Antara Berkicau di Twitter dan Menulis di Blog

Antara Berkicau di Twitter dan Menulis di Blog

Naviri Magazine - Sampai sekarang, entah kenapa, saya belum juga merasa nyaman menggunakan Twitter. Dibanding nge-blog, misalnya, saya jauh lebih nyaman menulis posting panjang lebar di blog daripada berkicau di Twitter.

Sebenarnya, sebelum memiliki Twitter, saya sudah tak punya minat sama sekali. Tapi karena iseng dan ingin nyoba, saya pun membuat akun di Twitter. Keisengan dan keinginan mencoba itu karena saya dengar Twitter memberikan keasyikan tersendiri. Jadi begitulah, saya bikin akun di sana.

Lalu episode baru pun dimulai. Saya berkenalan dengan makhluk asing bernama Twitter, dan mulai menjalani aktivitas berkicau. Tapi pembatasan  karakter di Twitter, terus terang, membatasi keasyikan saya berkicau. Dan, karena saya ingin bisa menikmati timeline dengan tenang dan khusyuk, saya juga hanya mem-follow sedikit orang.

Di Twitter, saya sengaja menghindar dari para artis, selebriti, juga buzzer. Saya tidak mem-follow artis atau selebriti, karena biasanya mereka terlalu terpusat pada dirinya sendiri, dan seolah dunia ini tidak ada artinya tanpa mereka.

Kalau ngoceh, yang mereka ocehkan biasanya hal-hal yang amat tidak penting, semisal jadwal syutingnya atau jam tidur anjingnya. Orang-orang yang terlalu narsis, baik narsis fisik maupun narsis psikologis, tak pernah menarik minat saya.

Saya juga tidak punya minat mem-follow buzzer, karena mereka biasanya memuntahkan apa pun yang ingin dimuntahkan, tak jauh beda dengan aliran got yang mengalir. Sudah begitu, mereka nge-tweet nyaris tanpa jeda.

Beberapa kali saya sempat mem-follow akun semacam itu, dan tidak lama kemudian terpaksa meng-unfollow karena tidak tahan menyaksikan timeline yang melelahkan untuk dibaca.

Omong-omong soal followed-following, hal itu juga bikin saya tidak nyaman. Berbeda dengan follower di blog, follower di Twitter itu kok rasanya ada di sekeliling kita semua, dan mereka mendengar (membaca) apa pun yang kita ocehkan.

Setiap kali saya nge-tweet, rasanya seperti sedang ngobrol di pasar burung, atau pasar malam, atau pasar ayam, atau pasar apa saja—pokoknya ramai. Dan saya tidak pernah nyaman di keramaian. Atau mungkin saya memang tidak berbakat jadi selebtwit.

Sudah begitu, di Twitter juga tidak menutup kemungkinan adanya para stalker alias pengintip, yaitu orang-orang yang sok tidak kenal kita, tapi rajin memelototi timeline kita. Kalau sedang ngobrol dengan teman di Twitter, terus ada stalker semacam itu, rasanya saya sedang diperhatikan tanpa saya tahu. Dan kondisi semacam itu benar-benar membuat tidak nyaman. Menggunakan istilah psikologi, rasanya saya jadi objek veyourism.

Kemudian, karena sifatnya kicauan, atau obrolan, Twitter tak jauh beda dengan aktivitas percakapan sehari-hari. Bercakap-cakap dengan teman atau orang lain tentu menyenangkan. Namun, sebagaimana percakapan umumnya, kadang-kadang ada orang yang—entah mengapa—bisa tersindir atau bahkan tersinggung oleh ocehan kita. Biasanya yang merasa tersindir atau tersinggung itu para follower yang mau tak mau harus menerima setiap tweet yang kita tulis.

Kadang-kadang, kita menulis suatu tweet secara spontan, tanpa bermaksud menyindir atau menyinggung siapa pun. Tapi kemudian ada yang merasa tersindir atau tersinggung, lalu marah-marah. Atau langsung meng-unfollow.

Terus terang saya belum pernah mengalami kejadian semacam itu. Atau sudah mengalami, tapi saya terlalu tolol untuk menyadarinya. Yang jelas, karena hal-hal semacam itu pula yang semakin membuat saya tidak nyaman bermain Twitter.

Karena, setiap tweet yang kita tulis, secara otomatis akan sampai di timeline para follower, dan mereka akan membacanya. Tergantung pada bagaimana situasi dan kondisi mereka, suatu tweet bisa saja disalahtafsirkan.

Berbeda dengan menulis di blog. Di blog, saya merasa bebas menulis tentang apa saja, sepanjang atau sependek apa pun, dan saya merasa nyaman. Karena, setiap orang yang mengunjungi blog memiliki kesadaran dan kemauan sendiri untuk membaca tulisan.

Ada perbedaan yang besar antara blog dan Twitter. Di blog, pembaca memiliki kemauan dan kesadaran sendiri untuk membaca segala sesuatu yang ingin dibacanya. Di Twitter, follower terpaksa membaca apa pun yang ditulis orang yang diikutinya, dan tak bisa memilih atau memilah-milah mana yang ia suka dan inginkan.

Sekali kita mem-follow seseorang, kita akan terus menerima tweet orang itu sampai kapan pun. Atau sampai kita bosan dan meng-unfollow orang itu.

Related

Internet 154381613152573450

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item