Asal Usul Bani Abbasyiah dan Kiprah Mereka dalam Sejarah Islam
https://www.naviri.org/2024/10/asal-usul-bani-abbasyiah-dan-kiprah.html
Wangsa Abbasiyah memegang tampuk kekhalifahan setelah kekuasaan Umayyah di Syam runtuh pada 750. Keluarga besar ini merupakan keturunan dari 'Abbas bin 'Abdul Muthalib, paman Nabi Muhammad. Berpusat di kawasan Mesopotamia, Abbasiyah mengadopsi secara besar-besaran kebudayaan Persia ke dalam tubuh kekhalifahan.
Pada keberjalanannya, wilayah kekuasaan khalifah pada masa Abbasiyah perlahan semakin menyusut hingga hanya di sekitar Mesopotamia. Banyak pihak mendirikan dinasti mereka sendiri, dan menguasai suatu bagian dari dunia Islam seperti Wangsa Idrisiyyah yang menguasai Maroko, Aghlabiyyah yang memerintah di Ifriqiya, Dinasti Thuluniyah di Mesir dan Palestina, Bani Buwaih di Iran, Dinasti Samaniyah di Transoxiana, dan Seljuk yang menguasai wilayah yang sangat luas di kawasan Timur Tengah, Kaukasus, dan Asia Tengah.
Sebagian dari penguasa dinasti ini menggunakan gelar amir atau bahkan syahansyah (raja diraja), gelar penguasa Persia pra-Islam. Pada masa ini mulai muncul gelar sultan yang mulai digunakan untuk kepala negara Muslim dan mulai menggeser penggunaan gelar amir.
Meski banyak dari dinasti baru ini menguasai wilayah yang jauh lebih luas dari khalifah sendiri dan memerintah secara mandiri tanpa campur tangan khalifah, tetapi para amir dan sultan ini tetap mengakui kedaulatan khalifah atas mereka secara simbolis, dan khalifah tetap dipandang sebagai pemimpin dunia Islam secara keseluruhan.
Salah satu hal paling menonjol pada masa kekuasaan Abbasiyah adalah dukungan besar mereka pada ilmu pengetahuan, salah satunya adalah pembangunan Baitul Hikmah, tempat penerjemahan, pengumpulan, penggabungan, dan pengembangan ilmu dari kebudayaan Romawi kuno, Tiongkok, Persia, India, Mesir, Afrika Utara, Yunani, dan Romawi Timur.
Tidak hanya menjadi jantung kekuasaan dan pemerintahan, Baghdad, dan dunia Islam secara umum, juga menjelma menjadi pusat ilmu pengetahuan, filsafat, pendidikan, dan kesehatan pada masa yang dikenal dengan zaman keemasan Islam.
Pada berbagai bidang - matematika, astronomi, alkimia, kedokteran, optik, dan sebagainya - ilmuwan kekhalifahan berada pada garda terdepan dalam kemajuan ilmu pengetahuan pada masa itu. Tidak hanya Muslim, ilmuwan dari kalangan non-Muslim juga turut memberi sumbangsih besar pada perkembangan ini.
Sastra dan literatur juga menjadi salah satu perhatian pada masa ini. Salah satu fiksi dari dunia Islam yang terkenal hingga saat ini, Seribu Satu Malam, yang merupakan kumpulan hikayat dan legenda, utamanya dikumpulkan pada masa Abbasiyah. Epik ini diyakini mulai terbentuk pada abad kesepuluh dan mencapai bentuk akhirnya pada abad keempat belas, jumlah dan jenis ceritanya berbeda-beda antara satu manuskrip dengan yang lain.
Syair Arab juga mencapai puncaknya pada masa ini. Salah satu syair terkenal dalam masalah percintaan adalah Layla dan Majnun. Berbeda pada masa kekhalifahan sebelumnya, peran perempuan dalam ranah publik memudar di zaman Abbasiyah.
Budaya Persia pra-Islam, utamanya di kalangan atas, sangat ketat dalam melakukan pemisahan dunia laki-laki dan perempuan. Perempuan kalangan atas hidup dipingit dalam harem sebagai lambang kesucian dan tingginya status sosial keluarga yang bersangkutan. Norma tersebut kemudian diadopsi Abbasiyah dan diikuti banyak umat Muslim pada masa-masa berikutnya.
Berbeda pada masa sebelumnya, kekhalifahan sudah tidak bisa dikatakan sebagai negara kesatuan lagi. Banyak dinasti baru bermunculan dan pemimpin mereka berkuasa secara berdaulat tanpa campur tangan khalifah. Meski begitu, mereka masih memberikan ketundukkan kepada khalifah meski hanya sebatas formalitas. Khalifah sendiri masih memiliki peran sebagai kepala negara sebagai penguasa di kawasan Mesopotamia.
Peran khalifah sebagai kepala negara baru benar-benar lenyap setelah Hulagu Khan menduduki Baghdad pada 1258 dan membunuh Khalifah 'Abdullah Al-Musta'shim. Setelah peristiwa tersebut, dunia Islam mengalami kekosongan dari kepemimpinan khalifah selama sekitar tiga tahun. Dari naiknya Wangsa Abbasiyah setelah penggulingan Umayyah sampai jatuhnya Baghdad, terdapat 37 khalifah.
Bani Abbasiyah di Kairo
Setelah jatuhnya Baghdad, anggota Wangsa Abbasiyah yang selamat melarikan diri ke Mesir yang saat itu dikuasai Kesultanan Mamluk dan melanjutkan tampuk kekhalifahan di sana mulai tahun 1261. Namun berbeda saat masih di Baghdad, khalifah pada masa ini sama sekali tidak memiliki wilayah kekuasaan. Khalifah hanya mengurus permasalahan upacara dan keagamaan, sementara kekuatan politiknya sangat terbatas.
Peran khalifah sebagai pemimpin umat Islam yang tadinya memiliki kekuatan politik sebagai kepala negara bergeser menjadi sepenuhnya hanya sekadar simbol. Hal ini mejadikan khalifah sering terombang-ambing saat terjadi guncangan di pemerintahan Mesir.
Tidak hanya mampu menunjuk khalifah baru yang dikehendaki, Sultan Mamluk bahkan mampu menggulingkan khalifah yang masih bertakhta saat terjadi perselisihan. Keadaan tersebut membuat khalifah pada periode ini sering disebut sebagai "khalifah bayangan".
Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1517 saat Kesultanan Utsmani yang berpusat di Konstantinopel menduduki Mesir, mengakhiri riwayat Mamluk. Khalifah saat itu, Muhammad Al-Mutawakkil, kemudian menyerahkan gelar khalifah kepada Sultan Utsmani, Selim I, menandai berakhirnya peran Wangsa Abbasiyah dan Quraisy sebagai khalifah.
Dari tahun 1261 sampai penaklukkan Mesir oleh Utsmani, terdapat 17 khalifah. Di antara mereka, tiga khalifah menjabat sebanyak dua kali dan seorang khalifah menjabat sebanyak tiga kali. Secara keseluruhan, Wangsa Abbasiyah menyandang gelar khalifah selama hampir tujuh setengah abad, menjadikannya sebagai dinasti terlama yang memegang peran sebagai pemimpin dunia Islam ini sepanjang sejarah kekhalifahan.