Ibu Orang Indonesia, Ayah Warga Malaysia, Anaknya Tak Punya Status Warga Negara (Bagian 1)

Ibu Orang Indonesia, Ayah Warga Malaysia, Anaknya Tak Punya Status Warga Negara, naviri.org, Naviri Magazine, naviri majalah, naviri

Naviri Magazine - Puluhan ribu atau bahkan ratusan ribu anak lahir di Malaysia tanpa bisa memiliki kewarganegaraan. Banyak di antara mereka adalah keturunan tenaga kerja Indonesia. Padahal salah seorang dari orang tua mereka merupakan warga negara Malaysia, yang semestinya dapat menjadi patokan status anak-anak tersebut.

Disodori buku dan pulpen, seorang perempuan muda dengan cekatan menuliskan nama lengkap beserta nama panggilannya. Huruf demi huruf ditulis secara rapi dan hasilnya dapat dibaca dengan jelas.

Tentu tulisan serapi itu tidak istimewa, karena dibuat oleh orang yang telah berusia 19 tahun. Namun, yang istimewa adalah sang penulis hanya sempat duduk di bangku sekolah dasar selama sekitar sembilan bulan saja.

"Saya duduk (tinggal) di rumah, tidak seperti budak (anak) lain setiap hari pergi ke sekolah. Saya duduk di rumah saja. Belajar menulis, belajar membaca dari kawan, kawan sekolah. Saya ikut belajar dengan dia. Dia menulis, saya ikut belajar menulis dengan dia. Dari situlah saya tahu menulis dan membaca," ungkap Efa Maulidiyah dalam bahasa Malaysia yang kental.

Efa dikeluarkan dari sekolah pada usia tujuh tahun, setelah pihak sekolah tahu ia bukan warga negara Malaysia.

Hidup WNI yang tanpa identitas di Malaysia

Efa Maulidiyah hanyalah satu dari puluhan ribu bahkan mungkin ratusan ribu anak yang lahir di Malaysia tanpa memiliki kewarganegaraan.

Menurut Kementerian Dalam Negeri, setidaknya 43.445 anak-anak atau anak muda, di bawah usia 21 tahun, masuk dalam kategori tanpa kewarganegaraan. Jumlah ini merujuk data tahun 2019.

Lembaga-lembaga dan organisasi-organisasi lain memperkirakan jumlah tersebut jauh lebih tinggi, mencapai ratusan ribu orang, sebab data Kementerian Dalam Negeri tidak mencakup mereka yang belum terdaftar.

Keberadaan mereka pun mudah dijumpai dalam masyarakat perkotaan sekalipun, seperti di sebuah kampung di Damansara. Hanya diperlukan waktu kurang dari 30 menit berkendara mobil dari pusat kota Kuala Lumpur untuk mencapai kampung tempat tinggal Efa.

Hukum Malaysia menganut prinsip jus sanguinis, di mana kewarganegaraan ditentukan atas dasar garis keturunan. Seseorang diakui menjadi warga negara Malaysia bila mempunyai orang tua yang berkewarganegaraan Malaysia, baik kedua orang tua ataupun salah satunya saja.

Berdasarkan hukum ini, maka Efa Maulidiyah seharusnya diakui sebagai warga negara Malaysia.

"Waktu itu saya tidak berpikir panjang. Waktu nikah tidak mendaftar di Malaysia, tanpa dokumen, tidak mendaftar di Pejabat (Kantor) Agama. Itu langsung menjadi ini. Dia punya status pun tak dapat warga negara," kata ayah Efa, Tuah bin Osman.

Ayah Efa, warga asli Malaysia, menikahi Asma, seorang tenaga kerja Indonesia, tahun 1999 yang disahkan oleh penghulu. Seperti diakuinya, pernikahan itu tidak dicatatkan secara resmi, baik sesuai dengan hukum di Malaysia maupun peraturan di Indonesia. Status Asma ketika itu adalah TKI gelap, lantaran masa berlaku visanya habis.

Tidak boleh sekolah di Malaysia

Konsekuensi dari ketiadaan surat nikah, rumah sakit tempat Efa dilahirkan di ibu kota Malaysia, Kuala Lumpur, tidak mencantumkan nama ayah di akta kelahiran. Dengan demikian, dalam surat keterangan lahir, hanya tertera 'nama ibu' dari bayi Efa, bernama Rohima.

"Saya pinjam identitas sepupu, pasalnya saya tak punya surat-surat," demikian pengakuan Asma.

Akibatnya, Efa Maulidiyah digolongkan sebagai anak tanpa kewarganegaraan sehingga ia tidak boleh mengakses pendidikan di sekolah negeri, tidak mendapatkan akses kesehatan secara gratis, tidak pula boleh bekerja secara resmi, dan juga tidak mendapat hak-hak lain sebagai warga negara.

Jika ia bersekolah, pilihan yang ada adalah sekolah swasta, jauh dari kemampuan ekonomi keluarga yang ditopang dari penghasilan Tuah bin Osman sebagai satpam dan Asma sebagai penjual jajanan anak-anak.

"Sedih. Saya hidup di Malaysia tak boleh bekerja, tak boleh sekolah. Cita-cita saya pun tidak bisa saya teruskan karena tak boleh sekolah," ungkap Efa.

Ketakutan yang senantiasa menghantuinya adalah razia polisi terhadap para pendatang ilegal.

"Saya takut ditangkap polisi. Biasanya polisi minta semua dokumen, minta duit. Tapi saya takut kena tangkap. Kalau ditangkap polisi, polisi akan hantar ke Indonesia pun tak boleh. Tak ada identitas Indonesia. Hidup di Malaysia juga tak boleh, tak ada identitas."

Tuah bin Osman, Asma, maupun Efa, mengaku telah menempuh berbagai cara untuk mengurus dokumen, dipingpong dari satu instansi ke instansi lain, mulai dari tingkat pemerintah negara bagian hingga tingkat federal.

Jalur adopsi

Ketika berusia 12 tahun, batas usia seseorang mendapat IC (Identity Card) atau kartu tanda penduduk, Efa diberi IC merah, artinya dianggap warga negara asing, bukan kartu biru sebagai warga Malaysia.

Oleh karena itu, ayah Efa menolak kartu tersebut, dan atas persetujuan istri, Asma, sampailah mereka pada solusi untuk menempuh jalur adopsi, sebagaimana dianjurkan oleh salah satu instansi.

"Orang saran kita ambil sebagai anak angkat. Kita disuruh ke balai, maka kita pergi ke balai, ambil surat untuk anak angkat," kata Asma.

Balai yang dimaksud Asma adalah Jabatan Pendaftaran Negara, yang menangani masalah kependudukan. Akan tetapi, permohonan Tuah bin Osman mengangkat Efa ditolak, karena usia Efa sudah remaja ketika itu.

Baca lanjutannya: Ibu Orang Indonesia, Ayah Warga Malaysia, Anaknya Tak Punya Status Warga Negara (Bagian 2)

Related

World's Fact 3682500118023527073

Recent

Hot in week

Ebook

Koleksi Ribuan Ebook Indonesia Terbaik dan Terlengkap

Dapatkan koleksi ribuan e-book Indonesia terbaik dan terlengkap. Penting dimiliki Anda yang gemar membaca, menuntut ilmu,  dan senang menamb...

item