbagai alat bukti dari sumber administrasi yang berbeda-beda.  

Kedua, yakni, belum tunggalnya tanda bukti hak membuka peluang masuknya jaringan mafia tanah dengan memanfaatkan keberadaan berbagai bentuk tanda bukti hak yang ada. 

Hal itu disebabkan karena belum selesainya proses pendaftaran tanah di seluruh Indonesia; belum adanya pengaturan lebih lanjut terjadinya hak milik menurut hukum adat sehingga masih diakui sebagai alat bukti berupa penguasaan tanah secara fisik terus menerus dengan itikad baik secara hukum adat.  

Lalu belum tersistematisnya administrasi pertanahan terhadap tanah yang haknya berakhir atau hapus telah memberikan peluang mafia tanah memanfaatkannya.  "Beberapa sebab berakhir-hapusnya hak atas tanah yang tidak segera diikuti dengan tindakan administratif," kata Nurhasan.  

Ketiga, yakni kebijakan pemberian hak atas tanah (HAT) yang liberal, membuka peluang bagi mafia tanah untuk melakukan pemberian hak atas tanah yang sangat luas sampai puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu hektar dan hanya ditentukan oleh kemampuan persyaratan. 

Lalu itu juga tidak diiringi oleh instrumen dan kemampuan pengawasan secara preventif dan represif. 

Akibatnya, imbuh Nurhasan, terjadi pemberian dan pemilikan tanah secara spekulatif yang pasti mengarah pada penelantaran atau tidak diusahakan tanah secara produktif. Adanya tanah yang tidak diusahakan tentu menarik minat mafia tanah untuk menguasai dan memanfaatkan. 

"Upaya mencegah konflik sengketa yang berasal dari faktor tersebut adalah menata kembali kebijakan pemberian HAT. Jika karakter liberal dapat diubah, maka pemberiannya dilakukan secara bertahap sesuai kemampuan modal dan atau potensi tanah terlantar/tidak produktif harus dihentikan," jelas Nurhasan.  

Lincahnya gerak mafia tanah juga didorong oleh celah keempat, yaitu tingginya tingkat persaingan PPAT. Dalam hal ini, mafia tanah akan berupaya untuk memperoleh hak atas tanah karena penugasan PPAT tidak lagi berdasarkan formasi keuangan PPAT di satu wilayah, sehingga dalam satu wilayah terbuka penempatan PPAT baru dengan konsekuensi terjadi persaingan antarmereka.  

Lalu persaingan yang tinggi mendorong PPAT abai terhadap kewajibannnya menjamin kebenaran materil data fisik dan data yuridis tanah yang dimasukkan ke dalam akta yang dibuatnya dengan konsekuensi di antaranya dimanfaatkan oleh jaringan mafia tanah.  

"Untuk mencegahnya, pembinaan terhadap PPAT baik sikap profesionalismenya maupun sikap moral pelaksanaan tugasnya dan pengawasan oleh kantor pertanahan," kata Nurhasan.  

Selain itu, lanjut dia, celah yang kerap dimanfaatkan oleh jaringan mafia tanah ialah lemahnya komitmen pelaksana dan penegak hukum pada sikap profesionalisme dan kemandiriannya. Alhasil, mafia tanah dengan mudah memanfaatkan hal tersebut. 

"Oleh karenanya, pengawasan terhadap pelaksana dan penegak hukum tetap harus dilakukan secara terus menerus," pungkas Nurhasan. 

Related

News 8080585035909467246

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item