Misteri Bung Tomo dan Kisah Berdarah di Balik Masa Revolusi Indonesia


Banyak laskar pemuda terbentuk dan menjadi garda terdepan dalam aksi Masa Bersiap. Bahkan dalam masa-masa penuh kekacauan itu nama salah seorang Pahlawan Nasional, Sutomo atau Bung Tomo turut disebut sebagai salah satu pemimpin laskar yang terlibat dalam aksi. 

Selain itu ada juga nama Abdul Xarim MS yang menjadi pimpinan aliansi revolusi yang menggerus kekuasaan kesultanan di Sumatera dengan cara keji. 

Masa Bersiap atau dalam Bahasa Belanda disebut dengan Bersiap-tijd adalah masa kelam dan kacau dalam bagian sejarah kemerdekaan Indonesia. 

Pasca merdeka sejak pertengahan Agustus 1945 hingga awal 1946 kerap terjadi pembunuhan, pemerkosaan, dan penjarahan yang menyasar orang Eropa dan peranakan Belanda, ataupun kelompok masyarakat yang dianggap pro-Belanda, seperti etnis Ambon, etnis Minahasa, dan etnis Tionghoa.

Di Surabaya misalnya, pada tragedi kekerasan Simpang Club, kelompok yang disebut-sebut sebagai pelaku aksi yakni Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia (BPRI). Laskar ini didirikan oleh salah seorang pahlawan, Sutomo, atau yang lebih dikenal Bung Tomo. 

Menurut Dosen Departemen Sosial Politik Australian National University, Rosalind Hewett, dalam tulisannya di Inside Indonesia, menjelaskan BPRI adalah laskar yang mengumpulkan orang-orang Eropa, Indo, Ambon, dan Manado, pria maupun wanita di Simpang Club (sekarang Balai Pemuda). 

Mereka disebut menginterogasi, menyiksa dan membunuh ratusan orang tersebut. Bahkan seorang saksi mata, kata Hewett, mengatakan Bung Tomo ikut hadir dalam peristiwa pembantaian di sana.

Bung Tomo dalam otobiografinya memang mengakui ia pernah mendatangi lokasi tersebut, namun ia mengklaim hanya hadir sekali ke Simpang Club. Ia mengaku khawatir melihat tindakan para pemuda yang darahnya panas sehingga bukan tak mungkin membantai para tahanan Belanda. 

Bantahan Bung Tomo itu menurut Rosalind Hewett berlawanan dengan cerita para pemuda Jawa Timur lain yang menunjuknya sebagai pemimpin. Memang membahas perannya secara lebih luas pada tragedi tersebut masih menjadi hal tabu. 

"Membahas secara luas keterlibatan Sutomo selama Masa Bersiap menjadi hal tabu, terutama karena Sutomo merupakan pahlawan nasional,” kata Hewett.

Tragedi-tragedi yang terjadi saat Masa Bersiap menurut sejarawan JJ Rizal bukan tanpa sebab. Menurutnya banyak faktor yang mengakibatkan arus revolusi seperti di Surabaya sukar dikendalikan seperti tanggul jebol. Terutama karena sikap Sekutu yang memberi ruang lebih pada Belanda.  

"Dan ini juga ada kesengajaan pihak Belanda untuk membuat situasi kacau agar di tingkat internasional timbul citra ketidakberadaban. Karena Indonesia dikuasai sekelompok bandit untuk melegitimasi tindakan militer," ujar Rizal.

Rizal pun menjelaskan bahwa tindakan kekacauan yang terjadi saat itu karena masyarakat menolak datangnya kembali Belanda pasca merdeka. 

"Memang ada unsur bandit, sebab situasi kritis timbul anarki atau keadaan power vacuum (kekosongan kekuasaan). Tapi mayoritas terbesar adalah semangat besar badan perjuangan, laskar menolak kembalinya kolonialisme Belanda yang sangat dibenci dan pembersihan semua yang berkait dengan kolonialisme, ini mengakibatkan destrukturalisasi lembaga-lembaga terutama pemerintahan serta disintegrasi nilai-nilai lama," bebernya.

Aktor lain

Peristiwa pembantaian serupa seperti di Jawa juga terjadi di Sumatera Timur. Targetnya ialah anggota kesultanan yang dianggap oleh kelompok pro-kemerdekaan sebagai antek Belanda. 

Ketika Jepang hengkang dari Nusantara, terjadi kekosongan kekuasaan di Indonesia. Walaupun di Jakarta Sukarno dan Hatta telah memproklamirkan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, namun kabar tersebut baru terdengar di Sumatera pada bulan Oktober 1945. 

Keadaan tersebut menjadi celah terjadinya pergolakan akibat tidak adanya kepemimpinan tunggal. Baik sultan maupun para pimpinan organisasi politik, mereka merasa berhak memegang kendali.

Pemimpin organisasi pergerakan merasa kekuasaan feodal kesultanan yang selama ini berlangsung dalam struktur masyarakat menjadi penghalang jalannya revolusi. Slogan-slogan seperti anti kolonialisme, anti feodalisme, nasionalisme, patriotisme, dan demokrasi semakin mendorong bergulirnya revolusi sosial yang digerakkan oleh laskar Persatuan Perjuangan atau Volksfront. 

Aliansi ini terdiri dari banyak organisasi seperti Gerindo, PKI, PARSI dan PNI, dan Barisan Harimau Liar. Mereka lalu menggelar rapat akbar pada 1 Maret 1946. Rapat turut dihadiri M. Yunus Nasution, Marzuki Lubis, bersama divisi IV TRI (Kol. A. Tahir dan Mahruzar) dan Abdul Xarim MS yang menjadi pemimpinnya.

Xarim bersama Volksfront lantas menghimpun kekuatan pemuda. Mereka dibentuk menjadi senjata revolusioner untuk menyisihkan pengaruh pejabat-pejabat kesultanan yang dinilai menghambat perjuangan revolusi. 

Mengutip tulisan Anthony Reid dalam Perjuangan Rakyat: Revolusi dan Hancurnya Kerajaan di Sumatera, tindakan para pemuda revolusioner dalam menggeser pengaruh kesultanan begitu brutal. Salah satu peristiwa yang menjadi catatan kelam masa revolusi terjadi di Tanjung Balai Asahan pada 3 Maret 1946.

Pagi hari itu massa Volksfront yang dipimpin Xarim telah berkumpul akibat mendengar kabar bahwa Belanda akan mendarat di Tanjung Balai. Namun tak lama setelah itu mereka malah mengubah arah dengan mengepung Istana Sultan Asahan. Mereka menyerbu istana guna menuntut pertanggungjawaban atas kebobrokan sistem yang selama ini berlangsung.

Massa mengamuk. Kebencian dan hasrat balas dendam terhadap feodalisme begitu kental, sehingga benturan yang berujung pada pembunuhan, penculikan dan tindakan kekerasan lain tak dapat dicegah lagi. 

Kekerasan itu mengakibatkan banyak kaum bangsawan Sumatera Timur tewas. Hanya dalam beberapa hari saja total korban dari kalangan kesultanan ini mencapai 140 orang. Di Tanjung Bali dan Tanjung Pasir, hampir semua bangsawan mati terbunuh.

Kekerasan juga terjadi di Simalungun, Kesultanan Besar Deli Serdang dan Kesultanan Langkat. Akibat kerusuhan itu Kelompok Barisan Harimau Liar membunuh Raja Pane dan penyair Amir Hamzah.  

Kematian Amir Hamzah bisa dibilang tragis. Ia tak buru-buru langsung dibunuh saat itu. Dirinya ditahan terlebih dulu di sebuah rumah di tepi Sungai Mencirim Binjai selama dua minggu. Barulah kemudian ia dieksekusi mati dengan cara ditebas lehernya.

Selain Hamzah, korban keganasan Masa Bersiap juga menimpa dua orang putri Sultan Langkat, pada 9 Maret 1946. Mereka diperkosa oleh dua orang anggota Volksfront, Marwan dan Usman. Beruntungnya, para pemerkosa itu ditangkap dan dieksekusi mati. 

Related

History 6548384848191504759

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item