Seribu Tahun Sebelum Darwin, Ilmuwan Muslim Sudah Menulis Teori Evolusi (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2022/05/seribu-tahun-sebelum-darwin-ilmuwan.html
Pada musim panas 1837, Charles Darwin menggambar sketsa sederhana di buku hariannya yang kelak melegenda. Sketsa itu menunjukkan garis lurus bercabang makin rumit ke bawah.
Goresan tinta ini menjadi fondasi gagasan Darwin mengenai proses evolusi makhluk hidup melalui seleksi alam, yakni adaptasi tumbuhan dan binatang merespons perubahan lingkungan, membuat satu spesies bertahan sementara yang lain punah. Di atas sketsa itu, Darwin menuliskan frasa, “Saya pikir beginilah prosesnya.”
Di buku-buku digambarkan kalau Darwin menduga terdapat proses seleksi alam setelah mengamati perubahan paruh burung di Pulau Galápagos. Kesimpulan observasi sederhana itu nantinya dianggap menghasilkan salah satu teori biologi yang terpenting sepanjang sejarah.
Dampaknya, narasi yang beredar sekarang terlalu menitikberatkan pada pengalaman Darwin. Padahal, sejujurnya, asumsi mengenai adanya evolusi makhluk hidup sudah dipikirkan ilmuwan jauh sebelum Darwin. Beberapa pengelola museum dan akademisi ingin mengubah paradigma tersebut, dengan cara merevisi kurikulum dan konsep pameran biologi.
Salah satu yang ingin memberi alternatif teori evolusi yang tak terlalu ‘Darwin-sentris’ adalah Guru Besar New York University, James Higham. Dia berbicara soal rencana perubahan kurikulum bagi mahasiswa yang mengikuti kelasnya untuk mata kuliah sifat-sifat ekologi.
Higham memperkenalkan beberapa nama ilmuwan pra-Darwin yang sudah memikirkan konsep evolusi. Nama alternatif yang paling dia tekankan adalah Al-Jahiz, akademisi muslim dari Irak yang hidup antara tahun 781 hingga 869 Masehi.
“Dokumentasi ilmiah menunjukkan kalau teori seleksi alam sudah dilontarkan ilmuwan seribu tahun sebelum Darwin ataupun Wallace,” tulis Higham.
Sedikit catatan, Darwin bukan satu-satunya akademisi asal Inggris yang membuat makalah tentang evolusi. Pada masa yang sama, Alfred Russel Wallace secara terpisah menyodorkan berbagai bukti adanya seleksi alam, setelah mengamati flora dan fauna di Sulawesi hingga Papua.
Higham merasa perlu mengajak mahasiswanya mengenal Al-Jahiz, setelah membaca karya-karyanya secara mendalam. Dia dulu sekadar mengenal nama Al-Jahiz sebagai ulama bidang filsafat Islam dan menjadi pemikir gerakan mu’tazilah. Namun, setelah dibaca lagi, Higham mengakui pemikiran Al-Jahiz telah masuk teritori kajian biologi serius untuk masanya.
“Saya benar-benar terkejut ketika mendapati beberapa makalah Al-Jahiz secara spesifik menyinggung konsep evolusi, atau lebih tepatnya seleksi alam,” kata Higham.
“Beberapa gagasan yang disampaikan Al-Jahiz misalnya kompetisi makhluk hidup berebut sumber daya alam yang terbatas, kemudian adaptasi lingkungan, serta dampak adaptasi makhluk pada kesiapan mereka menghadapi perubahan zaman.”
Dari catatan Higham, setidaknya ada delapan ilmuwan muslim yang sudah membahas teori evolusi, jauh sebelum Darwin. Higham tidak sendirian. Rio Diogo, asisten guru besar di Howard University, pada 2017 menerbitkan paper berjudul "An untold story in biology: the historical continuity of evolutionary ideas of Muslim scholars from the 8th century to Darwin’s time”.
Perubahan kurikulum yang dicetuskan Higham disambut positif akademisi lain. Beberapa dosen kampus lain merespons twitnya, lalu menyatakan akan merevisi kurikulum di kelas masing-masing.
Sebagian sudah melakukannya, seperti Andy Higginson, dosen biologi di University of Exeter yang menyatakan, "Aku belum lama ini juga memperkenalkan ilmuwan muslim saat mahasiswa belajar teori evolusi.”
Perubahan sikap para akademisi ini bukan hendak menuding Darwin meniru pemikiran ilmuwan muslim abad 8 hingga abad 10. Tapi penting bagi para pembelajar, terutama generasi muda, memahami bila ilmu pengetahuan berkembang dengan cara metode falsifikasi, dialektika, serta sintesis, menggabungkan pemikiran orisinal berbagai ilmuwan yang merentang berabad-abad.
“Sebab, sejarah pengetahuan selalu merupakan cerita keberhasilan kolektif umat manusia. Bukan sekadar kemampuan individu menciptakan karya besar, melainkan kolaborasi dan kegigihan manusia berjuang bersama menciptakan terobosan,” kata Salman Hameed, Direktur Kajian Ilmiah Lembaga Studi Muslim Societies di Hampshire College Amherst, Massachusetts.
Ada satu masalah yang menggelayuti penulisan sejarah sains, khususnya di Eropa dan Amerika Utara.
“Terlalu fokus pada pencapaian individu tertentu,” kata Sarah Qidwai, mahasiswa pascasarjana bidang sains murni di University of Toronto. Beberapa pemikir non-Barat akhirnya terpinggirkan, padahal turut menyumbang gagasan penting bagi pengembangan beberapa disiplin ilmu.
Erns Mayr, dalam buku The Growth of Biological Thought yang terbit pada 1982, menuding peradaban ilmiah dunia Arab, khususnya pemikir Irak, Iran, atau Mesir, “kurang berkontribusi pada kajian biologi.”
Pemikir Islam diakui kontribusinya pada filsafat, matematika, astronomi, atau kedokteran, tapi, bagi Mayr, tidak untuk bidang biologi. Asumsi itu jelas keliru, mengingat Dinasti Abbasiyah di Baghdad merupakan kekhalifahan Islam yang paling mendukung kebebasan intelektual, bahkan mendukung para ilmuwan masa itu untuk lebih sering meneliti dan menulis untuk topik apapun.
Sementara menurut Qidwai, ilmuwan muslim yang sezaman dengan Darwin saja ada yang mendukung seleksi alam. Salah satunya Sayyid Ahmad Khan, ulama India yang hidup di abad 19.
Ahmad Khan menulis beberapa makalah yang menjelaskan seleksi alam versinya sendiri. Sang ulama juga menegaskan, bahwa konsep evolusi tidak bertentangan dengan iman penganut Islam ataupun ajaran Al Quran. Karena teori ini sekadar menjelaskan cara kerja alam, bukan menjawab asal-usul manusia.
Sementara dari hasil pembacaan Rui Diogo, Al-Jahiz paling intensif membahas teori seleksi alam di Kitab Al-Hayawan, atau bisa diterjemahkan “Buku-buku tentang Binatang”, terdiri dari tujuh jilid. Dalam seri kitab itu, Al-Jahiz menuliskan hasil pengamatannya bertahun-tahun tentang pola hidup beragam binatang di Jazirah Arab.
Hasilnya, dari perbedaan karakter makhluk yang tinggal di daerah tandus dan subur, Al-Jahiz menyimpulkan kemampuan organisme bertahan hidup ditentukan kemampuan pihak yang lebih efektif mengumpulkan sumber daya. Sehingga, dia mengasumsikan makhluk hidup mengalami evolusi fisik, yang terjadi berkat ketentuan Allah SWT.
Baca lanjutannya: Seribu Tahun Sebelum Darwin, Ilmuwan Muslim Sudah Menulis Teori Evolusi (Bagian 2)