Mengapa Ada Remaja Melakukan Pembunuhan? Ini Penjelasan Psikolog (Bagian 2)

Mengapa Ada Remaja Melakukan Pembunuhan? Ini Penjelasan Psikolog, naviri.org, Naviri Magazine, naviri

Naviri Magazine - Uraian ini adalah lanjutan uraian sebelumnya (Mengapa Ada Remaja Melakukan Pembunuhan? Ini Penjelasan Psikolog - Bagian 1). Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik dan urutan lebih lengkap, sebaiknya bacalah uraian sebelumnya terlebih dulu.

Dugaan kejiwaan terganggu 

Psikolog klinis, Rahajeng Ikawahyu, berpendapat terlalu dangkal kalau mengklaim film adalah pemicu pelaku nekat beraksi. Jika betul film horor jadi pemicu, bisa dibayangkan ada berapa banyak pembunuhan yang bisa terjadi.

"Jadi perasaan puas tidak bisa dikaitkan begitu saja dengan menonton filmnya," kata dia, Senin (9/3/2020).

Menurut Rajaheng, yang harus dicari tahu adalah apa yang memengaruhi pelaku hingga muncul hasrat ingin membunuh. Yang pasti ada teori dasar berpikir, misalnya teori faktor genetik turunan, faktor lingkungan, maupun faktor neurologis melalui pindai otak.

"Ada teori yang mengatakan para pelaku kriminal itu ada bagian otak tertentu yang mengenal rasa dan empati, yang tidak berkembang atau malah tidak ada," jelas dia. Artinya, dalam kasus ini, belum bisa diketahui secara spesifik apa pemicu utama NF.

"Karena pasti akan dilihat dari keseharian anak ini sesuai pengakuan dia, nanti hasilnya akan dibandingkan dengan pengamatan orang lain di sekitarnya. Kalau sesuai, tandanya dia jujur dan mungkin akan bisa ada data pemicunya," tutur Rahajeng.

Pelaku pembunuhan, kata Rahajeng, tidak semudah itu menghilangkan hasrat menyakiti bahkan membunuh. Persoalan hasrat membunuh, yang seharusnya diperhatikan, adalah kemampuan mengontrol. Boleh jadi hasratnya tidak lenyap, tapi pelaku diajarkan mengontrol. 

Lantas apa hukuman yang cocok untuk NF?

Rahajeng berpendapat, hukuman ideal untuk kasus seperti NF di Indonesia belum ada. Idealnya adalah program yang bisa memberikan pemahaman tentang moral, aturan dan kasih sayang.

Secara umum, tidak menyinggung perbuatan NF saja, ada istilah Conduct Disorder. Anak-anak kategori ini melakukan beberapa perilaku melanggar aturan, seperti membolos maupun menyiksa binatang. "Ada banyak kriterianya. Kalau mau mendiagnosis seseorang, ada batasan jumlah perilaku yang muncul dan waktu terjadinya," ucap dia.

"Di luar kasus ini, yang utama adalah bagaimana membangun lingkungan yang sehat mental dan penuh kasih sayang bagi anak. Karena pada kenyataannya pengaruh lingkungan pada anak bisa jadi lebih kuat daripada faktor genetika," imbuh Rahajeng.

Sementara, psikolog anak, Anna Surti Ariani, menjelaskan secara umum ihwal impulsivitas. Semisal keluhan yang berujung pada tindak kekerasan, termasuk pembunuhan dan dilakukan tiba-tiba. "Mungkin ada masalah dalam pengaturan dirinya terkait impulsivitasnya," ujar dia, Senin (9/3/2020).

Indikator impulsivitas seperti kecenderungan melakukan kekerasan atau intimidasi terhadap orang lain maupun binatang. Bisa juga remaja melanggar peraturan, pemberontakan, perusakan barang, pencurian.

"Jika anak mengalami kriteria itu, mungkin saja dia mengalami gangguan tersebut," imbuh perempuan yang kerap dipanggil Nina ini.

Akibat pembunuhan itu, khalayak melabeli NF sebagai psikopat. Padahal, lanjut Anna, label psikopat tidak bisa diberikan kepada orang di bawah usia 18 tahun, karena kepribadian dalam umur tersebut belum matang, masih dalam proses pembentukan, dan masih sangat mudah berubah.

"Maka terbuka kesempatan untuk ditangani dengan baik, sehingga dia tidak jadi psikopat di masa depannya," terang Nina.

Hukuman penjara belum menjamin pelaku jera. Bisa berhasil, bisa tidak. "Bisa iya [berhasil] jika ada pendampingan, ada terapi psikologis, sehingga dia memahami efek perilakunya," jelas Nina.

Namun jika sekadar dipenjara, mungkin saja pelaku mendapatkan 'ilmu baru' dari tahanan lain, tidak membuat kapok pelaku. "Jadi penjara anak dan remaja harus berbeda dari penjara dewasa."

Menurut Nina, terkait perkembangan mental anak, menciptakan situasi kekeluargaan dan kenyamanan menetap di rumah menjadi hal yang penting. Anak yang tumbuh dalam keluarga penuh kehangatan, lanjut Nina, maka tidak ada tempat bagi anak untuk mengekspresikan kekerasan.

Orang tua juga harus disiplin dalam mengontrol kesalahan anak. "Kalau anak salah, harus mendapatkan konsekuensinya. Bukan berarti anak melakukan kesalahan, lalu dibiarkan saja," tegas dia.

Related

Psychology 4100725643859805105

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item