Kisah Skandal Hoax Terbesar Jurnalisme Amerika (1)

Kisah Skandal Hoax Terbesar Jurnalisme Amerika

Naviri.Org - Masalah terbesar bagi para pembaca berita adalah hoax atau berita palsu. Karenanya, para pembaca pun umumnya memilih media yang terpercaya atau berintegritas, demi terhindar dari hoax. Bagaimana pun, media yang berintegritas akan menyaring berita-berita yang ditulisnya, dan melakukan verifikasi atas berita yang dirilis, sehingga dapat meminimalisir kemungkinan terjadinya hoax.

Namun, meski begitu, bukan berarti media besar atau berintegritas sama sekali tidak pernah memberitakan hoax. Nama besar bukan jaminan sebuah media tak akan menerbitkan konten hoax. Sama halnya editor berpengalaman tetap tak luput dari kesilapan. Pun demikian dengan sistem editorial ketat dan berjenjang juga punya celah untuk meloloskan berita palsu.

Itulah yang menimpa The Washington Post (selanjutnya The Post) pada awal dekade 1980-an, tepat saat media itu sedang jaya-jayanya. Koran yang beroperasi sejak 1877 itu dikenal integritasnya usai berhasil membongkar kasus besar seperti Pentagon Papers dan skandal Watergate. Sayangnya, reputasi itu tercoreng oleh hoax dan kecurangan wartawannya sendiri, Janet Leslie Cooke.

Tanggal 16 April 1981 barangkali hari tergelap dalam sejarah The Post. Ben Bradlee, editor eksekutif, mengumumkan dengan berat hati bahwa koran itu telah mengembalikan penghargaan yang diterima wartawannya kepada Komite Pulitzer. Ini dilakukan lantaran Cooke mengaku telah memfabrikasi beritanya yang memenangi penghargaan. Tak hanya itu, ia juga mengakui telah memalsukan data riwayat pendidikan yang diserahkannya kepada Komite Pulitzer.

Kasus Cooke pun menjadi kasus hoax paling terkenal dalam sejarah jurnalisme Amerika Serikat.

Fabrikasi kisah Jimmy

Suatu saat di bulan Agustus 1980, editor rubrik mingguan The Post, Vivian Aplin-Brownlee, mendengar selentingan tentang heroin jenis baru yang beredar di jalanan Washington. Dia lalu meminta Cooke menelusuri isu itu. Cooke tak berhasil menemukannya, tetapi dia mendapat banyak bahan soal penggunaan heroin di Washington.

Cooke mengumpulkan dua jam rekaman wawancara, 145 halaman catatan tulisan tangan, ditambah setumpuk pamflet dan dokumen soal penyalahgunaan narkoba. Saat Aplin-Brownlee memeriksa bahan-bahan yang dikumpulkan wartawati barunya tersebut, ia pikir itu cocok untuk desk metropolitan The Post.

Cooke lalu menunjukkan hasil penelusurannya kepada editor berita perkotaan, Milton Coleman. Saat itu, beberapa berita tentang peredaran narkoba juga sedang rutin mengisi lembaran The Post. Coleman dan Cooke membahas bersama kemungkinan untuk menerbitkan kisah orang-orang yang kecanduan heroin. Coleman tertarik ketika Cooke menyebut seorang pecandu berusia 8 tahun.

“Itu baru berita, lanjutkan! Itu kisah untuk halaman depan,” kata Coleman.

Sekitar tiga minggu Cooke mengerjakan kisah tersebut. Kepada Coleman, ia mengaku kesulitan mewawancarai ibu si bocah pecandu itu. Coleman menyarankan Cooke menawarkan anonimitas kepadanya. Cooke juga takut mendapat intimidasi dari pacar ibu si bocah. Tetapi, Cooke akhirnya menunjukkan draft kisahnya kepada Coleman pada 19 September.

Coleman menceritakan itu kepada ombudsman The Post, Bill Green, dalam investigasi usai kebohongan Cooke terbongkar. Coleman juga mengakui kesilapannya kepada Green, bahwa ia tak pernah menanyakan lebih jauh tentang identitas keluarga si bocah pecandu atau pun alamat tempat tinggal mereka.

Kisah besar Cooke akhirnya terbit di halaman depan The Post pada 28 September di bawah judul “Jimmy’s World”. Diceritakan, bahwa Jimmy telah mengonsumsi heroin sejak usia lima tahun. Ron, kekasih ibunya, adalah orang pertama yang mengenalkannya pada obat terlarang itu. Rumah Ron, di mana Jimmy tinggal, sekaligus tempat transaksi heroin. Jimmy yang lugu bahkan ingin menjual heroin suatu saat nanti.

Kisah itu lantas meledak dan mengundang simpati banyak pembaca The Post. Naomi Munson, dalam “The Case of Janet Cooke” yang tayang di Commentary Magazine edisi Agustus 1981, mencatat bahwa pemerintah kota Washington DC sampai menginisiasi pencarian khusus untuk menemukan dan menyelamatkan Jimmy. Namun, polisi dan pekerja sosial yang dikerahkan tak dapat menemukan keberadaan Jimmy dan keluarganya.

Pemerintah kota Washington DC lantas meminta The Post untuk membuka identitas dan tempat tinggal keluarga Jimmy. Tentu saja The Post menolaknya. Pemerintah sempat akan membawa persoalan ini ke meja hijau, tetapi urung. Pencarian atas Jimmy dihentikan setelah tiga minggu pencarian sia-sia.

Bersamaan dengan itu, The Post mengerahkan tim untuk mendalami kisah Jimmy. Tim ini bekerja berdasarkan premis bahwa pasti ada Jimmy yang lain di kota itu. Tetapi, anehnya, Cooke yang juga tergabung dalam tim tak dapat menyebut alamat tempat tinggal keluarga Jimmy.

Cooke juga diminta untuk mempertemukan Jimmy dengan Coleman, selaku editornya. Ia menyanggupi, tapi kemudian melapor bahwa keluarga itu sudah pindah. Sejak itu, kepercayaan Coleman kepada Cooke mulai goyah.

“Tapi rupanya tak cukup goyah untuk membuat Coleman berpikir ulang sebelum merekomendasikan ‘Jimmy’s World’ untuk nominasi penghargaan Pulitzer, juga empat penghargaan lain, sejak sebulan setelah menghilangnya keluarga Jimmy,” tulis Naomi Monsun.

Pada 13 April 1981, Cooke menerima penghargaan Pulitzer. Tapi itulah awal terkuaknya hoax yang ia bikin. Toledo Blade, media tempat Cooke bekerja sebelumnya, hendak membuat profil tentang alumnusnya itu. Tetapi, saat editor Toledo Blade membaca profil pemenang yang diterbitkan Komite Pulitzer, ia mendapati datanya tidak sesuai dengan apa yang mereka punya.

Data yang diserahkan Cooke kepada Komite Pulitzer menerangkan bahwa dia lulus dengan predikat magna cum laude dari Vassar College, dan memperoleh gelar master dari Universitas Toledo. Padahal, dari data diri Cooke yang dimiliki Toledo Blade, ia hanya berkuliah setahun di Vassar College, dan memperoleh gelar sarjana dari Universitas Toledo. Toledo Blade lalu memperingatkan soal ini kepada kantor berita Associated Press.

“Sekitar jam tiga siang, Bradlee dan editor pelaksana Howard Simons menerima dua panggilan bersamaan. Editor AP mengontak Simons. Asisten Presiden Vassar College mengontak Bradlee. Keduanya sama-sama menanyakan soal resume Janet,” kenang mantan wartawan The Post, Mike Sager, dalam “The Fabulist Who Changed Journalism” yang tayang di Columbia Journalism Review edisi musim semi 2016.

Baca lanjutannya: Kisah Skandal Hoax Terbesar Jurnalisme Amerika (2)

Related

World's Fact 6445314482665362372

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item