Mengenali dan Mewaspadai Teman yang Beracun

Mengenali dan Mewaspadai Teman yang Beracun

Naviri.Org - Semua orang senang punya teman, karena keberadaan teman-teman di sekeliling menjadikan hidup terasa lebih lengkap sekaligus indah. Dengan adanya teman, kita bisa saling berbagi, saling membantu, dan saling menguatkan. Di kala senang, kita bisa membagikan kesenangan kepada mereka, sebagaimana ketika sedih. Punya teman artinya punya bahu untuk bersandar, punya seseorang untuk dipeluk.

Sayangnya, tidak semua teman pasti baik. Di antara banyak teman baik yang kita kenal dan kita miliki, ada pula orang-orang yang tampak seperti teman tapi sebenarnya “beracun”, karena kehadirannya tidak memberi dampak positif bagi diri dan kehidupan kita, tapi malah sebaliknya.

Suzanne Degges-White, Ph.D., konselor psikologi dan salah satu penulis buku Toxic Friendship: Knowing the Rules and Dealing with the Friends Who Break Them (2015), menuliskan dalam Psychology Today bahwa teman yang ‘beracun’ juga sering kali mendatangi seseorang bila sedang membutuhkan sesuatu saja.

Tidak jarang ditemukan dalam pertemanan, satu pihak merasa dirinya adalah pusat dunia. Alih-alih balik mendengarkan kawannya, ia hanya ingin cerita kehidupannya saja yang jadi sorotan.

Terkait ego si teman beracun, kerap kali orang seperti ini ditemukan mengeluh berulang-ulang, merasa tidak puas dan putus asa dengan hidupnya. Mulanya, bisa saja seseorang merasa terhubung dan bersimpati terhadap cerita si teman beracun ini.

Namun, menyediakan diri setiap waktu sebagai “tong sampah” juga bukan pilihan yang baik bila ingin menjalani pertemanan sehat. Membiarkan teman beracun terus mencerocos soal nasib buruknya bukan hanya membuat seseorang pegal hati, tetapi juga tidak membantunya bangkit dan melalui batu sandungan yang membuatnya jatuh.

Selanjutnya, Degges-White menyebut teman yang beracun juga berusaha mengisolasi seseorang dari kawan-kawannya yang lain. Bila ada orang lain yang lebih bisa membuatnya senang, si teman beracun ini akan merasa iri setengah mati. Rumor tak sedap bahkan fitnah tentang orang lain itu pun tak segan-segan dilemparkannya untuk menjaga eksklusivitas pertemanan.

Kompetisi memang bisa dipandang sebagai suatu hal positif, tetapi ada kalanya hal ini menjadi duri dalam pertemanan. Idealnya, teman akan turut bahagia bila seseorang mencapai prestasi atau sukses mewujudkan cita-citanya.

Namun, teman beracun justru tak senang dengan kondisi ini. Di kepalanya, “bagaimana pun cara yang mesti ditempuh, saya harus selalu lebih unggul dari teman saya.” Bila cara yang dipilih dalam rangka bersaing bersifat destruktif terhadap kawan sendiri, sudah waktunya untuk menjaga jarak dengan orang-orang macam ini.

Pernah bertemu dengan teman yang memonopoli diskusi, menjadi pengambil keputusan tanpa mengindahkan pikiran atau perasaan kita? Ini pun menjadi gejala lain pertemanan tidak sehat.

Memang, jamak ditemukan “pemimpin geng” atau orang yang lebih dominan dalam lingkaran pergaulan. Akan tetapi, bila keputusan-keputusan yang dibuat kawan yang dominan membuat seseorang tidak bebas menjadi diri sendiri atau mengonsumsi banyak energi, pikiran, waktu, dan materinya, ia sebenarnya tengah menggandeng tangan musuh yang berselubung predikat kawan.

“Bro/sis, boleh pinjam uang enggak? Minggu depan diganti, deh.” Kalimat ini sering terlontar dari mulut kawan dan Degges-White memasukkannya juga dalam tanda-tanda pertemanan tidak sehat.

Normal saja bila janji membayar utang ditepati saban meminta bantuan dana. Namun, akan menjadi penyakit bila ia rutin meminjam tapi alpa mengembalikan. Teman adalah bank, boleh jadi ini yang dipikirkan si teman beracun. Tidak semua orang bisa tegas menagih utang teman. Ada kekhawatiran, bila salah ucap saat menagih, pertemanan akan kandas, dicap perhitungan atau tidak empati, dan lain sebagainya.

Ambivalensi menjadi hal lain yang patut diwaspadai dalam pertemanan. Ada kalanya teman terlihat begitu suportif dan responsif, tetapi di lain kesempatan, ia tampak sangat cuek, meremehkan kemampuan kita, bahkan mencibir tindakan yang kita pilih. Apa efek ambivalensi ini?

Dilansir Business Insider, psikolog dari University of Utah, Bert Uchino, menemukan bahwa seseorang lebih mungkin depresi dan tidak puas dalam hidup bila memiliki hubungan yang ambivalen. Pandangan Uchino ini disokong oleh temuan studi Michelle Duffy dari University of Minnesota yang melihat hubungan ambivalen cenderung menyebabkan turunnya kinerja seseorang di kantor.

Mengapa teman yang ambivalen disebut berbahaya? Lain dengan sikap teman beracun yang konsisten merugikan, teman yang ambivalen akan memicu seseorang untuk terus ragu, apakah ia mesti bertahan dengan teman macam ini atau tidak. Keraguan itulah yang nantinya bisa memicu kecemasan dan stres.

Selain stres, Uchino juga mengaitkan relasi ambivalen terhadap dampak negatif bagi kesehatan tubuh. Hasil penelitian Uchino soal relasi ambivalen ini juga seiring dengan temuan dari periset asal UCLA.

CBS New York memberitakan hasil studi mereka yang menyatakan interaksi sosial negatif alias pertemanan buruk bisa memicu tingginya kadar protein yang menyebabkan peradangan. Bukan cuma itu, diabetes, penyakit jantung, bahkan kanker pun disebut-sebut sebagai konsekuensi yang mungkin terjadi akibat pertemanan tidak sehat. 

Jan Yager, sosiolog dan penulis buku When Friendship Hurts (2002), berkomentar kepada CBS New York sehubungan hasil studi ini, “Akarnya bisa begitu dalam. Anda tidak bisa menghapus pertemanan yang sudah terjalin sejak usia 5.”

Yager merekomendasikan orang-orang yang menemukan masalah ini untuk menjauh dari teman beracun serta berkata terus terang kepadanya tentang kondisi pertemanan yang dirasa merugikan. Kendati sulit, bukan berarti mengakhiri pertemanan tidak sehat itu mustahil.


Related

Relationship 5283396147281484814

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item