Membaca Berita Buruk Bisa Menimbulkan Stres dan Trauma

Membaca Berita Buruk Bisa Menimbulkan Stres dan Trauma

Naviri.Org - Sangat mudah bagi orang zaman sekarang untuk mendapatkan berita. Dari televisi, koran atau majalah, radio, sampai internet. Di Twitter saja, setiap saat berseliwean aneka berita yang memancing siapa pun untuk membacanya. Dari semua berita yang ada di sekeliling kita, tidak semuanya baik atau positif. Karena ada pula berita-berita yang buruk atau negatif.

Berita-berita seputar kejahatan, misalnya, termasuk berita negatif karena mengabarkan hal-hal buruk. Tentu saja membaca berita semacam itu bisa jadi perlu sebagai wawasan untuk lebih berhati-hati agar tidak menjadi korban kejahatan. Namun, ternyata, mengonsumsi berita buruk, apalagi terlalu sering, bisa menimbulkan stres dan trauma.

Berdasarkan penelitian, sebuah berita negatif bisa memicu ketakutan, kecemasan, bahkan prasangka buruk. Temuan itu dijabarkan dalam survei yang dilakukan oleh American Psychological Association pada 2017.

Dalam situs mereka disampaikan, survei dilakukan terhadap 3.440 warga AS berusia di atas 18. Beberapa hasil temuannya, sebanyak 95% responden membaca berita secara rutin. Dari persentase tersebut, 56 persennya menyatakan aktivitas tersebut memicu stres dalam diri mereka, dan 72% responden merasa pemberitaan di media dikemas secara berlebihan.

Dari penelitian lain di Kanada, ditemukan kecenderungan orang-orang untuk lebih memilih membaca berita negatif atau berita buruk dibanding berita netral atau positif. Dilansir BBC, kecenderungan ini lebih terlihat pada mereka yang tertarik pada isu terbaru atau politik.

Terkait berita buruk seperti tentang bencana atau aksi terorisme, pakar psikologi juga menemukan efek lebih jauh dari hal ini. Dr. Pam Ramsden dari University of Bradford, Inggris, menyatakan sebagian orang yang mengonsumsi berita tragedi mengalami post-traumatic stress dan mesti menjalani perawatan khusus.

Herannya, banyak orang yang mengonsumsi berita buruk seperti terobsesi. Video kecelakaan, atau video tabrakan, maupun cuplikan jambret dipukuli, tak jarang ditonton berkali-kali. Sedangkan yang lain, bisa mengalami perasaan sedih atau bersalah usai menonton berita tragedi.

Kecenderungan sebagian orang untuk mengakses berita buruk dapat didasari oleh cara kerja otak. Kepada Time Magazine, Loretta Breuning, penulis buku Habits of a Happy Brain, menyatakan bahwa ketahanan hidup manusia bergantung pada pencarian hal yang menguntungkan dan upaya menghindari bahaya. Berita-berita buruk merefleksikan informasi tentang ancaman bahaya sehingga menurut Breuning, hal ini sulit untuk diabaikan.

Kendati ada penelitian yang menyebutkan berita yang memuat peristiwa tragis atau tindakan kriminal bisa membawa efek negatif secara psikis, temuan ini tidak bisa dijadikan kesimpulan umum. Sifat pengonsumsi berita dan cara setiap individu menghubungkan berita pada hidupnya, bisa menjadi faktor yang menentukan seberapa besar efek psikis yang dihasilkan.

Baca juga: Mengapa Banyak Orang Mempercayai Berita Palsu?

Related

Psychology 6412114074890450187

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item