Kisah dari Gunung Sampah Terbesar Dunia di Dekat Jakarta (Bagian 1)



Bila problem pengelolaan sampah Jabodetabek gagal diatasi, dan TPST Bantargebang overload, maka bencana lingkungan dan kesehatan serius bisa mengancam warga maupun pemulung di Bekasi.

"Gunung" itu menyambutmu dari kejauhan, dengan kawanan lalat dan aroma busuk menyengat yang menyeruak. Iring-iringan truk mengantre sejak pagi hingga sore, membawa semua benda yang kau buang setelah selesai dikonsumsi. Bantargebang memang layak disebut sebagai gunung sampah.

Beberapa waktu silam, aktor kawakan Hollywood Leonardo DiCaprio sempat mengunggah postingan menyentil tentang Indonesia. Sebagai aktivis lingkungan hidup yang gigih di luar kegiatan syuting, Leo memposting ulang foto @natgeo, menyoroti kondisi Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. 

Leo menyebutnya sebagai tempat pembuangan sampah terbesar di dunia. Dalam foto itu, kita bisa melihat pemulung tengah mengais rezeki di tengah lautan sampah plastik.

Sebelum postingan Leo muncul, sudah banyak media yang memberitakan betapa TPST Bantargebang tak lagi mampu menampung sampah Jakarta. Setiap hari, ada sekitar 6.500-7.000 ton sampah yang masuk ke Bantargebang. Apabila pengelolaannya belum juga maksimal, maka TPST yang terletak di Bekasi ini terancam ditutup.

Anggota DPRD DKI Jakarta Bestari Barus sempat meminta bantuan Wali Kota Surabaya waktu itu, Tri Rismaharini, untuk menangani masalah sampah ibu kota yang tak kunjung terurai. Disebut-sebut menyanggupi permintaan Bestari, Risma memberi klarifikasi bahwa kejadiannya tidak seperti yang ramai dibicarakan. 

Risma mengatakan hanya menjawab pertanyaan Bestari terkait langkah yang diambil Kota Pahlawan dalam mengelola sampahnya. Dia sama sekali tidak mengiyakan ajakan membantu Jakarta mengatasi persoalan pelik ini.

***

Antrean truk cukup panjang jelang siang hari. Truk-truk tersebut bisa ditemukan dari jalan masuk Pangkalan Lima sampai ke pintu gerbang TPST Bantargebang di Kelurahan Ciketing Udik, Bekasi.

Kendaraan operasional itu tidak perlu menunggu lama untuk melewati pos timbangan. Setelah diambil alih Dinas Kebersihan DKI Jakarta, truk-truk pengangkut sampah yang datang dari berbagai belahan ibu kota bisa memasuki wilayah TPA kurang dari dua jam.

‘Pegunungan’ sampah di Bantargebang memang tinggi banget. Berdasarkan sejumlah laporan, tumpukan sampah di setiap zona sudah mencapai 40 meter. 

Apakah sampahnya murni berasal dari Jakarta, atau ada juga kiriman dari luar negeri, seperti yang dilakukan Australia. Ketika ditanya, petugas TPST Bantargebang untuk Provinsi DKI Jakarta Edi Sudrajat mengklaim sama sekali tidak menerima buangan liar—termasuk sampah impor—karena pengelolaannya sudah jauh lebih baik daripada saat dipegang swasta.

Ada banyak pemulung yang menuruni lereng gunung tersebut. Mereka seakan-akan sudah hafal pijakan aman mendaki gunungan sampah itu, bagaikan halaman rumah sendiri.

Padahal sampah yang ditimbun di Bantargebang tidak semuanya kering, sehingga bisa saja licin jika diinjak. Adakah pemulung yang pernah tergelincir sampai kehilangan nyawa? Lalu, bagaimana dengan musim hujan? Apakah mereka tetap mencari sampah di cuaca buruk seperti itu?

Ari adalah salah satu pemulung yang sudah lama menggantungkan nasib pada sampah Bantargebang. Lelaki berusia 53 itu merupakan pendatang dari Cibinong, dan dia rutin mencari terpal buangan. "Kalau saya [jadi pemulung] dari enam tahun, lah," ujarnya.

Soal kemampuannya mendaki gunungan sampah, Ari bilang kalau sebenarnya ada pijakan-pijakan yang memudahkan pemulung memanjat sampai paling atas. Terpeleset dan tak sengaja menginjak benda tajam adalah hal biasa. 

Tetapi sudah lama sekali tak ada insiden pemulung yang sampai tewas terperosok di gunung sampah. Insiden mematikan terakhir terjadi pada 26 Januari 2017, ketika seorang pemulung bernama Rusminah tewas tertimbun longsoran sampah Bantargebang.

"Yang sering mah gelinding, apalagi [pas] hujan," kata Ari. 

Kalaupun terluka saat bekerja, mereka sadar untuk segera mengobatinya ke puskesmas terdekat atau dengan obat warung. Salah satu dari mereka mengaku tidak mendapat jaminan kesehatan seperti BPJS, bahkan setelah mereka mengganti KK dan KTP-nya menjadi orang Bekasi.

"Ah apaan, yang pada bikin [KTP dan KK] sini aja enggak dikasih BPJS. Cuma orang sini aja yang dikasih.” 

Ari lebih lanjut menerangkan tidak ada pemulung yang mencari sampah saat hujan turun. Mereka baru akan melanjutkan pekerjaannya ketika hujan berhenti dan genangannya sudah surut. "Berhenti lah [pas hujan]. Kita hati-hati aja, kalau di tengah ada sih [pijakannya]. Kalau pas angin kencang, pada turun semua [pemulungnya]."

Kelebihan daya tampung bukan satu-satunya masalah TPST Bantargebang. Risiko pencemaran lingkungan turut mengintai. Meski lingkungan di sekitar zona sudah cukup tertata rapi—kecuali di titik buang tempat truk dan alat berat berkumpul yang mana air lindi dari dalam truk mengalir ke jalanan—kondisi permukiman baik di luar maupun dalam kawasan amat memprihatinkan.

Kendaraan pengangkut sampah yang datang silih berganti membuat warga dan pemulung terpaksa menghirup bau sampah yang amat mengganggu setiap harinya. Baunya mungkin belum seberapa saat masih pagi dan siang hari, tetapi semakin terasa menjelang sore dan malam hari. 

Menurut pengakuan pengemudi taksi online yang tinggal tak jauh dari TPST Bantargebang, semilir angin sore membuat aroma sampahnya menyebar hingga radius belasan kilometer.

TPST Bantargebang masih menerapkan sistem open dumping yang membiarkan sampah menumpuk hingga tinggi di lahan terbuka. Padahal, Undang-Undang Nomor 18 tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah melarang dilakukannya metode ini. Open dumping sangat berbahaya, karena dapat menyebabkan longsor dan melepaskan zat-zat kimia beracun dari sampah ke udara.

Misalnya seperti gas methane atau metana (CH4) yang dihasilkan dari penguraian sampah organik. Paparan metana yang berlebihan dapat membawa dampak buruk bagi kesehatan manusia—bahkan kematian—dan merusak planet. Gas metana memicu pemanasan global, karena mampu menyerap panas 34 kali lebih tinggi daripada karbon dioksida dalam skala waktu 100 tahun.

Edi mengatakan warga menerima kompensasi atau uang bau senilai Rp900 ribu per triwulan (walaupun banyak media lokal menyebutkan hanya Rp600 ribu setiap tiga bulan). Apakah hak mereka untuk hidup sehat tanpa udara tercemar bisa dibayar semurah itu?

Kehidupan warga di setiap musim pun sama beratnya. Angin berdebu yang terseret truk saat musim kemarau dapat membahayakan saluran pernapasan dan penglihatan mereka. Sementara itu, tetesan air lindi dari sampah yang basah kehujanan membuat warga lebih rentan terkena penyakit seperti diare dikarenakan lingkungan kotor dan penuh lalat.

Baca lanjutannya: Kisah dari Gunung Sampah Terbesar Dunia di Dekat Jakarta (Bagian 2)

Related

Indonesia 1178955788056502318

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item