Memahami Arti Penting Menggunakan Akal Menurut Alquran (Bagian 2)


Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Memahami Arti Penting Menggunakan Akal Menurut Alquran - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Ada juga ayat-ayat yang berbicara tentang Ulu al-Albab atau ar-Rasikhun fi al-Ilm. Dua istilah itu merujuk orang-orang yang demikian mantap pengetahuan dan pengamalan ilmi dan hikmah yang diraihnya. Mereka itu dinamai orang-orang yang memiliki rusyd. 

Perhatikanlah firman Allah dalam Q.S. Al-Hujurat ayat 7: Dan ketahuilah oleh kamu bahwa di kalangan kamu ada Rasulullah. Jika seandainya dia menuruti (kemauan sebagian) kamu (yang lemah imannya) dalam banyak urusan, tentu kamu benar-benar akan mendapat kesulitan (dan kebinasaan), tetapi Allah telah menjadikan kamu (para sahabat Rasulullah) yang setia, cinta kepada keimanan dan menjadikannya indah dalam hati kamu serta menjadikan kamu membenci kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah ar-rasyidin (orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus). 

Demikian juga QS. Ali-Imran ayat 7: Dialah yang menurunkan al-Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Nabi Muhammad SAW). Di antara ayat-ayat(nya) ada yang mukhamat, itulah pokok-pokok isi al-Qur’an, dan yang lain mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya ada kecenderungan kepada kesesatan, maka mereka mengikuti dengan sungguh-sungguh apa (ayat-ayat) yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah (kekacauan dan kerancuan berpikir serta keraguan di kalangan orang-orang beriman) dan untuk mencari-cari ta’wilnya (yang sesuai dengan kesesatan mereka), padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: “Kami beriman dengannya (al-Qur’an), semua dari sisi Tuhan Pemelihara kami'. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya) melainkan Uli al-Albab." 

Untuk meraih hal-hal di atas, maka akal harus difungsikan. Dalam konteks memfungsikannya, al-Qur’an sekali menggunakan kata yatafakkarun. Kali lain menggunakan ya’qilun. Kali ketiga memakai yatadabbarun, selanjutnya yatadzakkarun, dan lain-lain. 

Semuanya mengarah pada upaya memfungsikan akal guna meraih pengetahuan atau pengetahuan dan hikmah, bahkan guna meraih rusyd yang menjadikan peraihnya dinamai Ulu al-Albab atau ar-Rasikhun fi al-Ilm (orang yang mantap dalam pengetahuannya). 

Al-Qur’an tidak saja menganjurkan penggunaan akal, tetapi juga mengecam yang tidak menggunakannya untuk meraih ilmu dan hikmah. Ini antara lain terbaca dalam firman-Nya pada QS. Az-Zumar ayat 9: "Apakah orang yang beribadah di waktu-waktu malam dalam keadaan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: 'Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?' Sesungguhnya orang yang dapat menarik pelajaran adalah Ulu al-Albab." 

Demikian juga firman-Nya dalam Q.S. Al-Araf ayat 179: "Sungguh Kami telah ciptakan untuk Jahannam banyak dari jin dan manusia; mereka mempunyai hati, tetapi tidak mereka gunakan memahami dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak mereka gunakan melihat, dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak mereka gunakan untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai." 

Di samping itu, al-Qur’an menggarisbawahi perlunya menghindari hal-hal yang dapat menghambat akal untuk berpikir lebih jernih dan beramal lebih baik. Kecaman al-Qur’an terhadap mereka yang mengikuti tradisi leluhur tanpa dasar ilmu merupakan salah satu contoh dari penekanan kitab suci ini menyangkut pentingnya penggunaan akal. 

Memang, kaum muslim dituntut untuk percaya, tetapi kepercayaan yang harus didukung oleh ilmu dan dikukuhkan oleh hati yang suci, bukan sekadar percaya atas dasar pengamalan dan pengamalan leluhur. 

Bertebaran ayat yang mengandung makna ini, antara lain Q.S. Al-Baqarah ayat 170: Apabila dikatakan kepada mereka (oleh siapa pun): 'Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,' mereka menjawab: '(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari perbuatan nenek moyang kami.' 

Dengan uraian di atas kiranya dapat disimpulkan bahwa akal yang dimaksud oleh al-Qur’an adalah akal yang mengantar manusia meraih pengetahuan dan hikmah serta mengantarnya menuju akhlak luhur serta pemeliharaan kesucian nurani. 

Tuntunan Sunnah tentang Akal 

Sikap Nabi SAW, bahkan ucapan-ucapan beliau pun, menunjukkan kedudukan akal yang sangat penting. Perhatikanlah, antara lain dialog beliau dengan Mu’adz bin Jabal RA, yang beliau tugaskan ke Yaman untuk menangani urusan kaum Muslim di sana. 

Nabi bertanya kepadanya: “Atas dasar apa engkau memutuskan perkara jika engkau harus memutuskan?” 

Mu’adz menjawab: “Aku memutuskan berdasarkan apa yang terdapat dalam kitab Allah/al-Qur’an.” 

Nabi kembali bertanya: “Kalau engkau tidak menemukan di sana?” 

“Dengan Sunnah Nabi SAW,“ jawab Mu’adz. 

“Kalau di Sunnah Nabi pun engkau tidak temukan?” tanya Nabi lagi. 

Mu’adz menjawab: “Aku berijtihad/berusaha dengan sungguh menggunakan akalku tidak berlebih (dalam berijtihad).” 

Mendengar jawabannya, Nabi SAW mengetuk dengan telapak tangan beliau ke dada Mu’adz pertanda memberi persetujuan beliau. Lalu Nabi bersabda: Segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rasulullah menuju apa yang diridai Rasulullah (HR. Ahmad, Abu Daud. Dan at-Tirmidzy). 

Memang, ada sementara ulama hadis yang menolak secara langsung semua hadis yang berbicara tentang akal. Itu mereka nyatakan tanpa merinci alasan-alasan ilmiah yang biasa digunakan ulama hadis ketika menilai kesahihan hadis. 

Ibnu al-Qayyim, Ibnu al-Jauzy, dan lain-lain menegaskan bahwa semua hadis yang berbicara tentang akal adalah palsu. Al-Imam ad-Daraquthny menyebut empat nama yang merupakan sumber utama hadis-hadis itu dan yang dinilainya sebagai pembohong-pembohong. 

Dari satu sisi harus diakui bahwa memang ada hadis-hadis Nabi yang bila terhadapnya dapat dilakukan kritik sanad (rentetan perawinya), matan (kandungannya) yang harus ditolak, tetapi itu bukan menolak keseluruhannya, lalu atas dasar itu menolak penggunaaan akal. 

Ibnu Taimiyah yang juga berbicara tentang akal dan terkesan menilai hadis-hadis tentang ini lemah, dia pun sama sekali tidak menolak penggunaan akal. Bahkan beliau menggunakannya dalam sekian banyak persoalan. 

Penolakannya itu lebih terarah (sebagai kritik) terhadap akal yang dipahami dan digunakan oleh filsuf-filsuf Yunani dan pemikir-pemikir Muslim yang menggunakannya serta terkagum-kagum dengan mereka. 

Related

Moslem World 2408958851652547995

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item