Kisah 7 Sastrawan Besar Indonesia yang Pernah Dipenjara

 Kisah 7 Sastrawan Besar Indonesia yang Pernah Dipenjara

Naviri Magazine - Indonesia pernah dan terus menyaksikan tokoh-tokoh besar di bidang sastra yang namanya tidak hanya dikenal di dalam negeri namun juga di luar negeri. Karya-karya mereka, baik dalam puisi, novel, esai, dan lain-lain, telah dibaca banyak orang di dunia, dan terus dipelajari dari masa ke masa.

Di balik kebesaran nama-nama sastrawan yang pernah hidup di Indonesia, tidak semuanya menjalani kehidupan yang mulus. Sebagian dari mereka harus berhadapan dengan penguasa, dan nasib mereka terdampar ke penjara.

Setidaknya, ada beberapa sastrawan Indonesia yang pernah mengalami nasib semacam itu—dihukum penjara atau dicekal, bahkan ada yang hilang misterius, dengan berbagai sebab dan latar belakang. Berikut ini kisah mereka.

1. Sitor Situmorang

Sitor Situmorang lahir di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara, 2 Oktober 1923. Ia pernah menetap di Singapura (1943), Amsterdam (1950-1951), Paris (1951-1952), dan pernah mengajar bahasa Indonesia di Universitas Leiden, Belanda (1982-1990), dan bermukim di Islamabad, Pakistan (1991), dan Paris.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, Sitor dipenjara sebagai tahanan politik di Jakarta, antara 1967-1974. Dia meninggal di Apeldoorn, Belanda, 21 Desember 2014, pada usia 91 tahun.

2. Mochtar Lubis

Mochtar Lubis lahir di Padang, Sumatera Barat, 7 Maret 1922. Dia seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia, sejak zaman pendudukan Jepang. Dia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA, kemudian mendirikan dan memimpin harian Indonesia Raya, yang telah dilarang terbit. Ia juga mendirikan majalah sastra Horizon bersama kawan-kawannya.

Pada waktu pemerintahan Soekarno, Mochtar Lubis dijebloskan ke penjara, hampir sembilan tahun lamanya, dan baru dibebaskan pada 1966. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980). Mochtar Lubis meninggal di Jakarta, 2 Juli 2004, pada usia 82 tahun.

3. Pramoedya Ananta Toer

Pramoedya Ananta Toer lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925. Secara luas ia dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia.

Pada tahun 1960-an, pengarang Bumi Manusia ini ditahan oleh pemerintahan Soeharto, lantaran pandangannya yang dianggap pro-komunis. Buku-bukunya dilarang beredar, dan dia juga dilarang menulis selama berada di ruang tahanan yang berada di Pulau Buru.

Dia telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan sudah diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Pada 1995, dia mendapatkan Ramon Magsaysay Award, tetapi sebanyak 26 tokoh sastra Indonesa tidak setuju.

Mereka menuding Pram adalah algojo Lekra (Lembaga Kerakyatan) paling galak pada masa demokrasi terpimpin. Salah satu tokoh sastra yang tidak setuju adalah Mochtar Lubis, yang mengancam akan mengembalikan hadiah Magsasay yang diperolehnya, jika Pram tetap mendapatkan hadiah yang sama.

Pramoedya Ananta Toer meninggal di Jakarta, 30 April 2006, pada usia 81 tahun.

4. Amir Hamzah

Tengkoe Amir Hamzah Pangeran Indra Poetera, atau lebih dikenal dengan nama Amir Hamzah, lahir di Tanjung Pura, Langkat, Sumatera Timur, Hindia Belanda, 28 Februari 1911. Amir Hamzah adalah generasi ke-10 dari Sultan Langkat. Melalui ayahnya, ia terkait dengan Sultan Langkat kala itu, Machmoed.

Ketika invasi Jepang terjadi pada awal 1942, Amir Hamzah adalah salah satu tentara yang dikirim ke Medan untuk mempertahankan wilayah itu. Dia dan pasukan lainnya, yang bersekutu dengan Belanda, dengan cepat ditangkap oleh tentara Jepang. Dia ditahan sebagai tawanan perang, sampai tahun 1943.

Amir Hamzah meninggal di Kwala Begumit, Binjai, Langkat, Indonesia, 20 Maret 1946, pada usia 35 tahun.

5. Widjhi Tukul

Widji Thukul, yang bernama asli Widji Widodo, lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 26 Agustus 1963. Dia adalah sastrawan dan aktivis hak asasi manusia di Indonesia. Tukul merupakan salah satu tokoh yang ikut melawan penindasan rezim Orde Baru. Sejak 1998 sampai sekarang, dia tidak diketahui rimbanya, dinyatakan hilang misterius.

Thukul mulai menulis puisi sejak SD, dan tertarik pada dunia teater ketika duduk di bangku SMP. Bersama kelompok Teater Jagat, ia pernah ngamen puisi, keluar masuk kampung dan kota. Sempat pula menyambung hidupnya dengan berjualan koran, jadi calo karcis bioskop, dan menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel.

Pada Oktober 1989, Thukul menikah dengan Siti Dyah Sujirah alias Sipon, yang saat itu berprofesi sebagai buruh. Tak lama setelah pernikahannya, pasangan Thukul-Sipon dikaruniai anak pertama, bernama Fitri Nganthi Wani. Kemudian, pada 22 Desember 1993, anak kedua mereka lahir, dan diberi nama Fajar Merah.

6. WS Rendra

W.S. Rendra, yang memiliki nama lengkap Willibrordus Surendra Broto Rendra, lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935, dan dikenal sebagai sastrawan Indonesia. Sejak muda, dia menulis puisi, skenario drama, cerpen, dan esai sastra, di berbagai media massa.

Karya-karya Rendra tidak hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga di luar negeri. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa asing, di antaranya bahasa Inggris, Belanda, Jerman, Jepang, dan India.

Pada 1977, ketika ia sedang menyelesaikan film garapan Sjumanjaya, Yang Muda Yang Bercinta, ia dicekal pemerintah Orde Baru. Semua penampilan di muka publik juga dilarang. Rendra meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009, pada usia 73 tahun.

7. Hersri Setiawan

Hersri Setiawan lahir di Yogyakarta, 3 Mei 1936, dan dikena sebagai sastrawan Indonesia yang pernah lama ditahan di Pulau Buru, karena keterlibatannya dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) pada tahun 1950-an

Pada 1961- 1965, ia diangkat menjadi wakil Indonesia dalam organisasi Persatuan Pengarang Asia-Afrika, dan ditempatkan di pusat organisasi itu di Kolombo, Sri Lanka.

Karena pergolakan politik yang disebabkan pergantian rezim di negara itu, pada bulan Agustus 1965 Hersri kembali ke Indonesia. Namun di negara kelahirannya, ia justru menghadapi pergolakan yang lebih hebat, yaitu peristiwa G30S yang terjadi sebulan setelah ia kembali ke Indonesia.

Karena organisasinya dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia, Hersri pun dianggap tersangkut dalam G30S, dan karenanya ditangkap dan menjadi tahanan politik Orde Baru.

Ia ditahan berpindah-pindah dari RTC (Rumah Tahanan Chusus) Salemba, ke penjara Tangerang, lalu mendekam di Pulau Buru selama sembilan tahun (1969-1978).

Baca juga: Vincent van Gogh, Kisah Malang Seorang Pelukis Jenius

Related

Insight 3334037608342976570

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item