Fakta di Balik Kesuksesan dan Kegagalan Start-up

Fakta di Balik Kesuksesan dan Kegagalan Start-up

Naviri.Org - Sebagian start-up meraih kesuksesan, sementara sebagian start-up yang lain harus menghadapi kegagalan. Tampaknya, hal semacam itu memang terjadi di berbagai bidang. Ada yang berhasil, ada pula yang tidak. Namun, terkait bisnis start-up, faktor-faktor penyebab kesuksesan dan kegagalannya bisa dipelajari, untuk kemudian dapat dijadikan pelajaran bagi orang lain yang ingin membangun start-up serupa.

Kenyataannya, start-up menjadi primadona di dunia bisnis saat ini, tidak hanya di Indonesia, namun juga di seluruh dunia. Popularitas itu ada karena sejumlah perusahaan start-up mampu berkembang menjadi sangat besar, bahkan mampu mengubah dinamika dunia bisnis dalam proses pengembangannya. Uber adalah contoh yang paling mudah dalam kasus ini.

Suksesnya perusahaan semacam Uber maupun Google memberi anggapan bahwa mendirikan start-up adalah bisnis yang sangat menjanjikan. Tapi kenyataannya tidak sesederhana yang ada di permukaan.

Seperti diwartakan Fortune, di Silicon Valley, pusat dan simbol kesuksesan perusahaan start-up di seluruh dunia, terdapat ungkapan umum bahwa 9 dari 10 perusahaan start-up mengalami kegagalan. Ungkapan ini adalah kristalisasi pengalaman para pendiri start-up yang menggambarkan betapa kerasnya perjuangan untuk membangun sebuah start-up.

Menurut laporan CBInsights, sebagian besar start-up gagal karena mereka tidak dapat melayani apa yang dibutuhkan oleh pasar. Sebanyak 42 persen dari 101 tulisan dari para founder perusahaan start-up menyatakan hal tersebut.

Sementara itu, 29 persen menyebutkan bahwa banyak dari perusahaan start-up kehabisan dana. Sisanya bervariasi, mulai dari tim yang tidak tepat, produk yang buruk, tersingkir oleh pesaing yang lain, hingga gagal melakukan pivot.

Dalam kasus start-up di Indonesia, analisis dari laporan CBInsights itu terbukti. Banyak perusahaan start-up yang gagal di Indonesia memiliki konsep bisnis yang terfokus pada "menyelesaikan masalah yang menarik untuk diselesaikan," bukan memfokuskan pada apa yang dibutuhkan oleh pasar.

Foodpanda termasuk ke dalam perusahaan yang gagal mengidentifikasi pasar Indonesia. Masyarakat Indonesia pada umumnya tidak membutuhkan layanan pesan antar yang menjaga kualitas makanan, seperti yang dilakukan oleh Foodpanda dengan menyediakan kotak penyimpanan khusus selama perjalanan, dan membatasi jangkauan pengantaran, yakni 25 kilometer.

Masyarakat Indonesia lebih menyukai banyaknya variasi makanan yang dapat dipilih, serta tidak terbatasnya jangkauan pengantaran seperti yang dilakukan oleh Go-Jek dalam layanan Go-Food miliknya.

Selain itu, seperti dikutip dari Tech in Asia, salah satu problem mendasar dari layanan pesan-antar makanan di Indonesia adalah kecilnya jumlah pesanan yang dilakukan oleh para pengguna layanan. Karena masyarakat Indonesia cenderung memesan makanan dalam jumlah kecil, maka untuk menutup biaya operasional, perusahaan harus bisa meningkatkan jumlah pemesanan. Hal itu gagal dipenuhi oleh Foodpanda, sebab mereka mengharuskan minimum nilai pemesanan dalam layanannya.

Tantangan bagi Indonesia

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo telah mengatakan bahwa ia punya mimpi Indonesia dapat mengambil peran dalam tren perubahan ekonomi dunia yang saat ini mulai bergeser pada ekonomi digital. Sebab, lanjutnya, Indonesia memiliki potensi besar mengembangkan ekonomi digital. Negara ini juga berpotensi pasar ekonomi digital yang besar karena jumlah penduduknya 250 juta, dan 93,4 juta di antaranya adalah pengguna internet.

Jokowi sendiri telah menegaskan pada bulan September 2016 lalu, bahwa Indonesia akan mendorong deregulasi besar-besaran untuk mengembangkan industri e-commerce di Indonesia.

"Saya minta segera dilakukan percepatan implementasi. Karena, kalau tidak segera kita kejar, kita akan tertinggal oleh negara-negara di sekitar kita," tegasnya, seperti dikutip dari laman resmi Sekretariat Kabinet.

Namun, hingga saat ini belum banyak yang berubah dalam tatanan industri e-commerce. Dengan banyaknya start-up bertumbangan di Indonesia, seharusnya menjadi tamparan "dini" bagi pemerintah dalam hal pengembangan industri digital Tanah Air. Industri digital berevolusi dengan cepat. Jika pemerintah Indonesia tidak mampu memfasilitasinya, berkembangnya ekonomi digital Indonesia hanya berhenti sebagai mimpi.

Baca juga: Deretan Start-up Indonesia yang Tumbang

Related

Business 1010599528410534284

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item