Kisah Wanita yang Membuat Tan Malaka Jatuh Cinta (Bagian 2)
https://www.naviri.org/2024/10/kisah-wanita-yang-membuat-tan-malaka_01238448316.html
Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Kisah Wanita yang Membuat Tan Malaka Jatuh Cinta - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.
Pada 1923, keduanya berencana untuk menunaikan ibadah haji ke Makkah. Namun, rencana tersebut batal. Tanpa alasan yang jelas, Wiranatakusumah V memutuskan untuk pergi haji seorang diri. Syarifah diperintahkan untuk menunggu kepulangannya di Bukittinggi, bersama anak-anaknya.
Tidak banyak mendebat, ia memenuhi titah sang suami dan tiba di rumah orang tuanya pada 28 Maret 1924. Kesempatan itu ia gunakan untuk beristirahat panjang setelah melahirkan putri bungsu sambil menunggu kepulangan suaminya. Namun, di tengah masa menunggu, suaminya tiba-tiba mengajukan perceraian melalui telegram yang diterima oleh Engku Nawawi Sutan Makmur pada 17 April 1924. Alasannya, Syarifah dirasa "kurang luwes dan kurang bisa menyesuaikan diri dengan tradisi dan tata hidup Sunda," terang Mien Soedarpo (1994).
Berita perceraian menyebar dengan cepat melalui surat kabar yang diwarnai reaksi keras dan kecaman dari berbagai kalangan, termasuk Haji Agus Salim. Menurutnya, alasan gugatan cerai itu terlalu dibuat-buat. Lebih lanjut, Agus Salim menilainya sebagai bentuk penghinaan kepada kaum ibu dan pelanggaran terhadap ajaran Islam. Sebab dilakukan pada waktu yang kurang pantas, terutama saat melaksanakan ibadah haji.
Mengutip kembali Tan Malaka: Bapak Republik yang Dilupakan (2010), berita perceraian tersebut terdengar oleh Tan Malaka. Ia mencoba kembali untuk meminang cinta pertamanya, Syarifah. Nahas, untuk kedua kalinya ia kembali ditolak.
Setelah Perceraian
Mengutip kembali buku Mien Soedarpo (1994), setelah diceraikan, ia tidak pernah menikah lagi. Syarifah kemudian bekerja sebagai kepala sekolah de Meisjes Vervolg School (sekolah lanjutan perempuan) yang didirikan pemerintah kolonial di Bukittinggi. Pekerjaan itu diembannya dalam kurun waktu sepuluh tahun (1927-1937).
Kesedihan kembali menghampiri. Ayah dan sang ibu, meninggalkannya untuk selama-lamanya, masing-masing pada tahun 1928 dan 1937. Setelah itu, ia bersama putri bungsunya memutuskan untuk tinggal di Batavia. Setelah satu tahun tinggal di Kwitang No. 8, ia pindah ke Laan Bafadel, Meester Cornelis (Jatinegara), dan mulai bekerja sebagai Kepala Sekolah Kemajuan Istri milik Yayasan Kartini yang saat itu diketuai Siti Katidjah, kakak perempuan Achmad Soebardjo.
Dalam buku Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sumatera Barat (1982) disebutkan, selain aktif dalam pendidikan, ia juga aktif dalam organisasi Serikat Kaum Ibu Sumatera (SKIS) yang didirikan Rasuna Said pada 1912.
Mengutip surat kabar De Sumatra Post (10/3/1941), pada akhir 1940, Syarifah termasuk dalam sebuah Komisi Inspeksi Film di Hindia Belanda yang diketuai oleh pensiunan serdadu artileri, Letnan Kolonel R. F. C. Smith.
Pada masa pendudukan Jepang, setelah mengundurkan diri sebagai kepala sekolah, Syarifah melibatkan diri dalam organisasi wanita, Fujinkai. Atas tawaran dari teman-teman Belandanya, ia bersedia untuk pindah tempat tinggal ke Jalan Pegangsaan Barat No. 16. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mengelabui militer Jepang yang kapan saja dapat merampas rumah dan aset-aset mereka.
Pada Desember 1945, ia mendirikan organisasi Persatuan Wanita Republik Indonesia (Perwari). "Di samping keterpautan organisasi, ia meneruskan kegiatan pendidikannya dan memberi pengajaran kepada anak perempuan serta wanita muda yang tidak mempunyai biaya pendidikan. Mula-mula, ibu memakai sebuah kamar di rumah Ny. Abdoerachman untuk kegiatan pendidikan ini, kemudian ia memakai rumahnya sendiri," terang Mien Soedarpo (1994).
Sebagai pengakuan atas sumbangsihnya dalam memajukan pendidikan perempuan, ia menerima beberapa piagam penghargaan. Potret dirinya masih tetap tergantung di gedung Panti Trisula Perwari. Dalam buku Biografi Selasih dan Karyanya (1995), sebagai salah satu simbol emansipasi di tanah Minang, Sariamin Ismail alias Selasih--novelis wanita angkatan Pujangga Baru--pernah membuat sebuah puisi untuk Syarifah berjudul "Beringin Sakti".
Memasuki tahun 1984, kesehatannya mulai terganggu. Namun, kepada anak-anaknya ia berpesan, jangan sekali-kali dirinya dibawa ke rumah sakit, sekalipun jika kesehatannya semakin terganggu. Sebab, ia ingin meninggal dunia tempat tidurnya sendiri.
"Akhirnya tengah hari pada Ahad tanggal 17 April 1988, persis pada tanggal ketika 64 tahun sebelumnya dia menerima telegram mengenai perceraiannya, ibuku berpulang ke Rahmatullah. [...] Dia dimakamkan di Tanah Kusir," pungkas Mien Soedarpo dalam Kenangan Masa Lampau II (1997).