Perbedaan Selera Makan dan Nasib Restoran Cepat Saji

Perbedaan Selera Makan dan Nasib Restoran Cepat Saji

Naviri Magazine - Restoran cepat saji semacam McDonald's atau lainnya sudah lama terkenal di dunia, dan memiliki pelanggan di mana pun. Hal itu terbukti dari banyaknya gerai mereka tersebar di berbagai negara. Selama bertahun-tahun, mereka dapat terus eksis menjual aneka makanan cepat saji. Namun, akhir-akhir ini, restoran-restoran itu menghadapi masalah, yakni berubahnya selera makan orang zaman sekarang.

Berbeda dengan generasi terdahulu yang akrab dengan junk food dan menikmatinya di restoran cepat saji, generasi masa kini mulai menyadari pentingnya mengonsumsi makanan sehat. Hal itu berdampak pada turunnya pelanggan di restoran-restoran cepat saji.

Menurunnya jumlah konsumen makanan cepat saji adalah salah satu indikator bahwa selera makan kita sudah berubah. Orang-orang berusia di bawah 40 tahun, atau kaum Milenial dan generasi setelahnya, Generasi Z, ternyata lebih memilih makanan yang lebih organik dan 'sehat'.

Berdasarkan riset Nielsen 2015 silam, sebanyak 41% Generasi Z dan 32% Milenial memilih "membayar dengan harga yang lebih mahal, untuk makanan yang lebih organik".

Sementara hanya 21% generasi Baby Boomers (generasi sebelum Milenial), yang mau mengeluarkan uang lebih untuk makanan yang lebih sehat.

"Gerai makanan cepat saji terkesan tua bagi kaum Milenial, apalagi jika dibandingkan gerai-gerai makanan yang menjual salad," kata Marion Nestle, profesor nutrisi dari Universitas New York.

Karena itulah, perusahaan seperti McDonald's bekerja sama dengan Uber untuk mengantarkan berbagai produk mereka di Amerika, Inggris, dan Australia.

Apalagi zaman sekarang kepala-kepala kantor kerap meminta stafnya untuk menghabiskan waktu dan bekerja di kafe-kafe. Jelas, kafe yang nyaman dengan sofa empuk yang dipilih, bukan gerai makanan cepat saji.

Bisa murah sampai berapa lama?

Marion Nestle, yang mengajar di NYU, menyebut perputaran ekonomi restoran cepat saji sangat bergantung pada volume penjualan. "Semakin banyak konsumen yang berbelanja, semakin bagus," ungkapnya.

Mereka pun saling berebut konsumen. Jika Burger King menurunkan harganya, Wendy's akan berupaya melakukan hal yang sama pula.

"Mereka semua tertarik soal isu penurunan harga ini," kata Patricia Smith. Tak jarang perusahaan mengubah harga untuk mengecek pasar. "Mereka ingin tahu, kalau harga dinaikkan, apakah pelanggan akan lari? Ataukah saya harus menurunkan harga dan meraih lebih sedikit untung, tetapi volume penjualan lebih banyak?"

Metode meraih untung dengan cara ini kerap disebut metode "permintaan elastis".

"Sebuah perusahaan bisa menaikkan pendapatan dengan menurunkan harga, jika permintaan terhadap produk, elastis, atau sensitif terhadap harga. Misalnya, jika sebuah perusahaan menurunkan harga 5% dan kuantitas penjualan naik 10%, maka permintaan memenuhi syarat elastis, dan total pendapatan akan meningkat,” ujar Smith.

Metode seperti ini biasanya hanya terjadi pada pasar yang didominasi sedikit produsen utama. Di Amerika, menurut Smith, 40% pasar telah dikuasai beberapa waralaba saja. "Jadi, tidak mengejutkan ketika mereka menurunkan harga".

Tidak diketahui pasti apa yang akan terjadi jika harga makanan cepat saji terus dan terus mengalami penurunan.

Pakar kesehatan tentu saja khawatir. Marion Nestle mengungkapkan, orang-orang yang sering memakan makanan cepat saji, tentunya akan semakin ketagihan memakan makanan ini dalam jumlah lebih banyak, ketika tahu harganya didiskon. Ini akan menjadi penyulut baru masalah obesitas.

Tapi, siapa yang tahu? Jika Generasi Z dan Milenial terus memperlihatkan tren mencintai makanan sehat, mungkin saja produsen makanan sehat akan ikut mengambil langkah McDonald's, menjual makan dengan harga lebih murah supaya lebih bersaing.


Related

Lifestyle 5307946583487356733

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item