Mewaspadai Sekstorsi, Kejahatan Internet yang Mengancam Remaja

 Mewaspadai Sekstorsi, Kejahatan Internet yang Mengancam Remaja

Naviri.Org - Di antara banyak kejahatan yang bisa terjadi di internet, sekstorsi adalah salah satunya. Yang mengkhawatirkan, sekstorsi merupakan kejahatan yang mengincar korban para remaja. Karenanya pula, korban-korban kejahatan sekstorsi umumnya remaja, bahkan tidak jarang anak-anak. Karena hal itu pula, para orangtua perlu mulai lebih memperhatikan anak-anaknya, khususnya yang masih remaja, terkait aktivitas mereka di internet.

Apa itu sekstorsi?

Intinya, sekstorsi adalah pemerasan, misalnya untuk mendapatkan konten seksual. Aksi ini juga bisa ditujukan untuk memperoleh uang dari korban, dan melakukan kekerasan seksual terhadap korban secara langsung.

Pelaku biasanya mengambil foto dan video mesum korban, dan mengancam untuk membagikannya kepada teman korban di media sosial, jika mereka tidak membayarkan uang atau melakukan hal-hal seksual yang pelaku minta.

Benjamin Wittes dalam laporannya "Sextortion: Cybersecurity, Teenagers, and Remote Sexual Assault" menyatakan bahwa korban sekstorsi sebagian besar adalah anak-anak di bawah umur. Dalam laporan tersebut, disebut bahwa korban sekstorsi terdiri dari 71 persen anak-anak di bawah umur 18 tahun, dan 26 persen orang dewasa.

Ia juga menjelaskan bahwa pelaku dapat menipu dan mendapat foto mesum korban melalui dua cara: 91 persen melalui manipulasi sosial media korban, dan 43 persen melalui peretasan komputer korban (hacking).

Berdasarkan laporan The Crimes Against Children Research Center yang telah melakukan survei terhadap 1.631 korban sekstorsi berusia 18-25 tahun, diketahui bahwa sebagian besar pelaku telah mengetahui identitas korban sebelumnya.

Pada umumnya, pelaku adalah laki-laki, mulai dari mahasiswa sampai ayah tiri korban sendiri. Menurut laporan itu, sebanyak 60 persen pelaku mengetahui identitas korban, sedang 40 persen pelaku bertemu korban secara online saja.

Dengan cara apa saja sekstorsi bisa terjadi?

Laporan itu mencatat bahwa hampir seluruh aplikasi online yang dipakai korban pernah dipakai oleh pelaku sebagai media kejahatan siber ini. Sejumlah 54 persen kejahatan terjadi melalui jaringan sosial korban, 41 persen melalui aplikasi pesan, 23 persen melalui aplikasi video call, 6 persen melalui sharing situs video, 12 persen melalui email, 9 persen melalui aplikasi kencan, 4 persen melalui platform game, dan 3 persen melalui situs imageboard.

Upaya mencegah sekstorsi

Untuk menekan terjadinya kejahatan siber seperti sekstorsi ini, orangtua perlu memperhatikan bagaimana dan di mana anak biasanya mengakses internet. Anak-anak di bawah umur yang mengakses internet di balik kamar dan menolak untuk dipantau, memiliki tingkat kerentanan yang lebih tinggi. Akan lebih baik jika anak-anak mengakses internet di ruang keluarga.

Selain itu, orangtua juga butuh menetapkan batas usia minimum untuk anak mengakses internet. Sue Scheff, penulis buku Shame Nation: The Global Epidemic of Online Hate mengatakan bahwa orangtua sudah seharusnya mempertimbangkan usia anak ketika mereka mengizinkan anak mengakses media sosial.

Menurut Scheff, hal ini penting untuk melindungi anak dari potensi pelecehan seksual online dan bentuk-bentuk eksploitasi lainnya.

"Apa yang saya catat dalam penelitian saya, banyak sekali korban yang berusia masih muda. Hal ini tentu disebabkan oleh orangtua yang abai terhadap batasan umur dan tidak menentukan situs-situs mana saja yang sebaiknya anak-anak akses. Sampai kemudian anak-anak menemukan caranya sendiri mengakses situs-situs tertentu, yang tidak sesuai dengan usia mereka," kata Scheff.

Julie Cordua, CEO Thorn, organisasi yang bertanggungjawab melindungi anak, juga menyarankan agar setiap orangtua terus mendidik dirinya sendiri menjadi ‘orangtua digital yang baik.’

Cordua menyarankan untuk memeriksa situs web Family Online Safety Institute (FOSI) untuk mendapatkan panduan bagaimana menjadi orangtua digital yang baik, termasuk sering melakukan diskusi dengan anak-anak tentang apa yang mereka lihat dan dengar secara online. Hal ini bisa dimulai sejak anak berusia 5 atau 6 tahun, dan berlanjut sepanjang masa kecil dan masa remaja mereka.

Ia juga menyarankan agar orangtua mempelajari media sosial dan perangkat-perangkat teknologi yang anak pakai. Hal ini penting dalam rangka ‘menyelamatkan’ anak-anak kita dari teror-teror teknologi yang terus beragam ini.

“Pahami bagaimana media sosial bekerja, seluk-beluknya. Ini adalah salah satu cara Anda mengenal anak Anda, dan terlibat dalam perkembangannya," katanya.

Baca juga: Orang Ini Dihukum 105 Tahun karena Kejahatan di Internet

Related

Internet 6543175120693370011

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item