Negara-negara yang Digerogoti Korupsi

Negara-negara yang Digerogoti Korupsi

Naviri.Org - Di negara mana pun, korupsi seperti rayap. Ia ada, tidak terlalu tampak, tapi diam-diam menggerogoti fondasi pemerintahan. Karenanya, korupsi adalah bahaya laten, karena menjadi bahaya besar tapi keberadaannya tampak tidak berbahaya.

Jika berkaca pada negeri sendiri, kita tahu salah satu faktor yang menjadikan Soeharto jatuh dari kekuasaannya adalah karena korupsi. Soeharto telah berkuasa di Indonesia selama 32 tahun. Bersama Orde Baru, Soeharto menjadi sosok yang sangat kuat, sehingga tidak ada orang yang berani mengusiknya dari panggung kekuasaan. Namun, akhirnya, Soeharto jatuh karena praktik korupsi yang menggurita dalam pemerintahannya.

Sebenarnya, tidak ada negara yang kebal dari korupsi. Hanya kadar korupsinya yang berbeda di masing-masing negara. Transparency International mengeluarkan Corruption Perception Index yang mendata tingkat korupsi pada negara-negara di penjuru dunia. Ada beberapa hal yang dicatat Transparency International melalui laporannya.

Pertama, faktor yang menyebabkan negara memiliki indeks korupsi rendah ialah buruknya institusi publik macam polisi dan pengadilan, masifnya penyuapan, pemerasan, sampai penyalahgunaan anggaran oleh pejabat pemerintah.

Kondisi demikian dapat menyebabkan korupsi tumbuh subur, sistemik, melanggar HAM, hingga menghambat pembangunan berkelanjutan. Contoh nyata bisa dilihat di kasus korupsi Petrobas, perusahaan minyak nasional asal Brazil.

Kedua, negara dengan indeks korupsi tinggi (dalam artian tingkat korupsinya rendah) cenderung memiliki kebebasan pers, keleluasaan akses terhadap informasi, standar integritas yang kuat, dan sistem peradilan independen. Ketiga, korupsi dan ketidaksetaraan berandil dalam berkembangnya populisme.

Sepuluh besar negara dengan indeks korupsi tinggi mayoritas diduduki negara dari Eropa seperti Denmark, Swedia, Swiss, Norwegia, Belanda, dan Jerman. Tetangga Indonesia, Singapura, menjadi satu-satunya wakil Asia yang masuk ke dalam kategori tersebut. Sedangkan pada sepuluh besar terbawah, tujuh di antaranya adalah negara-negara Afrika seperti Somalia, Sudan Selatan, Suriah, Yaman, Sudan, Libya, dan Guinea-Bissau.

Dari sini lantas muncul pertanyaan: benarkah Afrika bisa dikatakan wilayah paling korup? Dan apabila betul, mengapa korupsi bergerak begitu masif di Afrika?

Pimpinan Transparency International Jose Ugaz mengatakan: “Korupsi [telah] menciptakan dan meningkatkan kemiskinan di samping melahirkan pengucilan. Di saat para pemegang kekuatan politik menikmati kehidupan yang mewah, jutaan orang Afrika menghadapi kekurangan kebutuhan dasar: makanan, minuman, pendidikan, kesehatan, perumahan, serta akses air bersih maupun sanitasi.”

Ucapan Ugaz bukannya tanpa dasar. Korupsi telah menyebabkan sekitar $50 miliar raib tiap tahunnya di Afrika. Sebagian besar kasus korupsi di Afrika merupakan penyuapan. Di Ghana, misalnya, korupsi terjadi dalam bentuk “penjarahan saham.” Politisi, pejabat publik, serta pelaku bisnis saling berkolusi untuk memperoleh keuntungan dari perjanjian kontrak usaha antara pemerintah dan swasta.

Lalu di Nigeria, para pejabat disuap oleh kontraktor asing dari Inggris dan Italia sebesar $1,1 miliar agar bersedia melepas akses ke ladang minyak yang disinyalir bernilai $500 miliar. Perusahaan ban Amerika, Goodyear, bahkan menyuap pejabat Kenya dan Angola sekitar $3,2 juta untuk memenangkan kontrak.

Data dari Bank Dunia menjelaskan, 71 persen perusahaan di Sierra Leone, 66,2 persen perusahaan di Tanzania, 64 persen perusahaan di Angola, 75,2 persen perusahaan di Kongo, dan 63 persen perusahaan di Mali, berharap dapat memberikan “hadiah” agar memperoleh kontrak dari pemerintah.

Suap nyatanya tidak sebatas dilakukan para elit pemerintah melainkan juga oleh masyarakat di Afrika. Hasil survei memperlihatkan satu dari lima orang Afrika dinyatakan membayar suap untuk mendapatkan dokumen resmi maupun akses terhadap kesehatan. Survei tersebut dilakukan dengan 43.000 koresponden di 28 negara Afrika.

“Ini [suap] terjadi mungkin karena orang miskin merasa tidak berdaya untuk melawan pejabat korup,” ujar koordinator penelitian dan survei Transparency International, Coralie Pring. “Ketika menghubungi polisi, lebih dari seperempat orang mengatakan pada kami bahwa mereka perlu menyuap untuk mendapatkan bantuan atau menghindari masalah.”

Stephanie Hanson dari Council Foreign Relations menjelaskan ada beberapa langkah yang bisa ditempuh untuk memutus mata rantai korupsi di Afrika, di antaranya menciptakan badan anti-korupsi. Sejauh ini hanya dua negara saja dengan keberadaan badan pengawas korupsi yang dianggap efektif yakni Namibia dan Malawi.

Selanjutnya, memperkuat institusi yang ada. Menurut para ahli, institusi pemerintahan di Afrika cenderung memfasilitasi lahirnya korupsi sebab terdapat ketidakseimbangan antara eksekutif, legislatif, serta pengadilan. Yang terakhir, Hanson menyarankan agar negara-negara Afrika mengurangi ketergantungan terhadap bantuan luar negeri.

Bagi sebagian pengamat ekonomi, hadirnya donor asing justru menjadi celah untuk korupsi serta menghancurkan hubungan antara negara dan rakyat, mengingat anggaran ini rawan disalahgunakan karena proses pencairannya tak seketat anggaran belanja pemerintahan.

Sementara posisi Indonesia menurut laporan Transparency International tersebut, berada pada urutan 90. Nilai Indonesia adalah 37 dari maksimal 100. Korupsi memang masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia.

Baca juga: Perjalanan Hidup Mugabe, Sang Diktator Zimbabwe

Related

World's Fact 6209957629443809213

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item