Kisah Wanita yang Membuat Tan Malaka Jatuh Cinta (Bagian 1)
https://www.naviri.org/2024/10/kisah-wanita-yang-membuat-tan-malaka.html
Suatu hari di bulan Juni 1912, seorang lelaki bernama Ibrahim mendapat gelar adat Datuk Tan Malaka dalam sebuah upacara adat masyarakat Minangkabau yang berlangsung di Pandan Gadang, Sumatra Barat. Sejak saat itu hingga akhir hayatnya, ia mengenakan nama Tan Malaka sebagai identitasnya.
Namun, perayaan upacara adat pada hari itu terasa kurang meriah. Sebab, sejatinya setelah pemberian gelar, acara dilanjutkan dengan prosesi mengikat diri dalam pertunangan. Untuk hal ini, Tan Malaka menolaknya.
"Menurut perkiraan kawan-kawannya, Tan Malaka tidak mau bertunangan karena ia [hanya] mau kawin dengan satu-satunya murid perempuan di sekolah guru, yakni Syarifah Nawawi," tulis Harry A. Poeze dalam Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-1925 (2000).
Nahas, cintanya bertepuk sebelah tangan. Bahkan, saat merantau ke Belanda untuk melanjutkan pendidikan di sekolah guru Haarlem, ia rutin menyurati pujaan hatinya. Namun, tak satu pun pernah terbalas. Tidak diketahui secara pasti apa yang menjadi alasan utama cintanya ditolak.
Mengutip Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan (2010), pada tahun 1980 Harry A. Poeze--sejarawan yang banyak menulis buku tentang Tan Malaka--pernah menemui Syarifah untuk mencari tahu alasan dirinya menolak cinta laki-laki revolusioner yang pernah menaksirnya. Namun, dalam pertemuan itu, tidak banyak informasi yang didapat. Ia hanya berkata, "Tan Malaka? Hmm, dia seorang pemuda yang aneh."
Anak Suliki Raden Ayu Bandung Syarifah Nawawi lahir di Bukittinggi, Sumatra Barat, pada 1896. Ia anak keempat pasangan Chatimah dan Engku Nawawi Sutan Makmur, seorang guru di Kweekschool atau lebih dikenal Sekolah Raja di Bukittinggi.
Mengutip Drs. Isma Tantawi, M. A. dalam Terampil Berbahasa Indonesia (2019, hlm. 26), bersama dengan Muhammad Taib Sutan Ibrahim, Engku Nawawi Sutan Makmur terlibat dalam penyusunan ejaan van Ophuijsen yang mulai diterapkan di Hindia Belanda pada tahun 1901. Sadar akan pentingnya pendidikan modern, Engku Nawawi mendorong anak-anaknya, termasuk Syarifah, untuk mengenyam pendidikan formal di Europeesche Lagere School (ELS), yang berhasil dituntaskannya pada tahun 1907.
Tidak lama setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke Kweekschool tempat ayahnya mengajar. Dari total 75 murid seangkatannya, ia satu-satunya murid perempuan dan dikenal sebagai murid yang cerdas.
Sekitar tahun 1914, setamat dari Kweekschool, ia bersama adiknya, Syamsiar, dikirim ayahnya ke Batavia untuk mengenyam pendidikan di sekolah Kristen, Salemba Kostschool. Sejak saat itu, Syarifah dikenal sebagai "perempuan Minang pertama yang menempuh sistem pendidikan sekolah Eropa," tulis Selfi Mahat Putri dalam Perempuan dan Modernitas: Perubahan Adat Perkawinan Minangkabau Pada Awal Abad Ke-20 (2018).
Di Batavia, ia dan adiknya menjalin hubungan pertemanan dengan seorang putri Cianjur bernama Tjoetjoe. Saking dekatnya pertemanan mereka, saat libur Natal tahun 1914, kakak-adik tersebut diundang oleh Tjoetjoe untuk berlibur ke kampung halamannya.
Setibanya di Cianjur, keduanya bertemu dengan Bupati Cianjur saat itu, R. A. A. Wiranatakusumah V, yang merupakan suami Tjoetjoe. Dalam pertemuan itu, tak disangka-sangka sang Bupati jatuh cinta kepada Syarifah. Bahkan, di hari-hari berikutnya, ia kerap dikirimi surat.
"Pikirannya terganggu dan terkacau oleh perhatian pria ini, ia jauh lebih tua, anggota ningrat Sunda [...] Anaknya telah lima orang, seorang putra dari perkawinannya yang pertama dan seorang putra serta tiga putri dari perkawinannya yang kedua," tulis Syarifah dalam buku hariannya dikutip dari otobiografi putri bungsunya, Mien Soedarpo, yang berjudul Kenangan Masa Lampau (1994).
Selain itu, gaya hidup sang Bupati dirasa sangat asing baginya. Terlebih, sebagai perempuan yang mengenyam pendidikan modern, ia masih menyimpan pengharapan untuk dapat mengembangkan dirinya. Namun pada Mei 1916, keduanya menikah dan dikaruniai dua anak laki-laki--yang kedua meninggal saat masih berusia 2 tahun--dan dua anak perempuan.
Empat tahun kemudian, suaminya diangkat sebagai Bupati Bandung dan Syarifah memangku gelar Raden Ayu Bandung. Mengutip kembali Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan (2010), keputusannya menerima pinangan Wiranatakusumah V, memunculkan anekdot yang menyebutkan bahwa Tan Malaka memantapkan dirinya menjadi seorang komunis untuk melawan kaum feodal yang telah merebut pujaan hatinya.
Baca lanjutannya: Kisah Wanita yang Membuat Tan Malaka Jatuh Cinta (Bagian 2)