Menguak Keributan Terkait Rempang Eco City (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2023/09/menguak-keributan-terkait-rempang-eco.html
Bentrokan terjadi ketika aparat gabungan TNI dan kepolisian memaksa masuk ke kampung adat di Pulau Rempang, Kepulauan Riau. Setidaknya enam warga ditangkap, dan sejumlah warga lainnya - termasuk perempuan dan anak-anak - menjadi korban tembakan gas air mata.
Sebanyak 16 kampung adat di Rempang Galang, Kepulauan Riau, terancam tergusur pembangunan proyek strategis nasional bernama Rempang Eco City.
Pada Kamis (07/09) pagi, aparat keamanan memaksa masuk ke kampung adat untuk melakukan pemasangan patok batas. Saat aparat mulai masuk terjadi lemparan batu dari arah warga yang kemudian disambut oleh gas air mata yang ditembakkan oleh aparat.
Aparat gabungan terus merengsek masuk dan menangkap beberapa warga. Mereka juga masuk ke kawasan sekolah di SMP 33 Galang dan SD 24 Galang. Gas air mata ditembakan ke arah sekolah-sekolah tersebut.
"Ketika di sekolah warga dan guru meminta tidak ada penembakan gas air mata karena ada anak SD, tiba-tiba [asap gas air mata] sudah sampai di atap sekolah," kata Bobi Bani, warga yang menyaksikan kejadian itu, Kamis (07/09).
Guru dan siswa sekolah tersebut terbirit-birit lari keluar dari sekolah. Beberapa dari mereka lari ke atas bukit-bukit yang ada di Rempang.
"Ada 11 orang murid yang dilarikan ke rumah sakit, sekarang sedang perawatan," kata warga lainnya, Rohimah.
Sementara itu, BP Batam mengimbau agar masyarakat tidak terprovokasi dengan isu terkait aksi represif yang dilakukan aparat gabungan.
Menurut Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait, masyarakat yang mengatasnamakan warga Rempang terlebih dulu melempar batu dan botol kaca ke arah personal keamanan yang akan memasuki kawasan kampung adat.
"Informasi dari tim di lapangan, sudah ada beberapa oknum provokator yang ditangkap pihak kepolisian. Beberapa di antaranya bahkan didapati membawa parang dan sudah berhasil diamankan," ujar Ariastuty, seperti dilansir dari kantor berita Antara.
Sebelumnya, sebagian masyarakat adat menolak direlokasi imbas proyek ini karena khawatir kehilangan ruang hidupnya. Sementara, BP Batam mengatakan proyek ini demi mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Pegiat HAM mengatakan kepolisian mulai "menakut-nakuti" sebagian masyarakat yang "vokal" menolak relokasi dengan pemeriksaan-pemeriksaan. Namun, kepolisian membantah hal tersebut, dan mengatakan tetap mengedepankan "musyawarah mufakat".
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menekankan bahwa BP Batam selaku pengelola kawasan telah melakukan sosialisasi, mulai dari musyawarah, mempersiapkan relokasi, termasuk ganti rugi terhadap masyarakat yang telah menggunakan lahan.
"Namun demikian, karena ada aksi, hari ini dilakukan upaya penertiban. Tentunya upaya musyawarah, sosialisasi, dan penyelesaian melalui musyawarah mufakat menjadi prioritas sehingga masalah di Batam bisa betul-betul bisa diselesaikan," tegas Listyo dalam konferensi pers, Kamis (07/09).
Pulau bersejarah
Rohimah, warga yang terdampak proyek pembangunan Rempang Eco City, menolak direlokasi dari kampung halamannya. "Itu sudah harga mati, itu janji kita bersama," kata Rohimah.
Rempang Eco City adalah proyek menjadikan sepenuhnya Pulau Rempang dan sebagian Pulau Galang dan Subangmas sebagai kawasan industri, perdagangan dan wisata yang terintegrasi, sebagai upaya pemerintah mendorong peningkatan daya saing Indonesia dari Singapura dan Malaysia.
Akhir bulan lalu, Rempang Eco City baru saja ditetapkan sebagai salah satu proyek strategis nasional (PSN).
Bagi Rohimah, Rempang dan sekitarnya adalah pulau bersejarah bagi nenek moyang, dirinya, dan keturunan nanti.
"Makanya kami tidak ingin relokasi, kalau kami relokasi hilang sejarah kami," kata Rohimah yang baru saja merayakan usia 50 tahun, sambil menambahkan kalau ia sama sekali tidak tergiur dengan janji tempat relokasi yang lebih mewah dan bagus.
Begitu juga yang dikatakan Rahimah, 53 tahun, warga Kampung Sembulang, Pulau Rempang. Kampung ini disebutnya menjadi relokasi tahap pertama.
Rahimah mengatakan, kampung dulu hutan belantara kemudian dibangun oleh datuk dan nenek moyang keluarga. "Saya ini ibu rumah tangga, perasaan kami tidak tentram setelah empat bulan lalu dapat kabar kami digusur, kami sedih macam mana kalau kami dipindahkan," katanya.
Rohimah menegaskan tidak menolak pembangunan, bahkan dirinya bersyukur ada pembangunan di dekat kampung halamannya. "Ada pembangunan kami bisa tambah usaha kami, tetapi kenapa harus di kampung kami, silakan bangun luar sana," katanya.
Ketua Kekerabatan Masyarakat Adat Tempatan (Keramat) Rempang dan Galang, Gerisman Ahmad, dalam beberapa kesempatan menegaskan warga kampung tidak menolak pembangunan, tetapi menolak direlokasi.
Warga mempersilakan pemerintah melakukan pembangunan di luar kampung-kampung warga. "Setidaknya terdapat 16 titik kampung warga di kawasan Pulau Rempang ini, kami ingin kampung-kampung itu tidak direlokasi," katanya.
Ia mengklaim warga Rempang dan Galang terdiri dari Suku Melayu, Suku Orang Laut dan Suku Orang Darat, telah bermukim di pulau setidaknya lebih dari satu abad lalu. "Kampung-kampung ini sudah ada sejak 1834, di bawah kerajaan Riau Lingga," kata Gerisman.
Sejak 1834 itu kata Gerisman, negara tidak pernah hadir untuk masyarakat adat Tempatan di Rempang. Mereka tidak kunjung mendapatkan legalitas tanah meskipun sudah diajukan. "Tiba-tiba sekarang kampung kami mau dibangun saja," tandasnya.
Dalam kesempatan terpisah, seorang warga Sembulang, Syamsudin Bujur, menunjukkan kuburan nenek moyang mereka di Pemakaman Al Fajri di Kampung Sebulang. Menurut Syamsudin, leluhur mereka sudah menempati pulau sebelum Indonesia merdeka.
Apa kata BP Batam?
Kepala Badan Pengusahaan Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Batam (BP Batam), Muhammad Rudi, mengatakan "tidak memungkinkan" kawasan industri dibangun berdampingan dengan permukiman warga.
"Karena ada lokasi tersebut sesuai peruntukan akan dibangun industri pabrik kaca dan solar panel semata terbesar kedua di dunia," kata Muhammad Rudi dalam keterangan tertulis, Senin (04/09).
Ia melanjutkan, masyarakat yang akan mendapat hak hunian di Kampung Nelayan Modern, lokasinya tidak jauh dari kampung sebelumnya dan masih berada di satu bibir Pantai.
Masyarakat yang memperoleh hak hunian dibagi menjadi beberapa kategori. Pertama, mereka yang dikategorikan warga kampung lama di luar kawasan hutan negara (APL). Kedua, warga kampung lama di kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK), dan ketiga warga di luar kampung lama di APL.
Kategori keempat adalah warga atau badan hukum di dalam hutan. "Tidak dapat ganti rugi," kata Muhammad Rudi.
Ketiga kategori warga ini akan memperoleh hunian tipe 45 dengan nilai Rp120 juta, dan maksimum 500 meter persegi, biaya sewa rumah selama masa pembangunan hunian, dan biaya hidup ditanggung sesuai ketentuan. Satu rumah terdampak akan diganti dengan satu hunian baru.
Baca lanjutannya: Menguak Keributan Terkait Rempang Eco City (Bagian 2)