Apa Dampak Kenaikan Harga Pertamax Pada Perekonomian Indonesia?


Pemerintah memberi sinyal kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertamax pada 1 April 2022. Sinyal positif itu disampaikan langsung oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir saat memberi kuliah umum di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin Makassar. 

Erick menyampaikan, Pertamax atau RON 92 tidak lagi diputuskan menjadi Jenis BBM Khusus Penugasan (JBKP). Pertamax nantinya akan mengikuti pergerakan harga minyak dunia atau tidak disubsidi oleh pemerintah. 

"Tetap tunggu 1 April. Jadi kalau Pertamax naik ya mohon maaf, tapi kalau Pertalite disubsidi," ujar Erick dalam kuliah umum di Gedung Rektorat Universitas Hasanuddin Makassar. 

Saat ini, harga minyak mentah dunia telah menembus 119 dolar AS per barel. Sedangkan, dalam asumsi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2022 harga minyak dunia ditetapkan hanya sebesar 65 dolar AS per barel. Tingginya harga minyak dunia tersebut otomatis berpengaruh terhadap harga BBM. 

Berdasarkan data Kementerian ESDM, batas atas harga jual jenis BBM umum RON 92 pada Maret 2022 sebesar Rp14.526 per liter, bahkan bisa menembus sampai Rp16.000 pada April 2022. Harga tersebut merupakan cerminan dari harga keekonomian BBM RON 92 berdasarkan formula harga dasar dalam perhitungan harga jual eceran jenis BBM Umum. 

Namun hingga saat ini, Pertamina masih menjual harga Pertamax Rp9.000 per liter. PT Pertamina (Persero) sendiri masih menghitung penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Pertamax. 

Dalam penyesuaian harga Pertamax, Perseroan tetap mempertimbangkan perkembangan harga minyak dunia saat ini berada di atas 100 dolar AS per barel. Di sisi lain, juga tidak mengesampingkan daya beli masyarakat. 

"Kami masih review penyesuaian harganya, termasuk besarannya," kata Penjabat Sementara (Pjs) Corporate Secretary PT Pertamina Patra Niaga, Irto Ginting. 

Kenaikan harga khusus BBM Pertamax bukan kali pertama di era pemerintahan Joko Widodo. Pada 2016, mengutip laman Pertamina, daftar harga Bahan Bakar Khusus (BBK) Pertamax terhitung 15 Agustus 2016 lalu mencapai Rp7.350 per liter untuk regional DKI Jakarta. 

Pada 2017, Jokowi memutuskan untuk menaikkan harga Pertamax pada 1 Agustus sebesar Rp900 per liter. Sehingga dari sebelummya Rp7.350 menjadi Rp8.250 per liter. Selanjutnya, harga Pertamax kembali berubah menjadi Rp10.400 per liter pada 10 Oktober 2018. Atau mengalami kenaikan sebesar Rp2.150. 

Namun, pada 10 Februari 2019, pemerintah memutuskan menurunkan harga Pertamax menjadi Rp9.850 per liter. Lalu pada 1 Feburari 2020 pemerintah kembali menurunkan harga Pertamax jadi Rp9.000. Angka tersebut bertahan sampai saat ini. 

Dampak Ekonomi usai Pertamax Naik 

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira mengatakan, sebaiknya pemerintah menahan dahulu kenaikan harga Pertamax. Sebab menurutnya, masih banyak skema dana kompensasi dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kepada Pertamina untuk menahan kenaikan harga BBM jenis non-subsidi. 

"Solusi terbaik adalah tambahan dana kompensasi dari APBN," kata Bima. Dia mengatakan, jika pemerintah tetap menaikkan harga Pertamax, maka dikhawatirkan dampaknya, adanya migrasi. Masyarakat menengah atas yang tadinya menggunakan Pertamax, kemudian beralih menggunakan Pertalite karena disubsidi oleh pemerintah. 

"Apa semua kelas menengah tadi akan beralih ke Pertalite? Bisa jadi. Ujungnya menciptakan masalah baru juga di Pertalite dan akan merembet ke beban keuangan pemerintah," kata dia. 

Untuk menghindari hal tersebut, Staf Khusus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Arya Sinulingga jauh-jauh hari bahkan sudah mengimbau kepada pemilik mobil mewah untuk tidak menggunakan BBM jenis Pertalite. Sebab BBM jenis tersebut merupakan bahan bakar yang disubsidi langsung oleh pemerintah. 

“Harusnya orang-orang kaya malu pakai Pertalite. Ini seharusnya memang yang namanya BBM untuk orang-orang kaya mobil mewah itu harusnya jangan disubsidi," kata Arya kepada wartawan. 

Arya mendorong para pemilik mobil mewah tersebut mengikuti tren harga pasar. Sebab, ini akan menjadi tidak adil bila BBM untuk mobil mewah justru dibebankan ke rakyat kecil. 

“Jadi semua khususnya BBM tidak disubsidi itu biar mengikuti mekanisme pasar," kata dia. Dia berharap, ada kesadaran bagi masyarakat menengah ke atas untuk mengikuti harga pasar untuk kebutuhan energinya. Lebih dari itu, Arya juga mendorong agar pemilik mobil mewah dapat beralih ke BBM nonsubsidi. 

“Itu kami dorong ke sana arahnya. Ikutanlah jangan bebani rakyat dengan mobil mewahnya," kata dia. 

Kembali bicara dampak, pengamat IndiGo Network, Ajib Hamdani justru punya pandangan lain. Dia melihat kenaikan harga Pertamax justru menimbulkan kenaikan inflasi. Saat ini memang Pertamax pangsa pasarnya khusus untuk masyarakat menengah cenderung ke atas. 

Namun, yang menjadi masalah, kata Ajib, adalah jika Pertamax naik tapi ketersediaan Premium dan Pertalite terbatas. Sehingga pilihan masyarakat mau tidak mau menjadi sangat terbatas, dan akan beralih ke Pertamax, apapun konsekuensinya. 

"Hal ini yang bisa mendorong tingkat inflasi menjadi lebih tinggi. Tidak mudah buat pemerintah mengendalikan tingkat inflasi hanya 3 persen sampai akhir tahun," jelas Ajib. 

Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan justru berpendapat lain. Dia mengatakan, seharusnya kenaikan Pertamax ini tidak memberikan dampak inflasi yang cukup signifikan. Terlebih masih ada BBM yang lebih murah dari Pertamax, sehingga masyarakat bisa menggunakan BBM jenis tersebut. 

"Inflasi masih di batas aman meskipun saat ini konsumsi Pertamax mencapai 12 persen dari total konsumsi nasional," tutupnya. 

Senada, pengamat ekonomi dan energi Universitas Gadjah Mada (UGM), Fahmy Radhi juga melihat kenaikan harga Pertamax memang berisiko akan menaikkan inflasi, tetapi kontribusinya kecil. Sebab, proporsi pengguna Pertamax sebagian masyarakat menengah ke atas. 

Kenaikan Pertamax bisa menimbulkan efek domino jika harga BBM lain ikut terkerek. Untuk itu, Fahmy menekankan betul kepada pemerintah jika Pertamax naik, jangan sampai harga Pertalite ikut terkerek. Sebab, pengguna BBM jenis ini, proporsinya mencapai 73 persen. Sehingga jika Pertalite ikut naik risiko kenaikan inflasi akan besar dan memperburuk daya beli masyarakat. 

"Apalagi dalam sebulan terakhir sudah didahului kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Tidak bisa dihindari beban rakyat akan semakin berat," kata dia. 

Di sisi lain, Fahmy juga menyarankan agar ke depan pemerintah bisa memberikan subsidi BBM tertutup kepada masyarakat. Sebab selama ini, subsidi diberikan pemerintah bersifat barang atau terbuka. Sehingga siapa pun bisa mendapatkan BBM subsidi. 

"Sekarang kan subsidi dilakukan terbuka, siapa pun bisa. Karena tidak ada sanksi," kata Fahmi.

Subsidi tertutup bisa dilakukan dengan skema kartu. Nantinya masyarakat kelompok bawah berhak mendapatkan BBM subsidi. Sementara masyarakat menengah ke atas, tidak memiliki kartu wajib menggunakan BBM nonsubsidi. 

"Tapi sekali lagi itu tidak mudah, karena untuk menentukan siapa yang berhak itu kita kesulitan data juga," tutupnya.

Related

News 8834146670147548094

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item