Bagaimana Menentukan Daging Halal atau Haram Sebelum Dimakan?

Bagaimana Menentukan Daging Halal atau Haram Sebelum Dimakan?

Naviri Magazine - Bagi para pelancong yang berada di tempat berpenduduk mayoritas non-Muslim, seringkali kesulitan mencari makanan yang benar-benar halal. Sehingga, ketika tidak menemukan restoran yang berlabel halal di tempat tersebut, tidak ada cara lain untuk menghilangkan rasa lapar selain mengunjungi restoran atau tempat makan yang tidak jelas halal-haramnya.

Misalnya, restoran atau tempat makan itu menyediakan menu seperti ayam goreng, rendang, sate kambing, dan aneka makanan lain. Padahal, seperti kita pahami bersama, hewan sembelihan hanya bisa benar-benar halal ketika disembelih oleh umat Islam atau ahli kitab, yakni orang Yahudi dan Nasrani (Kristen). Selain dari tiga golongan itu, daging hewan sembelihan tidak dapat dimakan, atau haram untuk dikonsumsi.

Berdasarkan realitas tersebut, bolehkah para pelancong mengonsumsi daging hewan yang belum jelas halal-haramnya?

Dalam menjawab persoalan tersebut, penting kiranya seseorang terlebih dulu melihat petunjuk (qarinah) yang terdapat di sekitar, atau bertanya tentang kehalalan daging yang disajikan pada pemilik atau pelayan restoran.

Jika pemilik atau pelayan menjawab halal, maka daging tersebut adalah halal. Sebab ucapan pemilik restoran atau pelayannya dapat menjadi pijakan secara fiqih, selama tidak diketahui kebohongan ucapan itu.

Sedangkan ketika tidak ada petunjuk yang menegaskan halal-haramnya daging, atau pelancong tidak mampu atau kesulitan bertanya pada pemilik restoran, maka daging yang dimakan adalah halal, dengan berpijak pada hukum asal daging tersebut yang berstatus halal dikonsumsi.

Hal ini berdasarkan kaidah yang berlaku, bahwa “ketika bertentangan antara penilaian secara zahir dan hukum asal suatu perkara, maka yang menjadi pijakan adalah hukum asalnya.” Seperti yang dijelaskan dalam kitab Fath al-Mu’in:

“Kaidah penting: Sesungguhnya sesuatu yang asalnya suci, dan ia menduga kuat bahwa sesuatu tersebut najis karena umumnya terkena najis pada hal sesamanya, maka dalam hal ini berlaku dua pendapat yang terkenal dengan dua qoul, asal dan zahir atau ghalib.

“Pendapat yang paling kuat adalah sucinya sesuatu tersebut dengan berpijak pada hukum asal yang telah diyakini. Sebab hukum asal lebih adlbat (komprehensif) dari ghalib yang berbeda-beda, berdasarkan keadaan dan waktu.” (Syekh Zainuddin al-Maliabari, Fath al-Mu’in, juz 1, hal. 124)

Kehalalan daging yang tidak jelas statusnya seperti dalam permasalahan di atas, dibatasi selama asal daging atau restoran bukan berada di wilayah yang berpenghuni mayoritas non-Muslim yang bukan ahli kitab. Maka, ketika restoran atau rumah makan berada di tempat yang dihuni oleh mayoritas non-Muslim yang bukan ahli kitab, dan restoran sama sekali tidak berlabel halal, maka daging tersebut berstatus haram sehingga tidak boleh untuk dikonsumsi.

Hal ini ditegaskan dalam kitab Asna al-Mathalib:

“Ketika ditemukan potongan daging pada sebuah cawan atau sobekan kain di wilayah yang tidak dihuni oleh orang Majusi, maka daging tersebut dihukumi suci. Sedangkan ketika daging tersebut ditemukan dalam keadaan dilempar (dibagikan) atau pada cawan atau sobekan kain di wilayah orang majusi (menjadi mayoritas) di antara orang Muslim, maka daging tersebut dihukumi najis.

“Sedangkan ketika orang Islam merupakan mayoritas (di wilayah tersebut), maka daging dihukumi suci, sebab daging tersebut diduga kuat merupakan sembelihan orang Islam. Penjelasan ini disampaikan oleh Abu Hamid, al-Qadi Abu Tayyib, Imam Mahamili dan ulama lainnya.” (Syekh Zakaria al-Anshari, Asna al-Mathalib, juz 1, hal. 132)

Daging yang berada di wilayah yang mayoritas berpenghuni non-Muslim, yang bukan ahli kitab, berstatus haram karena kondisi demikian merupakan suatu petunjuk (qarinah) bahwa daging tersebut kemungkinan besar disembelih oleh selain ahli kitab, sehingga haram untuk dikonsumsi.

Maka, dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk mengetahui status daging hewan sembelihan yang tidak jelas kehalalannya adalah dengan melihat petunjuk atau menanyakan langsung pada pemilik atau pelayan restoran. Jika hal tersebut tidak mungkin dilakukan, maka daging tetap berstatus halal.

Meski begitu, tindakan yang lebih baik untuk dilakukan adalah menghindari mengonsumsi daging ini, dengan cara diganti makanan lain yang jelas halalnya. Sebab daging tersebut berstatus barang syubhat yang dianjurkan untuk dihindari. Seperti yang dijelaskan dalam hadits:

“Perkara halal itu jelas dan perkara haram itu jelas, di antara keduanya terhadap perkara syubhat yang tidak diketahui banyak orang, maka barang siapa yang menjaga dirinya dari syubhat, ia telah berlepas diri (demi keselamatan) agama dan kehormatannya.” (HR. Baihaqi).

Wallahu a’lam.

Related

Moslem World 3004551260418691562

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item