Kisah Kerusuhan Makassar 1998, Menjelang Turunnya Soeharto


Makassar adalah kota yang panas. Sebelum tuntutan mundur terhadap Soeharto bergema di sejumlah kota, Makassar beberapa kali dilanda chaos. Saat itu orang nomor satu di kalangan militer Sulawesi Selatan adalah Mayor Jenderal Agum Gumelar, yang menjabat Panglima Komando Daerah Militer Wirabuana sejak Agustus 1996. Markas Kodam yang kini bernama Hasanuddin itu di pinggiran Makassar. 

Sebelum 1998, Makassar dilanda amuk. Pada April 1996, sebelum Agum ditempatkan, terjadi kericuhan yang menelan tiga korban tewas selepas aksi demo menentang kenaikan tarif angkutan kota. 

Kerusuhan berbau politik terjadi pada kampanye Pemilihan Umum 1997, yang kerap disebut "pesta demokrasi" tetapi sebenarnya semu belaka karena pasti Soeharto yang tetap menjadi presiden lewat parlemen. Saat Golongan Karya, mesin politik Orde Baru, selalu jadi anak emas, massa pendukung Partai Persatuan Pembangunan saat itu kecewa. Penyebabnya, listrik padam saat kampanye PPP. 

“Massa merasa diperlakukan tidak adil. Massa yang sebelumnya tenang dan tertib seketika berubah beringas,” tulis Hermawan Sulistyo dalam Kekerasan politik dalam Pemilu 1999: laporan dari lima daerah (2000:71).
 
Gedung PLN jadi sasaran setelah kampanye. Kerusuhan pecah pada 22 Mei 1997. Hermawan menulis kerusuhan singkat itu mengakibatkan "mobil pihak keamanan, ATM Bank BNI, dan beberapa lampu jalan hancur." 

Para mahasiswa juga sudah muak dengan "politik mengambang" Orde Baru yang menempatkan rakyat dibuat apolitis, tetapi setiap lima tahun sekali diberi panggung untuk meluapkan ekspresi di jalan lewat kampanye parpol, yang sesungguhnya minim memiliki kekuatan politik. 

Salah satu gerbong mahasiswa yang marah itu datang dari Universitas Muslim Indonesia dan Universitas 45 Makassar. Mereka beraksi pada 24 Mei 1997. “[Mereka] memblokir Jalan Urip Sumohardjo, sementara rekan-rekannya membakar atribut Golkar,” tulis Hermawan Sulistyo. 

Tak cuma pada bulan Mei, peristiwa yang sama bergolak pada september 1997. Kali ini berbalut rasial. Pada 15 September, yang disebut "September Berdarah" oleh media-media, nasib nahas Ani Mujahidah Rasunnah, bocah berusia 9 tahun, akibat ditebas parang Benny Karre memicu kemarahan yang meluas. 

Benny, orang dengan masalah kesehatan jiwa tetapi kebetulan seorang Tionghoa, dibingkai "oleh pihak-pihak tertentu, orang-orang tak bertanggung jawab, untuk memancing air keruh," tulis Ratna Kustiati dan Fenty Effendi dalam Agum Gumelar: Jenderal Bersenjata Nurani (2004: 61-62). 

Peristiwa itu berbuntut aksi penjarahan pada toko-toko milik warga Tionghoa. Harian Suara Pembaharuan edisi 19 September 1997 menulis kerugian akibat kerusuhan itu mencapai Rp17,5 miliar. 

Menjelang Soeharto Mundur 

Menjelang Soeharto mundur pada 21 Mei 1998, Kota Makassar—masih bernama Ujung Pandang hingga 1999—kerap dipandang oleh otoritas Orde Baru sebagai daerah "rawan rusuh." Orang nomor satu untuk menjaga ketertiban pada awal tahun itu adalah Kolonel Polisi Jusuf Manggabarani, yang berasal dari Sulawesi Selatan. 

Pernah berdinas di Makassar sebagai perwira pasukan paramiliter kepolisian Brigade Mobil (Brimob), Manggabarani datang kembali dengan satuan elite Brimob Gegana berjumlah 200 personel dari Jakarta. 

“Kabarnya, kedatangan pasukan Gegana yang dipimpinnya itu, yang kini menjadi Kepala Kepolisian Kota Besar (Kapoltabes) Ujung Pandang, membuat pihak tentara kurang sreg seolah-olah tidak bisa menangani kerusuhan. Apalagi pihak Kodam Wirabuana belum menurunkan semua satuan pasukan,” menurut Sukriansyah S. Latif dan Tomi Lebang dalam Amuk Makassar (1998: 20). 

Kabar miring itu ditepis kalangan militer dan polisi, termasuk oleh Panglima Kodam. Dari pihak Kodam ada 16 satuan setingkat kompi. Dari kepolisian, ada pasukan yang dikerahkan dari daerah sekitar kota Makassar. 

Kompak tak kompaknya aparat keamanan dan ketertiban itu tetap tak menyurutkan tuntutan mahasiswa agar Soeharto segera mundur. Manggabarani tak bisa melarang mahasiswa berdemo, hanya menekankan agar musim demo 1998 itu "berjalan tertib." Ia terkadang harus menjadi negosiator, berharap mahasiswa kembali ke kampus dan menghindari aksi merusak. 

Pada 20 April 1998, ada 10.000 mahasiswa dari empat kampus tumpah ke Lapangan Karebosi, jantung Kota Ujung Pandang. Kolonel Jusuf Manggabarani mempersilakan demonstrasi itu asalkan "jangan coba-coba menurunkan bendera Merah-Putih tanpa upacara.” 

Aksi-aksi mahasiswa berjalan terus. Pada 29 April 1998, aksi massa itu melumpuhkan lalu-lintas. Saat keadaan mulai kacau, Mayjen Agum Gumelar dimutasi menduduki Gubernur Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas) pada 7 Mei 1998. Posisinya digantikan oleh Mayjen Suaidi Marasabessy. Seperti Agum, Marasabessy pun bersikap lunak kepada massa aksi.

Related

Indonesia 8802394212359956688

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item