Terungkap, Fakta di Balik Aturan Pembuatan SIM yang Saat Ini Digugat

Terungkap, Fakta di Balik Aturan Pembuatan SIM yang Saat Ini Digugat

Naviri Magazine - Praktisi keselamatan berkendara, Jusri Pulubuhu, menjelaskan frasa 'belajar sendiri' terkait pembuatan Surat Izin Mengemudi (SIM) yang diatur pada Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 77 ayat 3, tak pernah ada di undang-undang sebelumnya. Jusri menilai 'belajar sendiri' punya arti bias.

Isi UU 22/2009 Pasal 77 ayat 3 yaitu, 'Untuk mendapatkan Surat Izin Mengemudi, calon Pengemudi harus memiliki kompetensi mengemudi yang dapat diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan atau belajar sendiri.'

Berdasarkan pasal itu, ada dua cara calon pengemudi mendapatkan SIM, yakni melalui pendidikan dan pelatihan serta belajar sendiri.

Pendidikan dan pelatihan, yang dalam hal ini meliputi sekolah mengemudi resmi, telah diatur pada Pasal 78 yang isinya menyatakan penyelengaraannya dilakukan oleh lembaga yang mendapat izin dan terakreditasi dari pemerintah. Sementara bagian 'belajar sendiri' tidak dijelaskan lebih rinci dalam UU 22/2009.

Pada pekan ini, dua warga telah mengajukan gugatan atas pasal itu ke Mahkamah Konstitusi, dan meminta agar frasa 'belajar sendiri' dihapus.

Undang-undang pengganti

UU 22/2009 merupakan pengganti Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Pada UU 14/1992, kata Jusri, tidak pernah menggunakan frasa 'belajar sendiri'.

Menurut Jusri, UU 14/1992 mengatur satu-satunya syarat kompetensi pembuatan SIM adalah melalui pendidikan dan pelatihan mengemudi.

Hal itu tertuang pada UU 14/1992 Pasal 19 ayat 1 yang isinya, "Untuk mendapatkan surat izin mengemudi yang pertama sekali pada setiap golongan, calon pengemudi wajib mengikuti ujian mengemudi, setelah memperoleh pendidikan dan latihan mengemudi."

"Nah makanya kalau untuk UU 2009 itu ngambang maksudnya," kata Jusri.

"Pada UU 14 1992 itu sangat jelas bila urus SIM sebelumnya harus lewat kursus, tidak ada berdasarkan pengalaman seperti UU 22, belajar sendiri," ucapnya lagi.

Jusri mendukung gugatan UU 22/2009 Pasal 77 ayat 3 yang dilakukan oleh Marcell Kurniawan dan Roslianna Ginting. Menurut dia, kepemilikan SIM berdasarkan pelatihan bakal melahirkan pengemudi dengan keahlian mumpuni di jalan raya, guna mengurangi kecelakaan lalu lintas.

Cerita 'belajar sendiri' tak ada di UU

Pengamat kebijakan publik, Agus Pambagio, menjelaskan pendapatnya terkait latar belakang penambahan frasa 'belajar sendiri' pada UU 22/2009. Agus menceritakan sempat ikut dalam pembahasan UU 22/2009, saat itu dia menjabat Wakil Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).

"Yang lama itu memang tidak ada frasa itu, tapi karena memang dulu kan lalu lintas tidak terlalu padat, dan masih sedikit yang membawa kendaraan," kata Agus.

UU 22/2009 ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 22 Juni 2009, serta diundangkan dan berlaku pada tanggal yang sama. Hingga tahun ini, berarti undang-undang ini telah berlaku selama 11 tahun.

Sementara UU 14/1992 ditandatangani Soeharto pada 12 Mei 1992, dan berlaku pada 17 September 1992. Sebelum diganti UU 22/2009, UU 14/2009 berlaku selama 17 tahun.

Menurut Agus, poin mengenai SIM ditambah karena zaman terus berubah, sementara masyarakat mulai banyak yang ingin mengemudi sendiri dan memiliki SIM.

Agus mengatakan, dalam pembahasan UU 22/2009 terdapat perdebatan cukup sengit antara Kepolisian Indonesia dan Kementerian Perhubungan (Kemenhub). Ia tidak terlalu ingat apa yang diperdebatkan, namun keduanya ingin punya hak dominan atas sekolah mengemudi terkait pengurusan SIM.

"Di situ ada perdebatan, jadi siapa yang mau buat sekolah. Ribut itu antara polisi sama perhubungan," katanya.

Perdebatan disebut terkait standar sekolah mengemudi, dan tidak sempat memiliki titik temu hingga akhirnya frasa 'belajar sendiri' dijadikan opsi.

"Ya sudahlah, akhirnya tidak usah pakai sekolah-sekolah, tidak diwajibkan. Yang mau sekolah, tidak ya sudah. Saya sudah lupa perdebatannya, tapi kesimpulannya akhirnya belajar sendiri saja," ungkapnya.

Agus menambahkan, kala itu harusnya pemangku kepentingan lebih bijak dalam merumuskan aturan terkait SIM, bukan sekadar memenuhi ego demi memenuhi 'tanggung jawabnya' kepada pihak tertentu.

"Nah kan sebetulnya ya tinggal dicari aja [jalan keluarnya] tapi harus dengan kepala dingin, bukan kepala ngobyek [cari proyek]. Di kita itu soalnya kalau bahas UU, isi kepalanya ngobyek. Jadi gak tulus untuk menertibkan," kata Agus.

Related

News 5554283975427934786

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item