Vigilantisme dan Kekerasan Berlatar Dendam

 Vigilantisme dan Kekerasan Berlatar Dendam

Naviri.Org - Vigilantisme adalah aksi kekerasan yang dilakukan seseorang atau orang banyak kepada orang lainnya. Aksi semacam itu umumnya dilakukan kepada penjahat yang tertangkap, semisal pencuri, pencopet, penjambret, dan semacamnya. Namun, ada pula aksi kekerasan atau vigilantisme yang berlatar pembalasan dendam.

Dr. S. David Bernstein, psikolog forensik yang bekerja dengan FBI, memaparkan dalam Psychology Today, satu contoh kasus di mana vigilantisme dilakukan perorangan. Tahun 2010 silam, Omar Thornton melakukan pembunuhan massal di Connecticut. Mulanya, ia yang bekerja di toko minuman keras, dan dituduh mencuri bir. Lantas, saat disidang oleh pihak kantornya, Thornton sempat meminta izin ke toilet, lalu kembali membawa senjata dan mulai menembaki beberapa rekan kerjanya di ruang tempat ia disidang.

Thornton membuat justifikasi atas tindak kriminalnya dengan mengatakan, “Tempat ini adalah tempat yang rasis, mereka memperlakukan saya dengan buruk. Mereka memperlakukan orang-orang kulit hitam lainnya sama seperti saya, jadi saya memilih mengambil keputusan sendiri untuk menyelesaikan masalah itu. Saya harap, saya bisa menembak lebih banyak orang.”

Dalam kasus Thornton, dapat dimengerti bahwa vigilantisme yang dilakukannya bermotif balas dendam. Bernstein menjabarkan lebih lanjut faktor-faktor yang mendasari vigilantisme bermotif demikian. Perasaan termarginalisasi, pemikiran bunuh diri, dan akses terhadap senjata membuat seseorang nekat melakukan eksekusi tanpa pertimbangan penegak hukum.

Untuk konteks pemikiran bunuh diri, Bernstein mengambil contoh kasus Clay Duke yang mengamuk dan menembaki orang serta dirinya sendiri, setelah istrinya yang seorang guru, dipecat. Bernstein juga menyelipkan ungkapan “hati-hati dengan orang tak takut kehilangan apa pun” untuk konteks vigilantisme yang didasari pemikiran bunuh diri.

Tampaknya, hal ini pula yang melandasi aksi-aksi penghakiman sepihak para teroris yang ingin membalas dendam atau mengenyahkan pihak-pihak yang dianggap sebagai musuhnya, meskipun justru yang banyak menjadi korban adalah mereka yang tidak berdosa.

Ada pandangan menarik lain terkait alasan orang melakukan aksi main hakim sendiri. Dalam The Independent dinyatakan, aksi ini juga dapat dipicu oleh romantisasi vigilantisme di beberapa produk budaya populer semisal film Death Wish. Potret tokoh fiksi yang mencoba menegakkan keadilan lewat vigilantisme disebut-sebut mampu memotivasi orang melakukan aksi main hakim sendiri.

Tengok pula romantisasi adegan superhero yang membantai penjahat tanpa berkoordinasi dengan pihak penegak hukum. Pikiran mampu menjelma jadi pahlawan setelah menghakimi tertuduh kriminal inilah, yang bisa mendorong orang-orang melakukan vigilantisme.

Alasan lain orang terlibat dalam vigilantisme adalah ketidakpuasan terhadap pemerintah atau penegak hukum. Hal ini diungkapkan Daniel Jordan Smith (2004) setelah meneliti kasus vigilantisme di Nigeria. Dalam jurnalnya, ia menyatakan bahwa sekelompok massa yang merasa tidak aman dan tidak puas dengan pemerintah Nigeria terlibat dalam tindakan-tindakan kekerasan.

Kelompok yang disebut Bakassi boys ini kerap mengadili orang-orang yang dianggapnya bersalah dengan cara keji, dan polisi pun tak terlihat mengintervensi.

Baca juga: Misteri di Balik Pembunuhan Gianni Versace

Related

Psychology 2392711852799579140

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item