Ilmuwan Menemukan Cara Mengusir Bayangan Buruk dari Pikiran

 Ilmuwan Menemukan Cara Mengusir Bayangan Buruk dari Pikiran

Naviri Magazine - Bayangan buruk bisa muncul kapan saja, pada siapa saja. Kadang kala, kita melakukan sesuatu yang kita sesali—misal ucapan tertentu yang dikatakan pada seseorang—dan kita terus mengingatnya dengan segala kekhawatiran. Atau, di masa lalu kita mungkin pernah melakukan kesalahan tertentu, dan bayangan tentang itu kerap muncul dalam pikiran hingga terasa mengganggu.

Pikiran-pikiran negatif atau bayangan buruk bisa dalam bentuk apa saja, dengan latar belakang apa saja. Meski sebenarnya hal-hal itu tidak seburuk yang kita pikirkan, namun kenyataannya tetap saja mengganggu pikiran. Orang bisa sulit tidur gara-gara hal itu, atau bahkan sampai merasa lelah menjalani hidup.

Bagi banyak orang, baik yang hidup dengan masalah kesehatan mental atau tidak, kemampuan untuk mengendalikan pikiran yang mengganggu bisa menjadi terobosan besar dalam upaya perbaikan kualitas hidup mereka.

Nah, baru-baru ini, para ilmuwan telah mengidentifikasi mekanisme yang menghalau pikiran-pikiran tidak diinginkan dalam otak. Hasil penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Nature Communications ini pun menunjukkan secercah harapan baru.

Periset di University of Cambridge, Inggris, ingin mempelajari bagaimana pikiran yang mengganggu terjebak dalam pusaran otak, hingga terus-terusan diputar ulang.

Sebagai eksperimen, mereka merekrut 24 orang dewasa muda yang berpartisipasi dalam apa yang disebut prosedur "Think/No-Think". Para peneliti mengamati otak orang-orang ini dengan menggunakan pencitraan fMRI.

Selama prosedur, para periset mengajari subjek untuk mengasosiasikan dua kata satu sama lain, yang tidak memiliki asosiasi jelas, misal "cobaan" dan "kecoak."

Subjek diminta mempelajari serangkaian kata-kata yang dipasangkan, namun tidak memiliki makna yang berhubungan. Peneliti kemudian memberi sinyal hijau atau merah, sembari menunjukkan salah satu kata.

Saat sinyal yang diberikan berwarna hijau, subjek diminta mengingat kembali kata yang dipasangkan. Saat sinyal itu merah, subjek diminta untuk menahan diri dari mengingatnya kembali.

Misal, jika "cobaan" muncul dalam sinyal hijau, mereka bisa memikirkan kata "kecoa," tapi jika "cobaan" muncul dalam sinyal merah, mereka harus mencoba untuk mengendalikan pikiran dan memikirkan kata-kata lain.

Sementara tes berlangsung, tim peneliti menganalisis otak peserta dengan kombinasi fMRI (pencitraan otak) dan spektroskopi resonansi magnetik, yang mengukur perubahan kimia dalam otak.

Tes tersebut menunjukkan bahwa ada satu neurotransmiter tertentu, yang disebut GABA, yang sangat dominan di otak orang-orang yang mampu mengendalikan asosiasi.

Ketika ada banyak GABA pada hippocampus subjek—area otak yang mengendalikan memori—hal itu memprediksi apakah subjek dapat mengendalikan asosiasi kata atau tidak. Hal ini menyiratkan bahwa mereka juga akan lebih baik dalam berusaha mengendalikan pemikiran yang tidak diinginkan.

Sebaliknya, orang dengan kadar GABA yang kurang pada hippocampus mereka, mengalami kesulitan yang lebih tinggi dalam mengendalikan asosiasi.

Menurut peneliti, temuan ini sangat penting karena membantu kita memahami mekanisme di balik penyakit yang dapat menyebabkan pemikiran yang mengganggu. Sementara sebelumnya, penelitian difokuskan pada korteks prefrontal di otak, penelitian ini menunjukkan bahwa ada lebih banyak area otak yang perlu dipelajari, agar bisa sepenuhnya memahami hubungan ini.

"Kemampuan untuk mengendalikan pikiran sangat penting bagi kesejahteraan kita," jelas pemimpin penelitian, Profesor Michael Anderson, dalam sebuah siaran pers.

Lanjut Anderson, "Ketika kapasitas ini terganggu, hal ini menyebabkan beberapa gejala penyakit kejiwaan yang paling menyulitkan: seperti memori yang mengganggu, halusinasi, ruminasi, dan kekhawatiran patologis yang terus-menerus. Ini semua gejala utama penyakit jiwa seperti PTSD, skizofrenia, depresi, dan gangguan kecemasan."

Dilansir Forbes, sementara penelitian ini tidak berfokus pada identifikasi penanganan yang dibutuhkan, mengetahui peran yang dimainkan GABA dalam manajemen pemikiran dapat mengarah pada penanganan gangguan kecemasan, depresi, dan kondisi lainnya yang lebih efektif.

"Sebagian besar fokus penelitian adalah memperbaiki fungsi korteks prefrontal," kata profesor Anderson. "Namun penelitian kami menunjukkan bahwa jika Anda dapat memperbaiki aktivitas GABA di dalam hippocampus, ini dapat membantu orang menghentikan pikiran yang tidak diinginkan dan mengganggu."

Pun demikian, ada baiknya Anda tak buru-buru mengonsumsi suplemen GABA untuk memperkuat manajemen pikiran. Sejauh ini, hanya ada sedikit bukti bahwa suplemen tersebut dapat melewati penghalang darah-otak untuk memberikan manfaat.

Akan tetapi, ada alasan yang telah terbukti secara ilmiah untuk meyakini bahwa diet tinggi lemak mengurangi konsentrasi GABA pada korteks prefrontal dan hippocampus.


Related

Science 2914538942280369151

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item